DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
Oleh: Siorus Degei)
Tujuh malam sudah berlalu setelah seorang pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan bangsa Papua yang sejati pergi menghadap Sang Khalik. Kecurigaan terbesar yang bertebaran menggugat naluri, nurani dan sanubari bangsa Papua adalah proses pemakaman mediang Jacob Filep Karma ini terjadi secara mistik dengan tilikan strategi bangsa ‘gaib’ yang rijit.
Dikatakan mistis sebab budaya Papua proto tidak mengenal budaya kebumikan mayat atau bakar mayat di tengah malam. Tidak ada atau belum ada tradisi dalam budaya suku-suku di Melanesia, khususnya Papua (Byak) yang mengenal kebiasaan atau tabiat kultur kebumikan mayat di tengah malam suntuk. Apalagi untuk figur-figur yang karsa dan dahrmanya membumi, contohnya seperti Mansar Filep Karma. Apakah karena Mansar Filep dekat dengan pulau Jawa atau memiliki Istri yang notabenenya orang Jawa sehingga pola pemakamannya diarahkan oleh keluarganya sebagaimana tradisi pemakaman kejawen layaknya orang Jawa?
Dari sinilah menjadi cukup benar bahwa Mansar Filep dieksekusi oleh NKRI melalui penguasa lautan/pantai, yakni Nyi Rara Kidul demi suksesnya dua agenda negara, yaitu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT G20) di Denpasar, Bali dan Dialog Nasional versi Komnas HAM RI serta beberapa “kaki tangan” negara di Papua dalam rangka melunasi hutang negara yang berkisaran 7000-an triliunan dan mencuci nama baik NKRI di hadapan komunitas internasional semakin banjir dan menjamur dalam memberikan dukungan solidaritas bagi hak penentuan nasib sendiri bangsa Papua (Self Determination for West Papua).
Terkesan sebuah kesangsian kuat bahwa ada semacam campur tangan ‘alam gaib’ atau kuasa gelap dari Nyi Rara Kidul sebagai penguasa laut RI. Sekalipun Filep, bahkan Edy Mufo dan Arnold C. Ap adalah orang-orang Byak sejati, yang moyangnya adalah para navigator dan pelaut sejati, tetapi toh mereka lenyap ditelang ombak yang adalah nenek moyangnya sendiri di Pantai Base G. Base G adalah salah satu pantai di Kota Jayapura. Pantai itu pernah ditempati oleh para sekutu pada bulan April 1944 ketika menghadapi perang melawan Jepang. Salah satu pos pertahanan dibangun di pantai itu sehingga diberi nama Base G. Pantai itu pantai bersejarah. Namun perlu dicatat dalam tinta merah bahwa penguasa lautan/Pantai NKRI ini adalah Kanjeng Ratu Kidul, yang notabenenya penguasa pantai NKRI. Sehingga sudah barang tentu kuasa dan pengaruhnya lebih besar dan dahsyat daya alam dan leluhur yang bertugas menjaga dan melindungi tiga Napi sejati di atas.
Andil Nyi Rara Kidul
Kebumikan public figur, “orang besar” di tengah malam, dalam tradisi dan budaya Melanesia, khususnya Papua adalah sesuatu yang ‘pemali’ atau ‘tabu’. Sebab dalam konsep pembagian waktu orang Papua proto dikenal bahwa pasca matahari terbenam yakni malam hari itu sudah menjadi waktunya para “roh halus” atau “makhluk spiritual gaib”. Waktu manusia untuk beraktivitas, berutinitas, termasuk di dalamnya memakamkan mayat itu semua dilakukan mulai dari matahari terbit sampai sebelum matahari terbenam, sebab jika matahari terbenam, maka itu sudah menjadi bagian dari aktivitas dan rutinitas ‘setan’, manusia sangat pemali untuk melakukan apapun di waktu malam, apalagi menguburkan tokoh atau sosok teladan masyarakat.
Kira-kira kubur mayat atau bakar mayat di tengah malam itu tradisi dan budaya dari mana? Adakah suku-suku di Papua yang mengenal dan membenarkan budaya penguburan atau pembakaran mayat di tengah malam hari? Suku apa dan di wilayah adat bagian mana di Papua jika ada? Mengapa semua orang, terutama para pejuang kemanusiaan dan kemerdekaan Papua yang hadir saat itu tidak berpikir terkait hal fundamental, esensial, subtansial serta spritual kultural ini?
Apakah kesemuanya tidak tahu budaya atau situasi kondisi saat itu tidak mendukung? Apakah situasi kondisi, kemauan Keluarga, kondisi mayat dan lainnya itu lebih bermakna daripada membumikan Jasad Mansar Filep secara budaya Papua sejati?
Yang jelas kubur malam atau bakar mayat, terlebih orang-orang besar di tengah malam hari adalah murni bukan budaya Papua Proto. Itu budaya Melayu. Hanya masyarakat Nusantara yang mengenal tradisi menguburkan atau membakar mayat di tengah malam hari. Apa motif dan modus Nyi Rara Kidul dan para konglomerat NKRI di balik semua skenario iblis cum manusia ini?
Bahwa “Lautan Manusia” atau “Tsunami Massa” rakyat Papua yang mengarak proses pemakaman mediang Filep Karma yang menyejarah itu, sedikit banyaknya termuat juga atau terselubung juga praktek pesugihan, perarakan dan persembahan sesajen kepada Nyi Loro Kidul demi suksesnya misi dialog Nasional versi Komnas HAM RI dan KTT G20 di Denpasar, Bali.
Dalam hal ini jasad Mansar Filep seakan-akan menjadi ‘Kurban Sesajen’ bagi Nyi Rara Kidul demi menyukseskan dan menyuburkan litani dan tirani penderitaan, penindasan dan penjajahan di bumi Papua. Selain sebagai sebuah bentuk doksolosgis, apresiasi dan penghormatan bangsa Papua atas jiwa nasionalisme dan sikap patriotisme Mansar Filep Karma yang membumi.
Nyai Rara Kidul sedang menari riah pasca kematian dan ritus kebumian Mansar Filep Karma. Misi pesugihannya lolos. Laut semakin ganas, Nyai semakin kuat, para aktivis HAM Papua diharapkan pantang ke laut/pantai sebelum merekonsiliasi diri.
Soekarno pernah menikah dengan Nyi Loro Kidul. Hal ini terbukti dari beberapa hal, 1). Dalam pidatonya di Istana Merdeka yang berlangsung pada 17 Juli 1959. Ia menyatakan bahwa sesuai tradisi sejak era Mataram Islam seorang raja dapat menjadi orang besar apabila menikah dengan Nyi Roro Kidul. 2). Dalam acara Musyawarah Nasional Maritim yang digelar pada 23 September 1963, nama Nyi Roro Kidul juga kembali disebut. Kepercayaan bangsa Indonesia bahwa seorang raja Indonesia itu akan kuat jika ia menikah dengan Nyi Loro Kidul. 3). Soekarno mendirikan sebuah Istana Presiden Sukabumi di bibir Pantai Citepus, Jawa Barat, pada 1960, dikenal dengan nama Pesanggrahan Tenjores atau Hotel Ina Samudera.
Tabiat atau tradisi “Nikah Dengan Nyi Loro Kidul” atau “Kawin Dengan Laut” ini sudah ada sejak Jaman Panembahan Senopati, Sri Mangkunegara IX, Sunan Pakubuwono XIII. Bahkan berlanjut turun-temurun pada raja-raja keturunan Mataram, (https://www.kompas.com/stori/read/2022/04/13/110000079/apakah-soekarno-pernah-menikah-dengan-nyi-roro-kidul, Rabu, 02/11/2022).
Filep Karma: ‘Kurban’ KTT G20 Bali dan Dialog Nasional?
Hal ikwal yang hendak Penulis tegaskan bahwa energi alam pantai Papua (Pantai Base G) yang telah menolong Mansar Filep, seperti pengalamannya tahun lalu, 12 Desember 2021, itu berhasil ditaklukkan oleh Nyi Loro Kidul dan pasukannya sebagai penguasa laut NKRI yang terselip dalam skenario pembunuhan terstruktur, sistematis dan profesional yang diarsiteki oleh Badan Intelejen Indonesia demi suksesnya saham para “budak seksnya” yang adalah para konglomerat di republik ini pada ajang KTT G20 di Denpasar Bali (Pusat Kekuatan Supranatural Bangsa Indonesia) dengan keindahan Pantai yang memanifestasikan keelokan dan kecantikan Nyi Loro Kidul. G20 adalah pertemuan ketujuh belas Kelompok Dua puluh (G20). KTT G20 ke-17 akan berlangsung pada 15-16 November 2022 di Bali. Papua akan menjadi salah satu komoditas pasar global empuk yang akan dikomersilkan oleh NKRI kepada negara-negara kapital, feodal, kolonial, imperial, Borjuis dan liberal yang akan datang sesuai agenda Perburuan Harta Karun di West Papua yang termuat dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) periode 2024.
Selain itu, dalam tenggang waktu yang sama pula negara hendak meloloskan dialog Nasional. Negara sepertinya gentar dengan adanya sosok seperti Filep di tengah rakyat Papua karena potensial, agenda-agenda besar negara menjadi bubur basi.
Maka konsekuensi logisnya adalah bahwa darah dan nyawa Leoni Tanggahma, Yonah Wenda, Zode Hilapok dan Mansar Filep Karma menjadi tumbal secara mengenaskan di bibir Pantai Base G sebagai penguasa lautan Iblis.
Justru itu hemat penulis supaya publik tidak tersesat, maka perlu ada;
Pertama, Kunjungan Dewan Tinggi HAM PBB ke Papua sebagai Tim investigasi dan advokasi independen asing yang bukan saja menyelesaikan persoalan-persoalan HAM, tapi juga semua kejahatan kemanusiaan atas tokoh-tokoh Papua yang meninggal secara misterius dan tidak wajar, sebagimana mendiang Mansar Filep Karma.
Kedua, Jurnalis Asing yang independen, netral, kredibel, dan par excellence mesti masuk ke Papua bersama KT HAM PBB guna menginvestigasi, meneliti, mendokumentasikan dan mempublikasikan Kronologi Kematian Tuan Filep Karma dan semua tokoh Papua beserta semua peristiwa pelanggaran HAM secara paripurna.
Ketiga, Perlindungan keluarga Filep Karma oleh lembaga kemanusiaan. Perlu juga rekonsiliasi internal Keluarga inti Filep Karma.
Keempat, bangsa Papua mesti bersama dan bersatu di dalam rencana dan kehendak Tuhan atas Papua. Bangsa Papua mesti bersama dan bersatu dalam agenda Rekonsiliasi massal bangsa Papua lintas tiga tungku; Adat, Agama dan Pergerakan Perjuangan yang akan diprakarsai oleh Jaringan Doa Rekonsiliasi Untuk Pemulihan Papua (JDRP2) pada pertengahan November mendatang ini. Agar bangsa Papua mampu terbebas dari litani dan tirani kuasa gelap melalui Serangan Darat, Udara dan Laut Nyi Rara Kidul yang termanifestasi dalam kesatuan angkatan bersenjata Indonesia (TNI AD, TNI AU, TNI AL), BIN/BAIS, Komnas HAM RI, KTT G20, dan lainnya.
Bahwa selain mereka itu ada juga armada perang Nyi Loro Kidul sebagai penguasa Kraton Pantai Selatan di Darat, Udara dan Laut. Kuasa kegelapan ini hanya bisa ditaklukkan dengan jalan perjuangan tanpa kekerasan sebagaimana teladan nasionalisme dan patriotisme Mansar Karma sendiri yakni dengan Berdoa, Berpuasa dan Berjuang secara total, loyal, konsisten, setia dan dilandasi dengan rasa cinta kasih yang besar.
Kelima, gagalkan KTT G20 di Denpasar Bali (Konferensi Tingkat Tinggi G20 Bali 2022) yang dilakukan oleh 56 negara atas dasar tumbal para pejuang kemanusiaan, kekayaan alam, dan kekuatan spiritual bangsa Papua. Kita harus ingat bahwa 2023 adalah penentu mati-hidupnya bangsa Indonesia akibat lilitan hutang luar negeri yang meroket, bahwa Indonesia ada di ambang resesi ekonomi atau krisis moneter ekonomi, maka guna meloloskan itu pengalihan isu besar-besaran dilakukan di Papua, yakni pembunuh para pejuang sejati Papua dan pemilihan Uskup Pribumi Pertama sebagai upaya gangguan psikologis massa di Papua. Ada rasa duka, tapi juga rasa suka.
Keenam, Tahun 1998 dan Tahun 2004 Bapa Bangsa, Mansar Filep Karma Kibarkan Bintang Fajar di Byak dan Jayapura. Maka berikutnya, setelah kepergiannya, Mesti ada 1000 Mahasiswa dan Pemuda Papua yang siap kibarkan Bintang Fajar. Sebab, Untuk itulah Perjuangannya.
Ketujuh, Segala Duka Orang Papua akan Dihapus oleh Komnas HAM RI melalui Dialog Damai Komnas HAM RI sudah, telah, sedang dan akan menjadi Malaikat/ juru slamat. Percayakah bangsa Papua pada obat mujarab Dialog Damai versi Komnas HAM RI?
“Kalau saya harus mati sebelum Papua merdeka, maka saya akan ketemu Tuhan dan sampaikan bahwa orang Papua masih tertindas”, Mediang Mansar Filep Karma.
Selamat Jalan Pejuang. Memento Mori !
Penulis adalah mahasiswa Sekolah Filsafat-Teologi “Fajar Timur” Abepura-Papua)