MATARAM, diptapapua.com – Front Aktivis Nusa Tenggara Barat (NTB) melakukan konferensi pers serta pernyataan sikap terkait 7 (tujuh) tahanan politik (Tapol) Papua yang dituntut 5-17 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum Balikpapan, (Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengki Hilapok, Irwanus Urabmabin, Buchtar Tabuni, Steven Itlay dan Agus Kosay).
Konferensi pers yang dilakukan pada Minggu, (14/06/2020) pukul 18.oo WITA hingga pukul 19.oo melibatkan berbagai organisasi mahasiswa, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dan Ikatan Mahasiswa Papua Mataram (IMAPA-Mataram).
Ketua GMNI cabang Mataram, Al Mukmin, S.Pd mengatakan bahwa front ini dilakukan atas respon terhadap berbagai peristiwa yang terjadi di Papua.
“Front ini terbentuk karena amarah bersama terkait proses Hukum yang tidak adil terhadap 7 Tahanan Politik (Tapol), serta persoalan-persoalan lama yang hingga hari ini masih menghantui tanah Papua,” ujarnya dalam konferensi pers, Minggu (14/06/2020)
Selanjutnya, Ketua Imapa Mataram, Dedi Solly Yesnath menuturkan bahwa adanya ketidakadilan hukum yang dipelintir oleh negara.
“Proses Hukum ini sangat tidak adil dan perlu ditinjau kembali. Kebebasan berpendapat yang dilindungi Undang-undang Dasar, pada hari ini justru dipelintir oleh rezim Jokowi dengan pasal makar untuk memenjarakan suara rakyat Papua,” tegas Yesnath.
Konferensi pers yang bertempat di sekretariat PMKRI Cabang Mataram, dilanjutkan dengan pernyataan sikap beserta 5 tuntutan sebagai berikut:
- Mendesak Presiden Joko Widodo untuk membebaskan 7 Tapol (Tahanan Politik) tanpa syarat.
- Menuntut Presiden Joko Widodo untuk membentuk Peradilan HAM di tanah Papua.
- Menyerukan Pemerintah untuk mencabut operasi militer di tanah Papua.
- Hentikan diskriminasi dan intimidasi kepada aktivis di Indonesia.
- Hentikan politisasi yang mengatasnamakan rakyat Papua untuk kepentingan pribadi.
Usai membacakan tuntutan, Prandy A.L Fanggi ketua GMKI menegaskan bahwa Presiden harus segera menyelesaikan persoalan ini, karena ia mengatakan bahwa persoalan yang terjadi ialah persoalan Hak Asasi Manusia (HAM) yang tak kunjung henti.
“Persoalan Papua ini pada esensinya adalah persoalan HAM yang terus berulang-ulang terjadi, sebagaimana sudah tercantum dalam tuntutan yang tidak kunjung selesai hingga hari ini, Presiden harus segera menyelesaikan persoalan inti ini, khususnya sebelum memasuki pembahasan Revisi UU Otsus,” beber ketua GMKI.
Kemudian, ketua PMKRI Andreas Petrus Wakai turut mengutuk keras putusan pemidanaan terhadap aktivis Mahasiswa khususnya mahasiswa Papua.
“Presiden harus ikut memantau jalannya proses hukum yang terkesan mengada-ada, pemenjaraan terhadap aktivis Papua adalah bukti bahwa rezim Jokowi terlihat tak ada bedanya dengan Presiden-presiden sebelumnya yang selalu menggunakan instrumen dan aparatur penegak hukum sebagai alat pemukul rakyatnya sendiri,” tuturnya.
Pada kesempatan itu front Aktivis Mahasiswa NTB berjanji akan terus mengawal proses penegakan hukum serta seluruh persoalan-persoalan HAM di tanah Papua.
“Kewajiban bagi mahasiswa maupun seluruh rakyat Indonesia untuk terus memantau dan menyuarakan seluruh ketidakadilan yang terjadi di Bumi Papua hingga rakyat Papua mendapatkan keadlian yang setara dengan warga masyarakat di Provinsi lainnya,” tutup Ketua GMNI Mataram, Al Mukmin. (N/F: Maxi)