Bentuk Gerakan Militer: Masyarakat Mengungsi di Atas Tanahnya Sendiri

DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –

Oleh: Anton Sakof

Abstrak

Militerisme adalah suatu paham atau pandangan yang menganggap bahwa militer mempunyai kedudukan khusus dan penting dalam politik dan karenanya militer harus ikut serta mengendalikan politik dan pemeintahan, bahkan menjadi actor sentralnya. Karena itu, militerisme adalah bentuk paling jelas dari fasisme, sebagai ideologi politik yang selalu membayangkan adanya musuh, sehingga pemimpin dan militer harus kuat menjaga Negara, yaitu penguasaan total politik dan pemerintahan yang mensahkan cara-cara kekerasan dan penindasan lawan-lawan politiknya untuk tujuan-tujuan ideal dari rezim yang berkuasa. Dalam pandangan orang-orang Papua, TNI/POLRI bukan alih-alih menjadi pelindung, malah menjadi seperti pagar makan tanaman. Operasi- operasi militer mendatangkan kesengsaraan orang-orang Papua. Pandangan orang Papua itu masih bertahan sampai saat ini sehingga mendorong mereka menuntut merdeka karena rendahnya kepercayaan terhadap instansi pemerintah yang ada di Papua. Militer adalah Senjatanya Indonesia untuk membunuh masyarakat asli Papua, menguasai dan memonopoli semua hal di atas tanah Papua, manusia Papua, alam Papua dan sumberdayanya. Kedudukan dan penguasaan, penembakan dan pembunuhan adalah senjata yang dikirim langsung oleh Negara Indonesia untuk menghabiskan masyarakat Papua.

Mengungsi di Atas Tanahnya Sendiri

Mereka mengungsi di atas tanahnya sendiri, merupakan pernyataan “slogan ironis” sebagai konsekuensi logis dari permasalahan kemanusiaan yang dialami masyarakat semua kampung/Desa di Distrik Aifat Selatan dan juga Distrik Aifat Timur, masyarakat mengungsi karena ketakutan adanya penyisiran gabungan TNI/POlRI. Untuk menyelamatkan diri dan keluarganya dari gencatan penyisiran, masyarakat harus terpaksa melarikan diri mengungsi di hutan tempat asal mereka. Dibalik konflik pembunuhan terhadap 4 anggota TNI di Kisor Distrik Aifat Selatan itu, mencuat sampai ke permukaan kekerasan hingga merengut hak masyarakat asli. Masyarakat hilang harapan akan keamanan dan perlindungan yang jauh dari asa mereka sebagai manusia Papua yang mendiami tanah dan tempatnya. Suatu ironi penanganan militer yang boleh dibilang ditaktor dengan sistem fasisme yang kental tumbuh dalam proses penyisiran.

Masalah ini bukanlah peristiwa yang pertama dan baru terjadi, tetapi sebaliknya sudah jauh lama sejak pertama kali Militer Indonesia menginjak kakinya di Pulau Cendrawasih ini. Masa kelam ini memberi gambaran watak militer Indonesia yang terpatri dalam diri dan kehidupan masyarakat Papua secara khusus masyarakat di Aifat Selatan dan Aifat Timur. Sistem penyisiran dan penyerangan serta ancaman-ancaman kepada masyarakat di kampung-kampung di atas dua wilayah ini, menimbulkan kecemasan dan ketakutan berlebihan. Mereka sudah pernah mengalami yang namanya pengejaran, pemukulan, penembakan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Sebagai bentuk fasisme yang dikembangkan dalam sistem penyisiran yang di dalamnya tidak terpandangi masyarakat sipil dan mana yang merupakan kelompok pejuang ideologi yang bersebarangan dengan ideologi NKRI.

Bentuk fasisme militer yang tertata dalam sistem politik NKRI yang terbungkus rapih melalui aneka penyisiran. Bentuk konkret dari militer yang fasis adalah penyisiran oleh gabungan TNI/POLRI. Bisa dibayangkan cara penyisiran yang dikembangkan barangkali dapat dipahami sebagai bentuk militer yang kejam. Tanah dan orang Papua adalah wilayah operasi militer yang ganas. Keganasan militeristis ini menjadi ancaman yang berhujung pada penindasan kepada masyarakat dengan dikembangkannya sistem penyisiran. Masyarakat pun menjadi korban dan terancam penembakan. Melarikan diri ke hutan adalah solusi yang baik bagi masyarakat dan menurut mereka keputusan ini adalah pilihan yang tepat untuk menyelamatkan diri dan keluarga dari cengraman moncong laras senjata militer.

Pembunuhan ini berhujung pada tindak penyisiran besar-besaran di wilayah berdampak konflik dan berimbaskan pengungsiaan. Masyarakat terpaksa mengungsi ke hutan-hutan dan di sana tidak tahu entah mereka bisa bermalam dengan baik, memperoleh makanan dengan baqik atau kesehatan mereka bisa terjamin baik-baik. Hanya mereka yang tahu dengan lengkap dan pasti dan hanya merka yang bisa menceritakannya semua pengalaman kelam pengungsian ini. Duka, kecemasan, ketakutan dan sekian pengalaman menyakitkan ini hanya dapat diceritakan oleh mereka sendiri. Bagaimana rasanya ketika mengungsi di atas tanahnya sendiri dan bagaimana lari di atas tempatnya sendiri.

Catatan Penutup

Kian menghujamnya cengkraman militer terhadap perjuangan politik kemerdekaan bangsa Papua. Penyisiran TNI/POLRI di depan orang Papua; kekerasan, penganiayiaan dan penembakan terhadap masyarakat sudah dianggap kewajaran. Masyarakat di beberapa Distrik terpaksa lari ke hutan untuk mengungsi. Masyarakat mengungsi ke hutan karena takut penyisiran yang dikembangkan gabungan TNI/POLRI. Masyarakat mengalami ketakutan karena penyisiran TNI?POLRI dan mereka lari ke hutan juga karena penyisiran aparat militer ini. Mereka bukan lari karena takut TPNPB/OPM atau KNPB, malah sebaliknya TPNPB adalah retrebusi dari orang Papua yang berjuang dalam kemiliteran sebagai protes kepada negara yang otoritarian.

KNPB adalah asosiasi lembaga sosial yang berjuang menyuarakan “dialog-dialog” hak-hak masyarakat Papua. Oleh karena itu, dapat diteggaskan lagi bahwa masyarakat mengungsi ke hutan adalah representase ketakutan terhadap penyisiran ini. Lembaga asosiasi sosial yang berpihak kepada masyarakat terus melakukan demonstrasi dan penyuaraan atas masalah kemanusiaan. Bantuan datang dari berbagai pihak; Mahasiswa/i, tokoh-tokoh pemerintah Daerah, komunitas masyarakat peduli kemanusaan dan sebagainya. Sebagai donasi untuk masyarakat yang tengah mengungsi akibat penguasaan dan penyisiran aparat keamanan.

Sumber Rujukan
Bonnie Setiawan, Miiliterisme dan Histeri Anti-Komunis, 2016.
Buku Sejarah Nasional Indonesia. Kemunculan Penjajahan di Indonesia, Balai Pustaka, 1999.

Drs. M. Cholil,SejarahOperasi-OperasiPembebasan Irian Barat, Puserjarah ABRI – Dephankam, 1971.

Beny Giyai, Menuju Papua Baru: Beberapa Pokok Pikiran Sekitar Emansipasi Orang Papua, Elsham-Dieyai 2000.

Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur”, Jayapura

"Obor Untuk Papua"

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest Articles

Perempuan Papua Dalam Cengkraman Kapitalisme

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Banyak orang menyuarakan tentang pembebasan perempuan dari cengkraman patriarki, kolonial atau bahkan kapitalisme. Terlepas dari semua itu, sebagian orang...

Perusahaan ‘Gelap’ Masuk di Perbatasan Intan Jaya dan Waropen

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Beredar di media sosial, terdapat sebuah perusahaan yang masuk secara 'Ilegal' atau tidak mengantongi izin dan mulai beroperasi di...

Puluhan TNI Siksa Warga Sipil di Puncak Jaya

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Pada Kamis lalu (13/03/2025), puluhan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyiksa 5 warga sipil di Kota Baru, Mulia, Puncak...

Menjawab Tantangan Kesehatan di Kabupaten Pegunungan Bintang Dengan 4 Jurus

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Latar Belakang Kabupaten Pegunungan Bintang, yang beribu kota di Oksibil, merupakan salah satu daerah terpencil di Provinsi Papua...

Buku Karya Nyamuk Karunggu Ditahan Perpusnas RI

DIPTAPAPUA.con - Obor Untuk Papua -Nyamuk Karunggu melayangkan surat protes kepada Presiden Republik Indonesia, Perpusnas Indonesia, Menkopolhukam dan Menteri Hukum dan HAM di Jakarta...