DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
Jayapura – Diskusi publik yang diselengarakan oleh Amnesti Uncen dengan tajuk, “Profesionalisme Hakim Dalam Pemeriksaan dan Putusan Kasus Pasal Makar di Pengadilan nlNegeri Klas 1A Abepura Jayapura”, dihadiri oleh tiga pemateri di antaranya, Helmi, SH. (Koalisi Penegak Hukum dan Ham Papua), Dr. Methodius Kossay, SH,. M.HUM (Kordinator Penghubung Komisi Yudisial Provinsi Papua) dan Emanuel Gobay, SH,. MH (Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua).
Penegak Hukum dan HAM Papua, Helmi menyampaikan bahwa Pasal Makar sering digunakan untuk bungkam ruang demokrasi.
“Pasal makar belakangan ini dijadikan alat negara, kemudian digunakan oleh penegak hukum untuk membungkam ruang ekspresi,” kata dia kepada diptapapua.com saat diskusi yang berlangsung di Kabesma Uncen, pada Kamis, (20/04/2023).
Menurutnya, Pasal Makar salah ditafsir sesuai Putusan MK No. 7 Tahun 2017 tentang penggunaan pasal makar.
“Negara masih menerapkan sistem Kolonial Belanda melalui pasal makar, guna menjerat Aktivis Mahasiswa Papua. Sehinga makna sesungguhnya Pasal Makar salah menepatkan kasus-kasus yang terjadi di Papua, terlebih khusus kepada mahasiswa dan kelompok yang peduli demokrasi,” tegas Helmi.
“Misalnya, sejumlah mahasiswa saat ini ditahan seperti Gerson Pigai, Camus Bayage dan juga aktivis Victor Yeimo, juru bicara Internasional KNPB dan juru bicara Internasinal Petisi Rakyat Papua” sambung dia.
Dalam kesempatan tersebut, Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay menambahkan bahwa orang Papua saat ini diperhadapkan dengan stigma politik dan rasisme yang mengakar. Hal ini dibutikan degan cara kerja aparatur negara dalam menjalankan hukum, karena stigma politik mempengaruhi keputusan yang diambil.
“Atas dasar praktik tersebut, terkesan bahwa tidak profesionalisme kode etik untuk Hakim dalam penerapan hukum, katakan saja kasus Victor Yeimo,” bebernya.
Juga belakangan ini, diinformasikan bahwa hakim yang menangani kasus Victor Yeimo akan dipindahkan berkasnya ke Pengadilan Negeri Makasar. “Skenario pindahkan berkas ke Pengadilan Negeri Makasar adalah cara untuk menunda putusan kepada Victor Frederik Yeimo. Terbukti putusan perkara sudah dua kali ditunda” ucap Gobay.
Lebih lanjut, Gobay menambahkan bahwa pihak kepolisian terus membatasi hak-hak demokrasi mahasiswa dengan alasan tidak boleh melakukakn aksi karena tidak ada surat izin ke pihak kepolisian. Padahal, Menurut Direktur LBH Papua ini, bahwa yang tertulis dalam undang-undang itu bukan mengizinkan tetapi hanya berupa pemberitahuan.
“Mereka menggunakan alasan harus ada surat izin utuk menghalang-halangi mahasiswa, padahal sesuai aturan bukan begitu, tetapi yang dimaksud berupa pemberitahuan,” katanya.
Menanggapi ketidak profesionalisme Hakim, Koordinator Perhubungan Komisi Yudisial Provinsi Papua, Methodius Kossay menegaskan bahwa Hakim yang tidak menjalankan kode etik segera dilaporkan kepada Komisi Yudisial. Menurutnya hukum itu berlaku adil untuk semua orang, tidak memihak kepada golongan atau etnis tertentu. Sehingga ada kedapatan Hakim tidak menjalankan profesi sesuai instruksi konsitusi negara, segera dilaporkan.
“Jika itu yang terjadi, segera laporkan. Kami akan turun dan melakukan pemantauan terhadapa Hakim,” terangnya.
Kossay juga mengaku Komisi Yudisial baru bekerja di Papua semenjak November tahun lalu, kini baru memasuki empat bulan di Papua. Sebabnya banyak kalangan dan juga masyarakat luas belum tahu keberadaan lembaga ini. Dia berharap untuk mewujudkan keadilan kepada semua orang, maka tentu didukung oleh semua pihak guna melancarkan tugas dan tanggug jawab untuk melayani.
“Kami sangat membutuhkan dukungan dari semua kalangan yang ada demi mewujudkan keadilan di Papua,” tutupnya.
(Reporter: Kam)