Penulis: Yohanis P. Nauw
Sejak integrasi 1 Mei 1963 sampai saat ini, masalah Papua terus menjadi perdebatan yang hangat di berbagai aras, baik di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. konflik yang terjadi di Papua ini terus membara karena konsep penanganannya tidak tepat. Lebih parah lagi, pemerintah pusat tidak serius mengurusinya (diam).
Pada tahun 1963 Papua masuk ke dalam keluarga besar NKRI. Hal ini menjadi konspirasi dan pertanyaan besar bagi orang Papua, di mana perjanjian New York Agreemen 15 agustus 1962 yang tidak melibatkan orang asli Papua, dan sejak itu pula banyak pelanggaran-pelanggaran HAM terjadi pada pemerintahan Soeharto hingga Jokowi pun masih belum terselesaikan. Contoh Kasus, invasi militer Indonesia melalui tiga komando rakyat (Trikora) 1963 yang menewaskan ribuan rakyat sipil. Representasi jajak pendapat (PEPERA) 1969 juga menjadi penyebab resistensi rakyat Papua terhadap pemerintahan Indonesia selama ini.
Dalam lintasan sejarah, sejak pemerintahan Soeharto yang dikenal bengis dan otoriter membuat sebagian orang Papua kehilangan sanak saudara, kehilangan rumah, sebagian terpaksa mengungsi ke hutan, dan pengasingan luar negeri. Sejak itulah sampai saat ini, kehidupan orang Papua terhuyung-huyung, karena tindakan tak manusiawi yang dilakukan oleh militer Indonesia melalui berbagai operasinya. Papua yang dikenal sebagai negeri yang kaya akan susu dan madu nampaknya memiliki sejarah kelam yang panjang sejak dilangsungkan sebagai daerah operasi militer (DOM) oleh negara di bawah rezim Soekarno hingga Soeharto bahkan saat ini pun pelanggaran HAM terus terjadi.
Beberapa bentuk operasi militer yang pernah dilaksanakan secara masif di Papua pada dua resim tersebut, antara lain : Operasi sadar (1965-1967), operasi brathayudha(1967-1969), operasi wibawa (1969), operasi militer di Kabupaten Jaya Wijaya (1977), operasi sapu bersih I dan II (1981), operasi galang I dan II (1982), operasi tumpas (1983-1984) dan operasi sapu bersih (1985) dan begitu banyak operasi militer di negeri Cenderawasih itu.
Selain operasi militer, ada bentuk kekerasan lain juga pernah dilakukan terhadap rakyat Papua di beberapa tempat, seperti operasi Mapenduma tahun 1999, penangkapan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap rakyat Papua di Biak, kasus Abepura dan Wasior berdarah tahun 2000.
Kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia di tanah Papua-pun terkadang melenceng dari harapan masyarakat Papua. Misalnya, kebijakan otonomi khusus (Otsus) tahun 2001 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, yang cenderung dipaksakan tampa melalui proses musyawarah resmi antara Jakarta dan Papua, tapi “Otsus lahir atas konspirasi politik di belakang meja” begitu anggapan orang Papua.
Hal ini membuahkan silang pendapat antara masyarakat Papua dan pemerintah Indonesia yang tak pernah berkesudahan. Padahal, harapan rakyat Papua untuk memuluskan pembangunan di Tanah Papua, lebih awal harus menuntaskan bayang-bayang sejarah masa lalu yang masih menghantui orang Papua.
Konfrontasi politik antara dua kutub, Indonesia dan Papua adalah persoalan paradigma dalam melihat sejarah politik di masa lalu. Di mana menurut orang Papua, sejarah masuknya Papua ke dalam skema NKRI masih bermasalah alias ilegal. Sementara menurut pemerintah Indonesia, proses integrasi Papua ke dalam NKRI sudah sah dan final. Hal ini menjadi salah satu biang konflik di Tanah Papua yang dapat menghambat proses pembangunan di berbagai sektor kehidupan akibat interupsi bayang-bayang sejarah masa lalu.
Secara empiris, kebanyakan orang Papua bersuara untuk berbagai kebebasan, baik itu kebebasan hidup, kebebasan berpendapat dan kebebasan menentukan nasib sendiri. Malah mereka ditetapkan daftar pencarian orang (DPO), dikejar, ditangkap, diadili, dipenjara, diculik dan dibunuh hanya dengan dalih dan tuduhan separatis atau Organisasi Papua Merdeka(OPM).
(Sumber: Grahabudayaindonesia.at.webri.info)
Perjuangan mereka (orang Papua) adalah untuk kebebasan yang sebenarnya di Tanah Papua. Perjuangan yang damai, demokratis dan bermartabat dengan dilandaskan pada pendekatan dialog dan diplomasi (pendekatan rasional) justru ditanggapi pemerintah Indonesia melalui alat negaranya (TNI/Polri) dengan cara-cara yang koersif dan dehumanistik. Contoh kasusnya aksi demostrasi rasisme di Manokwari, Papua Barat pada 19 agustus 2019 lalu yang kemudian mengakibatkan pemerintah pusat mematikan jaringan tekhnologi dan informasi selama satu minggu. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah Indonesia tidak ingin masalah ini diketahui orang luar (Internasional).
Sudah sekian banyak orang Papua yang dibunuh karena mereka bersuara untuk kebenaran. Pembungkaman ruang kebebasan demokrasi, penangkapan aktivis-aktivis pun terjadi pada iklim yang demokrasi ini. Buktinya, kepolisian daerah (polda) papua dengan ketat melarang orang Papua untuk tidak melakukan aksi demostrasi atau berbagai kegiatan yang menyatakan pendapat di muka umum lainnya.
Kebijakan otonomi khusus (Otsus) yang diberlakukan sejak tahun 2001 belum memberikan dampak yang signifikan bagi perbaikan hidup masyarakat asli Papua. Sebab tidak tepat sasaran dan tanpa pengawasan terhadap Otsus sendiri dalam artian “permen manis yang diberikan lalu dibiarkan begitu saja entah semut, kecoa dan nyamuk beserta siapa saja boleh makan”.
Hal ini dibuktikan dengan evaluasi 7 Tahun pelaksanaan Otsus di Papua tahun 2008 di Universitas Cendrawasi Jayapura yang melibatkan Pemerintah Provinsi Papua dan hasilnya ialah “Otsus Gagal”. Dua tahun kemudian, 2010 evaluasi yang dilakukan oleh Majelis Rakyar Papua (MRP) yang hasilnya menyatakan otsus gagal, dan ini membuat situasi di Tanah Papua makin pelik (kusut).
Sampai saat ini penolakan terhadap Otsus kian memanas di Papua, ditambah lagi pelanggaran HAM berat yang terus terjadi. Contoh kasus penembakan terhadap pendeta Yeremia Zanambani oleh TNI baru-baru ini, yang diuangkapkan oleh tim kemanusiaan Intan Jaya yang diketuai oleh Haris Azhar.
Keinginan masyarak Papua adalah dialog, tentu berdialog itu sangat penting. Dialog sebagai jalan terbaik bagi penyelesaian konflik Papua yang telah beralarut-larut selam 57 Tahun berintegrasi dengan Indonesia. Dialog juga sebagai sarana untuk menghindari bentuk kekerasan dan pertumpahan darah, sebagimana yang telah dialami rakyat Papua selama menjadi anak setia dengan Indonesia.
Hal Ini Menjadi PR Besar Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jangan Ada Kerikil dalam Sepatu NKRI “Luka Untukmu Darah Untukku”.
Penulis adalah Selaku Sekretaris Ikatan Mahasiswa Teluk Bintuni Kota Studi Manokwari**