Dari Tarian Berjudul Angin Sampai Makan Mangga di Kampung Asei

Dari tarian berjudul Angin sampai dengan makan mangga bersama, merupakan kisah perjalanan yang menemani kami saat berkunjung ke Kampung Asei, Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura.

 “Jangan lupa jam 10.00 Wit kita kumpul di Dermaga Khalhote,” kata Peneliti Balai Arkeologi Papua, Hari Suroto melalui pesan watshapp kepada saya pada hari Jumat (30/10).

“Siap mas,” kata saya menyapa Mas Hari Suroto sapaan akrabnya.

Pada hari Sabtu (31/10). Kami dari Tim Rumah Menulis Papua Universal (RUMPUN) berkumpul bersama-sama dengan para mahasiwa dan dosen dari Institut Seni dan Budaya Indonesia (SIBI) Papua serta Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) berkumpul di Dermaga Khalhote, Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura.

Di Dermaga Khalhote terlihat warga masyarakat berkumpul seperti biasanya. Terdengar warga berkomunikasi menggunakan bahasa daerah Sentani.  Di pinggir Danau Sentani kami melihat perahu motor sedang parkir menunggu penumpang. Ada juga beberapa perahu motor berlalu-lalang mengangkut penumpang di Danau Sentani.

Setelah menunggu beberapa menit, tim dari ISBI Papua dan Balai Arkeologi dan AGSI Papua mendahului kami. Mereka menaiki perahu motor yang berada di sisi kanan Dermaga Khalhote.

“Kami deluan, nanti penyusul  gelombang kedua ya,” kata Hari Suroto kepada kami di dermaga.

Kami belum ikut bersama-sama rombongan. Lantaran kami harus menunggu beberapa teman-teman dari RUMPUN yang masih dalam perjalanan. Sambil menunggu,  beberapa dari teman-teman terlihat asik berdiskusi. Sedangkan saya berdiskusi dengan calon wartawan JUBI bernama Theo Kelen.

Theo Kelen adalah adik saya di organisasi Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) Uncen dan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jayapura. Dia (Theo) sendiri merupakan lulusan sarjana pendidikan dari FKIP Uncen. Kami berdua bercerita seputar kelas menulis feature.

“Nanti kelas kedua adik gabung ya belajar menulis feature,” kata saya sambil mengajaknya.

“Baik kakak. Nanti kasih info,” jawabnya.

Tak lama menunggu, beberapa dari teman-teman RUMPUN akhir tiba di Dermaga Khalhote. Kami kemudian mencari perahu motor untuk menyeberang melewati Danau Sentani ke Kampung Asei.

Dari Dermaga Khalhote terlihat dengan jelas Kampung Asei yang berada tak jauh dari pinggiran Danau Sentani. Kampung Asei ini berada di tengah Danau Sentani. Di sampingnya ada dua pulau kecil. Kedua pulau ini memasuki wilayah administrasi Kampung Asei.

Satu per satu dari kami naik ke perahu motor yang telah tersedia. Cuaca terlihat cerah dan air Danau Sentani terasa tenang mengantarkan kami dari Dermaga Khalhote menuju ke Kampung Asei.

Perahu motor ini dikemudikan oleh bapa Yos Pulalo. Perahu motor yang kami tumpangi melaju dengan pelan meninggalkan Dermaga Khalhote. Tak terasa kurang lebih 10 menit kami akhirnya tiba di Dermaga Kampung Asei. Dermaga ini terlihat masih dalam pembangunan.

“Dermaga Asei ini masih dalam pembangunan,” kata Bapa Yos sambil dengan pelan mengemudi perahu motor secara perlahan-lahan memasuki dermaga.

Kami satu per satu harus turun secara perlahan-lahan dari perahu motor milik bapa Yos ke Dermaga Kampung Asei yang berdekatan dengan rumah warga masyarakat sekitarnya.

“Berapa harga perahu perorang,”? tanya saya kepada pengemudi perahu motor bapa Yos.

“Satu orang 10.000 (sepuluh ribu),” jawab bapa Yos.

Salah satu pendamping kelas menulis, Musa Abubar kemudian memberikan saya uang 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). Setelah itu, saya mengeluarkan dompet dan mengambil uang 50.000,- ribu lagi untuk menambah membayar perahu motor tersebut.

Kami berjumlah sembilan (9) orang, sehingga total pembayaran perahu motor yang kami tumpangi ini sebesar 90.000,- (sembilan puluh ribu rupiah).

Saya kemudian memberikan uang 100.000,- (seratus ribu rupiah) kepada bapa Yos. Setelah itu, sang bapa Yos memberikan uang kembalian sebesar 10.000,- (sepeuluh ribu rupiah) kepada saya.

“Sebentar kembali pakai perahu motor apa,”? tanya bapa Yos kepada saya.

“Tidak tahu juga bapa. Kalau begitu saya minta nomor handponenya ya bapa,” jawab saya sembari meminta nomor handpone bapa Yos Pulalo.

Di Dermaga Kampung Asei kami bertemu lagi dengan dosen dan mahasiswa ISBI Papua bersama-sama dengan AGSI Papua. Tak hanya itu, kami bertemu juga dengan bapa Corry Ohee. Bapak Corry adalah Salah satu pelukis kulit kayu di Kampung Asei.

Tak jauh dari dermaga, kami melihat beberapa anak-anak sedang bermain bola kaki di lapangan futsal. Mereka nampaknya libur sekolah, sehingga meluangkan waktu untuk bermain bola kaki bersama.

Kami kemudian melangkah ke rumah bapa Corry untuk menaru barang-barang. Setelah itu, kami mengatur penugasan penulisan feature. Pembimbing menulis feature, Musa terlihat mengakomodir teman-teman kelas menulis, sambil membagikan penugasan kepada mereka satu per satu.

Teman-teman kelas menulis feature ini memiliki topik dan narasumber yang berbeda-beda. Seperti misalnya, mewawancarai ondoafi, kepala kampung, pelukis kulit kayu, warga masyarakat, anak sekolah, dan lain sebagainya.

Data yang diambil ini, sebenarnya untuk melengkapi data  penulisan feature yang belum lengkap. Apalagi kelas menulis feature ini berencana akan membuat buku berjudul “Cerita Dari Kampung Asei”.

Teman-teman kelas menulis kemudian berpencar dan mencari narasumber untuk mengambil data sesuai dengan penugasan yang diberikan tersebut.

Beberapa menit kemudian, Kami dipanggil oleh Dosen ISBI Papua bernama Surya Paradantha, untuk menonton pertunjukkan tarian yang ditampilkan oleh mahasiswa ISBI Papua. Pertunjukkan tarian ini berlangsung di Dermaga Kampung Asei dan beberapa titik yang telah disepakati.

“Ayo teman-teman dan ade-ade kita melihat pertunjukkan tarian dari mahasiswa ISBI,” kata surya mengajak kami bersama anak-anak yang masih terlihat asik bermain bola kaki di lapangan futsal.

Tarian yang ditampilkan berbeda-beda. Mulai dari tarian berjudul menunggu dan angin yang ditampilkan di Dermaga Asei, tarian berjudul habis gelap terbitlah terang yang ditampilkan didepan tugu salib, tarian berjudul kebersamaan dan kekeluargaan yang ditampilkan dipinggir batu menhir atau batu tegak berukir melingkar, dan tarian berjudul melukis yang ditampilkan di rumah milik bapa Corry.

Kampung Asei merupakan salah satu kampung wisata alam dan budaya. Kampung Asei menyimpan sejumlah benda-benda budaya, mulai dari batu menhir peninggalan prasejarah, benda-benda peninggalan perang pasifik, gereja tua, tiang rumah ukiran berbentuk melingkar, dan yang paling terkenal adalah lukisan kulit kayu.

Tak terasa beberapa teman-teman dari kelas menulis telah usai mengambil data. Kami kemudian berkumpul kembali di rumah bapa Corry. Sambil bercerita, saya ditawarkan kopi panas oleh Ketua AGSI Papua, bapa Harjuni Serang.

“Ayo kita ngopi dulu,” ajak pria yang sehari-hari berprofesi sebagai guru dan dosen ini kepada saya.

Bapa Harjuni kemudian membawa segelas plastik dan menyiram kopi yang telah dibawa dalam termus berbahan aluminium. Nampaknya kopi ini dibuat sendiri dan dibawa dari rumahnya.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 13.00 Wit. Tim dari ISBI Papua, AGSI Papua  dan Balai Arkeologi Papua, harus terlebih dahulu pamit kembali ke Dermaga Khalhote. Sedangkan kami dari RUMPUN masih berada di Kampung Asei. Hal ini karena mengingat beberapa teman-teman masih mengambil data.

Tiga orang pemuda dari Rumah Menulis Papua Universal (RUMPUN), ketika menikmati mangga masak di Kampung Asei, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Sabtu (31/10).

Sambil menunggu teman-teman yang lain, kami ditawarkan makan mangga masak oleh bapa Corry.  Sementara itu, beberapa teman-teman laki-laki dari RUMPUN ikut membantu para pemuda di Kampung Asei menurunkan pasir yang dibawa menggunakan banana boat milik Kampung Asei.

“Ini pasir diangkut dari mana,” tanya saya kepada bapa Corry.

“Pasir ini diangkut dari muara sungai Harapan yang berada tak jauh dari Dermaga Khalhote,” jawab Corry kepada saya.

“Pasir ini mau dibuat apa,” tanya saya lagi kepadanya.

“Pasir ini mau buat air bor di Kampung Asei,” jawabnya.

Selama ini warga Kampung Asei mengambil air untuk diminum dari salah satu rumah  Gereja Masehi Indonesia. Rumah ini terbuat dari papan, bercat warna biru, dan berada dipinggir Danau Sentani. Rumah ini berada bersebelahan dengan rumah ibu Kepala Kampung Asei.

“Air untuk minum kami ambil di salah satu rumah Gereja Masehi Indonesia. Rumah ini biasanya digunakan untuk melayani anak-anak sekolah minggu,” kata bapa Corry.

“Kami hanya bayar 2000,-. Ini juga hanya untuk ganti penutup galong,” kata Corry lagi sembari menunjuk rumah tersebut.

Sedangkan air Danau Sentani hanya digunakan oleh warga masyarakat di Kampung Asei untuk mandi, mencuci pakaian, mencuci peralatan dapur seperti misalnya piring, gelas, sendok dan lain-lain sebagainya.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 15.00 Wit. Kami kemudian pamit untuk kembali ke Dermaga Khalhote. Kami Kemudian diantar oleh bapa Corry menggunakan perahu motor milik Kepala Kampung Asei. Kami bersyukur, karena ongkos perahu motornya tak kami bayar. Nampaknya sudah diperintahkan kepala kampung untuk mengantarkan kami secara gratis.

Kampung Asei merupakan salah satu kampung wisata yang ada di Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura. Tak heran jika kampung ini menyimpan sejumlah benda-benda peninggalan prasejarah masa lalu yang patut dikunjungi dan dilihat secara langsung.

Bagi kamu yang belum melihat langsung Kampung Asei. Diharapkan bisa datang dan menikmati langsung keindahan alam, terutama wisata alam dan wisata budaya yang ada di kampung tersebut.

Penulis: Roberthus Yewen  

"Obor Untuk Papua"

Related Articles

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest Articles

Perempuan Papua Dalam Cengkraman Kapitalisme

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Banyak orang menyuarakan tentang pembebasan perempuan dari cengkraman patriarki, kolonial atau bahkan kapitalisme. Terlepas dari semua itu, sebagian orang...

Perusahaan ‘Gelap’ Masuk di Perbatasan Intan Jaya dan Waropen

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Beredar di media sosial, terdapat sebuah perusahaan yang masuk secara 'Ilegal' atau tidak mengantongi izin dan mulai beroperasi di...

Puluhan TNI Siksa Warga Sipil di Puncak Jaya

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Pada Kamis lalu (13/03/2025), puluhan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyiksa 5 warga sipil di Kota Baru, Mulia, Puncak...

Menjawab Tantangan Kesehatan di Kabupaten Pegunungan Bintang Dengan 4 Jurus

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Latar Belakang Kabupaten Pegunungan Bintang, yang beribu kota di Oksibil, merupakan salah satu daerah terpencil di Provinsi Papua...

Buku Karya Nyamuk Karunggu Ditahan Perpusnas RI

DIPTAPAPUA.con - Obor Untuk Papua -Nyamuk Karunggu melayangkan surat protes kepada Presiden Republik Indonesia, Perpusnas Indonesia, Menkopolhukam dan Menteri Hukum dan HAM di Jakarta...