DIPTAPAPUA.com – Menanggapi pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD belum lama ini yang menyebutkan bahwa dana otonomi khusus (Otsus) dikorupsi oleh para elit di Papua. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Thomas Ch Syufi menilai pernyataan Mahfud MD tersebut tidak mendasar. Menurutnya, jika dana Otsus dikorupsi elit Papua, seharusnya Mahfud MD bertindak, tangkap para koruptor itu.
“Bila Mahfud MD mempunyai dugaan dana Otsus dikorupsi para elite lokal di Papua, kenapa tidak bergegas untuk bertindak, tangkap para koruptor. Mahfud MD harus bercermin pada asas actori in cumbit probation (siapa yang menuduh, dialah yang wajib membuktikannya). Maka, pernyataan Menko Polhukam ini dinilai irasional dan tidak bisa diterima dengan akal sehat,” kata Thomas dalam press release yang diterima diptapapua.com.
“Pak Mahfud MD mengeluh dan bersesal saat ia menggenggam kekuàsaan atau sebagai pembantu presiden. Apalagi persoalan hukum menjadi domainnya,” tambahnya.
Menurutnya pemerintah pusat tidak memiliki niat membangun Papua melalui kebijakan Otsus semenjak 2001 yang telah menghabiskan anggaran puluhan triliun rupiah tersebut, hingga kini ambang berakhirnya Otsus pada 2021, belum berhasil menyejahterakan rakyat Papua. “Pemerintah pusat sejak Presiden Megawati Soekarno Putri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Presiden Joko Widodo terlihat tidak memiliki keseriusan untuk membangun Papua melalui dana Otsus”.
“Para petinggi di Jakarta tidak melakukan grand design dan pengawasan yang intensif terhadap pembangunan di Papua dengan menggunakan dana Otsus. Ketika muncul gejolak dan eskalasi konflik politik Papua merdeka, baik di Papua maupun luar negeri, pemerintah pusat hanya muncul di layar televisi atau podium konferensi pers yang penuh dengan retorika dan narasi tak bemutu dari Jakarta tanpa merefleksikan realitas sosial‐politik rakyat Papua,” beber aktivis HAM Papua ini.
Lebih lanjut, Thomas berharap agar Mahfud MD bukan sebagai juru bicara (Jubir) Presiden, namun dia adalah menteri koordinator yang bertanggung jawab terhadap beberapa kementerian di bawahnya termasuk hukum dan HAM. Serta pihaknya juga mampu melakukan langkah-langkah hukum konkrit, seperti menyeret elit Papua yang dikatakan korupsi dana Otsus hingga dinilai orang Papua bahwa gagal direalisasikan di Provinsi Papua dan Papua Barat.
“Seharusnya Mahfud MD membantu presiden mengidentifikasi indikator-indikator penyebab Otsus Papua itu gagal diimplementasikan. Sekaligus memberikan masukan kepada presiden agar menggunakan kekuasaanya untuk peran melawan koruptor di Papua,” pintanya.
Dalam konstitusi/ UUD 1945 pasal 5-25 memberikan kekuasaan penuh kepada presiden. Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang memiliki kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Polri, Jaksa Agung, KPK, dan Komisi Yudisial. Aktivis HAM ini menyebutkan pemerintah pusat memiliki kekuasaan peradilan (kehakiman) yang juga merupakan kewenangan mutlak, termasuk penegakkan hukum terhadap para koruptor dana Otsus Papua sejak 2001 hingga kini.
“Ini negara kesatuaan jadi semua komando ada di pemerintah pusat. Apalagi Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Jadi, Mahfud MD jangan menjadi bagian kabinet yang suka menafsirkan realitas, kalau bisa menjadi bagian yang bisa mengubah realitas hidup rakyat Papua. Rakyat Papua sudah bosan dan muak dengan kamuflase, retorika atau narasi kesejahteraan dan propaganda keadilan yang dikonstruksi oleh Jakarta,” beber Thomas.
Rakyat Papua memiliki hak kostitusional menurut Pasal 77 UU No. 21 Tahun 2001 untuk menilai dan menentukan sendiri masa depannya dalam kebijakan Otsus. Thomas menegaskan bahwa tak ada waktu lagi untuk membahas masalah kesejahteraan, pembangunan melalui UU No. 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua.
“Apakah dana Otsus dilanjutkan atau tidak, kembali kepada suara dan kehendak rakyat Papua. Di sinilah demokrasi dan nomokrasi (kedaulatan hukum) yang diamanatkan dalam konstitusi akan berjalan sejajar demi mewujudkan keadilan bagi rakyat Papua di masa depan,” harapnya.
Dengan tegas, Thomas mengaku menolak upaya pemerintah Indonesia melalui kebijakan tambahan berupa keputusan presiden (Kepres) terhadap pembangunan di tanah Papua dengan pendekatan kesejahteraan. Bahkan, dirinya meminta pemerintah pusat agar segera hentikan niatnya untuk revisi sepihak UU No. 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua yang akan ditambahkan dana sebesar 2,25% dari yang sebelumnya dua persen.
“Untuk ikhtiar pemerintah pusat merevisi UU Otsus ini, saya berprinsip pada postulat hukum yang menyatakan bahwa “justice delayet is justice denied“(keadilan yang datang terlambat atau diusahakan kemudian, sama dengan tidak ada keadilan). Jadi, untuk lanjut atau tidaknya Otonomi Khusus Papua kembali kepada orang Papua sendiri melalui Musyawarah Besar Rakyat Papua yang difasilitasi oleh Majelis Rakyat Papua( MRP) Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat( MRPB),” pungkas Thomas Ch Syufi.