DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
Oleh: Maksimus Syufi)
(Sebuah Esai tentang seekor Anjing yang Menyaksikan Kawan-kawannya Berjuang)
Kita akan Cerita tentang Ruang Sunyi ini. Hanya berukuran 4×4 meter, beralaskan tikar, dikelilingi tembok abu-abu dan beratap triplek putih.
Cahaya lampu berparas kuning dari atas meja, bersorot di seluruh isi ruang untuk mengusir gelap memoar.
Meja-meja bersandar pada debu tembok, tempat laptop dan makanan berdiam diri. Aroma kertas-kertas buku dan tinta pena yang tak henti mengalirkan percakapan perihal Papua Merdeka.
Tulisan-tulisan pesakitan tercoret di dinding tembok. Kertas-kertas berisi darah Orang Papua bertempel rapi di sepanjang sisi tembok.
Gambar, kata-kata serta kertas yang menumpang di sampul buku, berbaris dan berhimpit untuk mencari ruang pada rak-rak sebuah lemari yang berdiam diri pada sebuah sisi tembok.
Tak ada yang saling bicara! Buku, kertas, gambaran, tulisan, meja saling menatap di kesunyian yang pilu. Bahkan, nasi dan telur rebus yang terlentang di wadah-wadah kecil tak mau bicara. Ruangan ini diam!
Tapi tidak! Ruang ini tidak menyendiri dan sepi di waktu yang lama. Mereka datang untuk memberi napas. Mereka menghidupkannya. Yah mereka! Kawan-kawanku.
Aku hanya seekor Anjing yang diberi nama Kejora. Aku hanya seekor Anjing yang bercerita kepada diriku sendiri. Mereka tak mungkin mendengarkanku. Aku hanya ingin bercerita kepada mereka perihal sepi dan rindu yang aku lewati.
Tapi tidak! Aku tidak mungkin bercerita kepada mereka. Aku hanya seekor Anjing yang dipukul dan diusir saat lapar dan dahaga menyuruhku untuk meminta makanan serta air pada mereka.
Aku berbeda dari mereka. Tubuhku tak seindah mereka. Aroma tubuhku tak sewangi mereka. Rambutku tak seindah mereka. Kadang, mereka meletakkan aku pada tempat yang paling kotor. Bahkan aku harus menerima pukulan mereka, hanya karena aku berbeda. Aku hanya ingin bercerita tentang diriku kepada mereka. Aku hanya ingin seperti mereka.
Tapi..tapi itu tidak membuat aku lari dari mereka. Aku tidak ingin berada pada ruang yang berbeda. Suara dan cerita mereka, telah bersahabat dalam telingaku. Bahkan aroma tumpukan kertas dan cairan tinta pena yang mereka coret, sudah menempel pada indera penciumanku.
Dari aroma tubuh, wangi telepak kaki, canda dan tawa bahkan suara mereka serta seisi ruangan yang bercerita tentang Papua, aku bahkan telah melihatnya.
Namun perbedaan itu, aku tak memarahi mereka. Tidak! Aku tidak akan mengusir apalagi menggigit mereka. Mereka adalah kawanku. Mereka yang membuat aku hidup bersama ruang yang hening ini.
Mereka adalah kawanku! Mereka adalah suara-suara tentang Kemerdekaan sebuah Bangsa yang tertindas, West Papua.