DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
(Oleh: Maksimus Syufi)
Apropriasi ‘Kultur Papua’ ! Apropriasi itu orang lain gunakan ko punya identitas budaya, tapi dorang tra mengerti maknanya. Saudara Kaesang Pangarep dan calon istrinya foto prewedding, dengan kenakan pakaian adat Papua tanpa memahaminya.
Kaesang atau anak Presiden Jokowi dengan calon istrinya itu bukan orang Papua. Kaesang itu asal Solo, Jawa Tengah dan calon istrinya, Erina Gudona juga orang Jawa Tengah! (trapapa, intinya mengerti dan mau melindungi itu).
Apakah Kaesang mengerti dan menghargai Identitas Adat Papua itu?
Pertama, jika dilihat dari jenis pakaian atau Identitas adatnya, Noken itu dari Wamena, Papua. Tapi Sali yang dikenakan itu berasal dari Pesisir Selatan Papua (Merauke, Mimika, Asmat dan sekitarnya). Jadi ini sebenarnya Kaesang mo pake identitas Wamena atau Mimika dan sekitarnya? Kalau mo pake identitas Wamena, seharusnya Kaesang Pake Koteka, bukan Sali. Karna Sali itu khusus untuk perempuan. Laki-laki Wamena harus pake Koteka. Tapi di foto prewedding itu, justru Kaesang juga pake Sali, bukan Koteka.
Dan kalau Kaesang mau pake identitas budaya dari wilayah pesisir selatan Papua, kenapa harus pakai Noken khas dari Wamena? Ini yang disebut Apropriasi Kultur: Pake pakaian adat tanpa memahaminya!
Kedua, jika Kaesang pake itu sebagai bentuk penghormatan, seharusnya dia ikut suarakan kekejaman Rezim Soeharto melalui Operasi Koteka (1971-1972) yang menghilangkan kultur orang Papua (Wamena).
Ketiga, kalau Kaesang Cinta budaya orang Papua, seharusnya dia tegur Presiden Jokowi (bapaknya) untuk hentikan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua. Karena DOB itu akan merusak eksistensi budaya: hutan adat rusak, masyarakat adat terancam, koteka hilang, sali pun ikut hilang, noken adat turut punah.
Tapi, itu tidak terjadi. Justru saat dia punya Bapa jadi Presiden, Papua dimekarkan lagi jadi tiga DOB. Salah satunya yaitu DOB Provinsi Papua Pegunungan, yang ibukotanya di Jayawijaya, Wamena (tempat asal identitas budaya yang dikenakan Kaesang dan kekasihnya).
Dan kalau Kaesang memang benar-benar sayang Orang Papua, maka jangan hanya pakai pakainnya! Tegur Presiden, kenapa pengiriman militer terus di Papua? Kenapa Diskriminasi Rasial terus dialami Orang Papua? Kenapa eksploitasi hutan semakin luas di Papua ? Kenapa anak-anak Papua tra punya akses pendidikan yang mumpuni?
Sayang orang Papua itu, tidak hanya pakai dan pamer pakainnya, tapi bicara juga tentang manusianya. Karena pakaian adat itu lahir dari kehidupan manusianya. Jika manusianya dihabisi oleh negara, maka pakaian atau identitas adatnya hanya tersisa catatan sejarah di perpustakaan.
Dan sa mau tegaskan ke Kaesang dan beberapa orang luar (bukan orang Papua) yang pakai identitas Orang Papua, mohon pahami nilainya, cintai orangnya, perjuangkan hak-haknya.
Noken dengan Sali itu tidak hanya soal Pakaian, tapi itu identitas orang Wamena, Orang Papua, jati diri dan martabat orang Papua (Wamena). Kalau hanya pakai karena keindahannya, atau karena semata pakaian, maka ko sudah menghina identitas budaya itu.
Lalu, apa maksud saudara Kaesang Pangarep pakai identitas budaya Papua itu ? Apakah karena pakaiannya yang cantik? Atau agar disebut Cinta Papua? Atau agar menarik publik? Semata kren dan populer ?
Berikut ini, sa mau sertakan beberapa komentar dari orang Papua di Twitter terkait penggunaan Identitas Adat Papua oleh Putera Bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep dan Kekasihnya.
“Contoh textbook apropriasi budaya: tidak pernah bicara soal penderitaan orang Papua, tau-tau pakai pakaian adat Papua, asal-asalan pula”
“Kami orang Papua diintimidasi, tapi mereka pakai kita punya pakaian tradisional seenaknya saja”
“Ini pelecehan budaya/ adat bangsa kita, Rakyat Papua”
“Presiden jual tanah Papua, anak dan calon menantunya jual budaya Papua”
“Ini adalah apropriasi budaya, dia harus terlebih dahulu memahami nilai budaya sebelum pemotretan ini. Dia harus memiliki akses soal pengetahuan”
Dalam persoalan ini, sa hormat sekali identitas budaya Papua yang sudah digunakan oleh anak seorang Presiden. Tapi sa mo tegaskan bahwa identitas budaya tidak hanya dipandang sebagai aksesoris, atau hanya soal tampilan, tapi kalau ko pake sa pu identitas budaya, maka ko harus juga cintai dan lindungi sa punya orang-orang.