Penulis: Muhammad Husein
Munculnya pengarang perempuan di akhir tahun 1990-an dalam dunia sastra memberikan warna baru bagi dunia sastra. Dipelopori oleh Ayu Utami melalui novelnya yang berjudul Saman dilanjutkan dengan novel keduanya Larung. Melalui karyanya tersebut, Ayu berhasil menarik perhatian masyarakat. Karya Ayu selalu identik mengangkat masalah seks dan agama. Keberhasilan Ayu sebagai penulis perempuan seolah memberikan inspirasi bagi para penulis perempuan lainnya, seperti Djenar Maesa Ayu, Fira Basuki, Dewi Lestari, Dinar Rahayu dan yang terbaru adalah Lovernia Hay.
Dilihat dari kenyataannya, para penulis perempuan menggambarkan perempuan itu kuat. Mereka cenderung menolak untuk diatur dan dinilai dari nilai-nilai yang selalu mementingkan laki-laki, para perempuan ingin diberlakukan sama seperti laki-laki. Mereka membuktikannya melalui tulisan-tulisan mereka yang lugas, bebas, terbuka bahkan terkesan vulgar. Tidak sedikit karya mereka ditulis berdasarkan pengakuan, pengalaman dengan sudut pandang diri mereka sendiri. Kajian feminis memperhatikan masalah gender, khususnya isu kesetaraan gender. Adanya teori feminisme dan isu kesetaraan jender memberikan keyakinan pada perempuan bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam segala bidang.
Kritik sastra feminis menurut Culler adalah reading as woman yang berarti membaca sebagai perempuan. Namun, menurut Yoder kritik sastra feminis itu bukan berarti pengkritik perempuan, kritikan tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan melainkan pengkritik memandang sastra dengan adanya kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang. Yoder mengumpamakan kritik sastra feminis sebagai quilt. Istilah quilt ini menjelaskan sebagai kritik sastra feminis adalah alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang perempuan dapat membaca sebagai perempuan, mengarang sebagai perempuan dan menafsirkan karya sastra sebgai perempuan.(Sugihastuti dan Suharto, 2010: 5-6).
Menurut Sugihastuti dan Suharto, hal yang diinginkan oleh kritikus feminis adalah mereka tidak ingin kritik memperlihatkan konsep yang patriarkhat secara dominan, segi-segi keperempuanan yang lemah atau terlihat lemah juga pantas untuk dibicarakan. Tidak perlu adanya kekhawatiran bahwa perempuan akan mendominasi, studi adanya perbedaan seks dalam sastra bukan merupakan suatu ancaman, tetapi dapat dianggap sebagai kehidupan baru dalam kritik berdasarkan perasaan, pikiran, dan tanggapan yang keluar dari perempuan berdasarkan penglihatannya terhadap peran dan kedudukan perempuan dalam dunia sastra.
Melalui tokoh-tokoh utama dalam kumpulan cerpen Cinta di Pangkalan Tempur Douglas MacArthur Werur karya Lovernia Hay kita dapat melihat bagaimana seorang perempuan berusaha mencari pria pujaannya untuk menyampaikan salam perpisahan. Ada pula perempuan yang dengan penuh keberanian menyelamatkan seorang laki-laki yang terjatuh ke sungai. Kita juga dapat melihat seorang ibu dengan kecerdasannya mendidik anaknya dan seorang ibu guru mendidik siswanya dengan kecerdasan yang dimilikinya. Melalui cerpen yang ditulisnya, Lovernia Hay juga berusaha menunjukkan bahwa perempuan tidak lagi berada di posisi yang inferior. Tidak hanya sampai di situ, Lovernia Hay juga kembali memposisikan perempuan sebagai makhluk agung yang menjaga, merawat dan memberikan kehidupan melalui rahim yang dimiliki perempuan.
Cinta Gadis Papua mengalahkan Nyali Tentara Amerika
Cerpen berjudul “Cinta di Pangkalan Tempur Douglas MacArthur Werur” (yang selanjutnya diringkas menjadi Cinta di Pangkalan Tempur) karya Lovernia Hay bercerita tentang seorang tentara Amerika bernama Thom yang sedang bertugas di Pangkalan Tempur Douglas MacArthur Werur. Thom ternyata menaruh hati kepada seorang Gadis Byak Abun bernama Anselma. Suatu ketika Anselma menyelinap ke Pangkalan Tempur untuk mencari Thom, tujuannya adalah hendak berpamitan kepada Thom karena Anselma akan ikut bersama bapaknya melakukan pekabaran Injil di Pedalaman Abun.
Ketika itu di suatu sore, di pangkalan Douglas MacArthur Werur. Seorang gadis bernama Anselma, menyusup masuk ke dalam markas tentara Amerika. Ia hendak mencari Thom. (Hay, 208: 2-3).
Anselma masih berhati-hati untuk mencari keberadaan Thom, namun tidak bertemu. Karena takut dan putus asa, Anselma memilih kembali ke perkampungan dan meninggalkan pangkalan Douglas MacArthur. Padahal sore itu adalah hari terakhirnya, karena ia akan segera ikut bapaknya hendak melakukan pekabaran Injil si pedalaman Abun (Hay, 2018: 4).
Kutipan tersebut menunjukkan keberanian seorang Anselma untuk rela melawan rasa takutnya demi bertemu dengan pria yang ia idamkan. Tentu hal tersebut tidak berarti Anselma menurunkan derajatnya sebagai seorang perempuan. Tidak pula menunjukkan Anselma sebagai bucin atau budak cinta. Apa yang Anselma lakukan semata-mata untuk menghargai dan memperjuangkan rasa cinta yang ia miliki. Meski akhirnya harus tidak bertemu dengan Thom, setidaknya Anselma telah membuktikan bahwa perempuan juga harus memperjuangkan segala sesuatu yang ingin dicapai, termasuk perkara cinta.
Setelah tiba di pangkalan Douglas MacArthur Werur, keesokan harinya Thom pergi ke ujung pantai Warfaknik. Di sini Thom menunggu lama sambil mengeluarkan asap rokok cerutu dari mulutnya. Ia masih memandang ke laut lepas berharap Anselma akan datang menemuinya. Hari pertama ia menunggu, hingga pada hari ke sepuluh Anselma tak datang. Thom tidak mengetahui jika Anselma telah pergi jauh (Hay, 2018: 5).
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa sepulang dari Tokyo, Thom berharap untuk bertemu kembali dengan Anselma, gadis pujaannya. Hanya saja, tidak ada usaha nyata yang dilakukan Thom untuk mewujudkan harapannya tersebut, Thom hanya menunggu dan menunggu. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa Lovernia Hay ingin menjelaskan kepada pembaca bahwa melalui cerpen “Cinta di Pangkalan Tempur”, pembaca dapat mengetahui jika seorang Gadis Papua bernama Anselma memiliki keberanian dan usaha yang lebih besar dibandingakan seorang Tentara Amerika bernama Thom.
Hal tersebut juga mempertegas keinginan Lovernia Hay untuk menanamkan nilai-nilai keberanian kepada para pembacanya, terutama pembaca perempuan. Lovernia Hay ingin pembaca memahami bahwa pada kenyataannya tidak semua laki-laki memiliki keberanian dan usaha yang lebih besar dari perempuan. Ini berlaku untuk segala hal, entah itu dalam perkuliahan, pekerjaan bahkan hingga percintaan.
Risalah Hati seorang Asterida dan Cinta yang Tak Bersuara
Setiap manusia memiliki masing-masing cara untuk mencurahkan isi hatinya. Bisa melalui nada, bisa juga melalui cerita ataupun sekadar melalui goresan pena. Langkah paling terakhir yang kemudian dipilih Asterida untuk mencurahkan isi hatinya dalam cerpen ”Asterida Gadis Senja” karya Lovernia Hay. Perlu jalan keluar berbeda dari tiap manusia untuk menyelesaikan masalah yang mengganjal di dada.
Asterida adalah nama seorang gadis remaja yang saat ini masih mengenakan seragam putih abu-abu. Dia sering sekali menuliskan cerita hidupnya pada helaian kertas buku tulisnya dan menyimpan itu rapih tanpa sepengetahuan ibu atau ayahnya (Hay, 2018: 8).
Asterida dan perempuan lain tentu berhak memilih cara masing-masing untuk mengurangi beban yang ditanggung di dalam dada mereka. Hal ini bisa dipahami karena setiap perempuan memiliki tingkatan tantangan yang berbeda, memiliki tingkat kesulitan yang beragam yang tidak mungkin untuk dipaksa menjadi seragam. Kemunculan beragam cara penyelesaian masalah tentu saja menjadi hal yang sangat wajar, termasuk dengan menulis risalah hati di helaian kertas buku tulis seperti apa yang dilakuan Asterida.
Dan tanpa ada yang mengetahuinya, ternyata Asterida suka menuliskan pengalaman cintanya. Jatuh cinta pada tatapan mata di awal perjumpaan kadang membuat seseorang tak ingin melupakan saat itu, begitupun dengan Asterida gadis manis berkulit coklat ini (Hay, 2018: 8-9).
Lovernia Hay ingin menunjukkan bahwa setiap perempuan tidak harus selalu seperti Anselma pada cerpen “Cinta di Pangkalan Tempur”. Lovernia Hay ingin memberikan sebuah alternatif lain untuk perempuan yang memiliki kepribadian lain. Seperti Asterida, misalnya, ia digambarkan sebagai seorang perempuan pendiam yang jatuh cinta pada pandangan pertama. Segala hal yang menyangkut tentang pertama tentu saja akan menjadi sulit, tapi Lovernia Hay dengan cerdiknya menawarkan kepada pembaca bahwa ada cara lain untuk mengungkapkan perasaan, yaitu dengan menulis risalah hati pada sebuah diary. Jika coba kita bandingan dengan kejadian dewasa ini, kita patut mengapresiai perempuan yang berani mencurahkan isi hatinya melalui tulisan bahkan status facebook sekalipun. Bahkan jika ada perempuan yang menggunakan akun anonim pada media sosialnya, itu tetap harus kita apresiasi, karena itulah salah satu cara untuk mengurangi depresi dari kisah cinta yang yang sepi. Seperti Asterida dan cinta yang tak bersuara.
Dokter Muda yang Tak Setangguh Shinta
Cerpen ”Cinta Bersemi di Sungai Kamundan” karya Lovernia Hay bercerita tentang tokoh Aku yang berprofesi sebagai seorang dokter muda yang ditempatkan di Kampung Siakwa. Lovernia Hay melalui cerpen ini coba mengeksploitasi kelemahan yang dimiliki seorang pria, seorang dokter muda di Kampung Siakwa. Ada misi yang ingin dicapai Lovernia Hay untuk menempatkan perempuan agar tidak lagi berada di posisi sebagai pihak yang inferior.
Di sini kisah itu bermula, pagi itu, Shinta yang membiarkan rambut coklatnya terurai, bergegas cepat menuju Gereja Siakwa, sorot tatapnya membuat hatiku terpanah, mati dan kaku (Hay, 2018: 12).
Kutipan tersebut adalah bukti bahwa Lovernia Hay ingin menunjukkan bahwa laki-laki juga terkadang bisa berada pada posisi yang lebih lemah dari perempuan pada kasus tertentu, terutama soal kasus percintaan. Bagaimana tidak, Lovernia Hay menggambarkan tokoh Aku begitu lemah setelah melihat Shinta yang rambut coklatnya terurai. Tokoh Aku digambarkan seketika kaku setelah melihat Shinta yang bergegas cepat menuju Gereja Siakwa.
Kini aku telah berada di tengah jembatan rotan tersebut, karena gugup bercampur lelah, akhirnya jembatan rotan itu bergerak tak tentu, alhasil jatuhlah aku (Hay, 2018: 13).
Shinta yang sedang bermain di tepi sungai Kamundan rupanya sedang mencari asal suaraku, setelah mengathui bahwa ada yang tenggelam, tanpa pikir panjang, ia langsung saja bergegas melompat ke sungai hendak membantu diriku berenang ke tepi (Hay, 2018: 14).
Melalui kedua kutipan tersebut Lovernia Hay begitu jelas membandingkan kelemahan seorang laki-laki dan kekuatan seorang perempuan. Kelemahan laki-laki tersebut tercermin ketika tokoh Aku tenggelam dan tidak bisa berenang. Hal tersebut langsung ‘diserang’ dengan tokoh Shinta yang datang membantu menyelamatkan tokoh Aku. Lovernia Hay tampaknya betul-betul ingin mengeksploitasi kelemahan laki-laki melalui cerpen “Cinta Bersemi di Tepian Sungai Kamundan” ini.
Walau tak sempat mengungkapkan rasa itu, namun Ia selalu ada dalam hati. Shinta gadis sungai kamundan hanya itu yang selalu kuingat, jika diberi waktu untuk kembali, aku akan kembali ke sana (Hay, 2018: 16).
Tokoh Aku lagi-lagi digambarkan sebagai laki-laki yang tidak mempunyai kuasa atas dirinya untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam perasaannya. Lovernia Hay kemudian menuliskan bahwa jika ada waktu, maka tokoh Aku akan kembali ke Kampung Siakwa untuk menemui Shinta. Padahal jika memang tokoh Aku mau berkorban untuk cintanya, seharusnya tokoh Aku harus berusaha menyediakan waktu untuk bertemu bukan hanya sekadar menunggu.
Penulis adalah Dosen Sastra Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Papua**
Sumber: http://www.omongcoro.com/2019/12/citra-perempuan-papua-dalam-kumpulan.html?m=1