Oleh: Thomas Ch. Syufi
Sangat disesalkan atas pernyataan retoris dari Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Teuku Faizasyah bahwa pemerintah Indonesia melalui Kemlu sudah mengundang Komisi Tinggi HAM PBB ke Indonesia untuk membahas berbagai situasi HAM di Indonesia, termasuk Papua.(Kompas.com, Senin, 28 September 2020).
Jadi, terlihat Kemlu hanya membuat propoganda dan cerita sesat untuk memengaruhi opini masyarakat Papua dan komunitas internasional yang lagi ‘concern‘ dan getol menyuarakan isu pelanggaran hak asasi manusia di Tanah Papua sejak tahun 1963-2020, termasuk tertembaknya Pendeta Yeremia Sanambani di Intan Jaya, Papua, Sabtu 19 September 2020 yang diduga dilakukan oleh salah satu unit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam sebuah operasi di Intan Jaya.
Sebagaimana dikabarkan bahwa kasus tertembaknya Pendeta Yeremia Sanambani di Intan Jaya telah disuarakan oleh negara Vanuatu di forum Sidang Umum HAM PBB pada Sabtu, 26 September 2020 yang membuat delegasi Indonesia ketar- ketir bahkan Indonesia menggunakan hak jawab pun deviasif alias pertanyaan lain, jawaban lain!
Indonesia melalui Wakil Tetap di PBB, Silviany Austin Pasaribu yang menggunakan hak jawab atas pernyataan Vanuatu perihal pelanggaran HAM di Tanah Papua. Perwakilan Indonesia tersebut terlihat belum terlalu menguasai permasalahan Papua, termasuk konsep dan prinsip- prinsip HAM secara baik. Hingga ia bias dalam menjawab berbagai fakta pelanggaran HAM di Papua yang dikemukakan Vanuatu di forum tersebut. Yang disesalkan itu delegasi Indonesia menjawab Papua menjadi bagian dari NKRI sejak tahun 1945 dan sudah final, padahal Vanuatu bicara soal pelanggaran HAM di Papua perlu dibereskan.
Sejumlah jawaban counter dari Duta Indonesia itu cenderung formalistik dan tak menguasai pokok permasalah. Terlalu banyak menggurui para pejabat dan ahli di PBB soal prinsip- prinsip dan rule of game di PBB . Ini akan jadi bahkan lelucon bagi pemerintah Indonesia, terutama Menteri Luar Negeri Retno L.P Marsudi yang menjadi aktor yang bermain di belakang layar atas eksistensi Silvany Austin Pasaribu sebagai delegasi Indonesia di forum PBB. Menlu Retno Marsudi harus bertanggungjawab atas kasus ini karena apa yang disampaikan oleh diplomat muda Silvany Austin Pasaribu adalah manifestasi dari buah pikiran dan sikap Menlu Retno L.P Marsudi.
Jadi kehadiran delegasi Indonesia di SU HAM PBB, Silvany Austin Pasaribu bukan representasi rakyat Papua, tapi sebagai Duta pelaku pelanggaran HAM di Papua, yakni representasi pemerintah Indonesia.
Jadi, terlihat pemahaman Menlu soal isu HAM dan konflik Papua pun sangat minim. Hingga tidak bisa membantu presiden mencari jalan keluar bagi penyelesaian isu pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Padahal, peran Menlu sangat penting dan strategis untuk membantu Presiden Jokowi guna menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua. Kemlu kebanyakan kabur data hingga memproduksi isu- isu bohong, distorsi terhadap realitas dan fakta kejahatan HAM di Tanah Papua. Kemlu hanya hobi melakukan “retorika” semu. Segala persoalan Kemlu bisa menyelesaikan di aras kamuflase dan retorika utopis– yang tak bisa melakukan apa-apa (atau langkah konkret) untuk menemukan jalan penyelesaiannya.
Pemerintah Indonesia juga terus mengabaikan permintaan Komisi HAM PBB, termasuk rekomendasi Pasific Island Forum( PIF) dan African, Carrebean, dan Pasific( PIF) perihal Indonesia segera mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB berkunjung ke Tanah Papua untuk memantau dan menyelidiki kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Indonesia berkali- kali selalu buat rencana di atas rencana. Setiap kali terjadi gejolak, terjadi pelanggaran HAM, Kemlu tinggal munculkan kembali isu  Kunjungan Komisioner HAM PBB ke Papua. Bahwa mereka sudah undang Komisioner Tinggi HAM PBB untuk kunjungi Indonesia dan membahas soal Papua. Mereka selalu buat mimpi dan fantasi tanpa tidakan nyata. No action talk only, hanya bicara tak ada tindakan. Lagi- lagi, Kemlu tidak pastikan apakah Komisioner Tinggi HAM yang terus gagal diundang itu berkunjung ke Papua lagi atau tidak? Atau hanya berkunjung ke Jakarta lalu bahas isu HAM Papua dari Jakarta. Ini masih simpang siur dan perlu diklarifikasi oleh Kemlu. Sebelum Covid-19, wacana pemerintah Indonesia mengundang Komisioner Tinggi HAM PBB berkunjung ke Papua, hingga masa Covid-19 di akhir 2019, menjadi alasan baru untuk pemerintah Indonesia tidak bisa mengundang para pejabat HAM PBB ke Papua karena pandemi. Dinilai sangat irrasional alasannya. Pandemi tapi operasi militer dan pelanggaran HAM di Papua tak kenal kata ampun. Pembungkaman ruang demokrasi, pengejaran, penangkapan, pemenjaraan, penculikan, hingga pembunuhan aktivis HAM dan demokrasi, para pendeta, dan warga sipil Papua secara umum tak mengenal batas. Memang keadilan dan kebenaran tak pernah ditemukan di Bumi Cenderawasih. Justru sebaliknya nilai keadilan dan kebenaran menjadi instrument propoganda bagi penguasa sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan di Papua.
Perlu diingat, sejarah lepasnya Timor Timùr dari keluarga besar NKRI juga karena Kemlu melalui para diplomat hidup dalam aras retorika kosong dan selalu memproduksi cerita- cerita bohong. Para diplomat Indonesia tak pernah menampilkan realitas dan fakta lapangan terkait situasi HAM- justru menjadi antitesa dari itu alias melawan kebenaran dengan narasi- narasi kosong. Tidak ada sinergisitas antara Kemlu dan Badan Intelejen Negara( BIN), termasuk pihak TNI- Polri dalam menyikapi isu dan peristiwa di daerah konflik. Bahkan dalam tubuh Kemlu sendiri juga pecah pandangan dan sikap hingga penanganan konflik dan penyelesaian kasus pelanggaran HAM selalu stagnan dan berlarut- larut.
Maka, didesak pemerintah Indonesia mengizinkan Komisioner Tinggi HAM PBB untuk berkunjung ke PBB. Sudah terlalu banyak orang Papua yang mati atas kebrutalan militer Indonesia dan didistorsi melalui cerita-cerita para diplomat. Tragedi dan kesedihan atas penembakan Pendeta Yeremia Sanambani menjadi bagian dari kehidupan semua rakyat Papua, rakyat Pasifik yang tergolong brotherhood Papua, seperti Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia, termasuk masyarakat internasional. Tragedi itu membuat lembaran sejarah Papua berisi tinta hitam. Maka, diharapkan berbagai persoalan Papua bisa diselesaikan melalui cara yang menghormati aspek- aspek keadilan, hak asasi manusia, dan hukum internasional, seperti dialog Jakarta- Papua.
Pelanggaran HAM di Papua kebanyakan dikategorikan sebagai dolus premeditatus, pelanggaran HAM yang dilakukan secara sadar dan tenang (atau sistematis). Ini negara harus bertanggungjawab melalui good will pemerintah yang berkuasa (presiden) Joko Widodo.
Diminta pemerintah membuka penyelidikan independen untuk menjelaskan semua kejahatan kemanusiaan di Tanah Papua, termasuk tertembaknya Pendeta Yeremia Sanambani di Intan Jaya, Papua.
Diminta Indonesia juga sudahi pemahaman kedaulatan, Pancasila, dan NKRI yang sering melegitimasi tindakan brutalisme dan dehumanisasi: melakukan pelanggaran HAM. Atas nama kedaulatan, Pancasila, dan NKRI, hak asasi manusia Papua harus dilanggar.
Jadi, prinsip HAM adalah non- discrimination dan HAM berlaku universal. Maka, siapa pun berkewajiban menghormati, menjujung tinggi, memenuhi HAM setiap warga negara. Bukan saja negara- negara di lautan teduh (Pasifik) yang membantu menyuarakan HAM orang Papua, tapi itu harus menjadi panggilan untuk semua umat manusia di bumi, termasuk pemerintah Indonesia pun berkewajiban menghormati dan memenuhi HAM warga Papua.
Vanuatu berhak bersuara untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua. Itu bentuk kepedulian sebagai komunitas internasional, satu rumpun dan ras sama dengan orang Papua, tentu Vanuatu punya ‘compassion’ dan empati untuk suarakan keadilan dan kemanusiaan bagi Papua.
Dulu, Tansania bisa melakukan intervensi kemanusiaan dengan menyerbu secara paksa ke Uganda untuk menengahi krisis kemanusiaan atas brutalisme rezim diktator Adi Amin di Uganda yang membantai jutaan rakyatnya dendiri secara tak menusiawi. Adi Amin buat Uganda sebagai “killing field” ladang pembataian massal. Maka, tindakan Tansania itu diapresiasi oleh masyarakat internasional, termasuk didukung oleh PBB.
Jadi, tidak ada alasan apa pun untuk menangkal ikhtiar negara- negara peduli HAM Papua untuk bersuara dan bercerita kepada dunia. Sebab, “Salus populi suprema lex” (keselamatan jiwa- jiwa manusia adalah asas( hukum) tertinggi).
Penulis adalah Aktivis HAM Papua dan Mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas.