DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
Oleh: Maksimus Syufi)*
Pada sebuah sore yang jahat, langit di Kota Rasis itu memerah dan membakar mawar berduri di Kiri Jalan.
Mawar itu adalah saya, mawar itu adalah ko. Kita, dua jiwa pemberontak tersisa di persimpangan jalan, yang selalu berbisik perihal Cinta dan Revolusi.
Di tanggal satu, bulan ke-dua belas, di antara ribuan pucuk M16 milik Anjing kolonial, pertumpahan darah, suara tangis, rintihan derita, teriakan merdeka bergema di tiap megafon.
Di sepanjang Trotoar, di jalanan kota tua yang riuh, kita bentangkan poster serta spanduk yang berisi bercakan darah orang Papua. Ayat-ayat dalam kitab Cinta dan Revolusi, terus terdengar di jalanan tua itu.
Para bangsat berseragam coklat, membunyikan M16 dan mengusir kita. Poster dirobek, spanduk dibakar, megafon di tangan kiri dirampas, kami dipukul, kami diinjak, kami diludahi, ahkkk aparat keparat.
“Kami akan mati karena menjadi Papua” bisikku kepadanya, mawar berduri itu.
Kami dipaksa untuk bersumpah atas nama NKRI harga mati, atas nama pancasila, atas nama merah putih, kami dipaksa untuk menjadi Indonesia. Karena, karena “lahir sebagai orang Papua adalah salah”! kata mereka.
Tapi tidak, kami tak mungkin bersumpah untuk duka yang kesekian kali di Papua.
Kami tak mungkin bersumpah untuk Nopelinus Sondegau yang ditembak, kami tak mungkin bersumpah untuk Oce Belau yang ditembak, Kami tak mungkin bersumpah untuk Evalina Aimau yang mati di Pengungsian, kami tak mungkin bersumpah untuk Nduga, Puncak Papua, Intan Jaya, Timika, Maybrat, Yahukimo, dan Papua yang mengungsi.
Kami telah bersepakat untuk pegang tali komando dan tetap berdiri tegak di titik aksi. Hingga pada waktunya, sang fajar itu akan terbit sebagai cahaya harapan bagi manusia tersisa di tanah Melanesia.
Penulis adalah Mahasiswa Jalanan di Kota Rasis yang Selalu Mengemis Cinta dan Revolusi di Kiri Jalan)**
🔥❤️✊
Hrmat