Inisialisasi Papua di Dunia Setelah Perang Darat dan Laut

“sejarah singkat geopolitik dan masalah ekonomi-politik internasional Papua”

Oleh: Kris Ajoi

Artikel ini pertama-tama membahas bagaimana imbas dari gerakan modernisasi mempengaruhi ekspansi perang global yang memperebutkan sumber daya (manusia dan alam), kemudian kasus Freeport dilihat dalam peta pemikiran ekonomi-politik yang disebut dengan ekspansi kapitalisme, dengan jalan memetakkan, menguasai dan mempertahankan wilayah-wilayah strategis, lalu menghasilkan apa yang terjadi di Kabupaten Mimika, Timika (Tembagapura) di atas gunung Nemangkawi yang sekarang berubah menjadi kawah bekas galian dan areal pertambangan dari PT. Freeport, dan bagaimana Freeport dilihat sebagai lahan ekonomi dan alat politik Indonesia dan Papua di dunia internasional, kemudian bagaimana perkembangan masalah ekonomi-politik internasional Papua?

Narasi tanggapan atas pertanyaan  di atas akan menggambarkan bagaimana Papua sejak masa perang geopolitik hingga perang saraf melalui teknologi internet saat ini. Di mana ini dapat dikatakan merupakan rangkaian inisialisasi Papua ke dalam agenda ekonomi-politik dunia. Dalam arti sederhana bahwa, Papua juga terkait dengan negara-negara yang berkepentingan dalam hal ekspansi kapital dan diplomasi politik, dan hubungan kerja sama, terutama dalam hal ekonomi dan relasi kultural atau kebudayaan (termasuk rasial). Tujuannya jelas bukan memberikan kesimpulan pasti tentang pengaruh Freeport terhadap konstelasi ekonomi-politik Papua di dunia internasional, melainkan melihat kecenderungan keberadaan Freeport sebagai salah satu sumber masalah di Papua. Pada akhirnya, ini tentu dianggap mempengaruhi proses inisialisasi (pengenalan) nama Papua di dunia Internasional. Artikel ini tidak mengulas diplomasi Indonesia dan Papua saat ini, sebab geopolitik masih banyak dilihat dalam realitas historis dan belum banyak kajian geopolitik dalam yang memgaitkan politik nasional Indonesia di Papua. Sedangkan diplomasi Indonesia dan Papua akhir akhir ini perlu dilihat dalam suatu kajian tersendiri.

Sumber informasi penting yang menuntun penyusunan artikel ini adalah George A. Mealay (Mealay, 1996); Muridan Widjojo (Widjojo, 2002); Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares (Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares, 2003); Ngandisah (Ngandisah, 2003); Agus Alua, 2006; Paharizal dan Ismantoro Dwi Yuwono (Paharizal dan Yuwono, D. Ismantoro, 2016); P.K. Ojong (Ojong, 2001), (Sinaga, 2013), (Siregar, 2000 ), (Singh, 2008), dan Greg Poulgrain (Greg Poulgrain, 2017 (terj); dan jurnal seperti jurnal LIPI oleh Adriana Elisabeth dengan judul “dimensi internasional kasus Papua”dan “kemiskinan dan konflik Papua di tengah sumber daya yang melimpah” yang ditulis oleh Sri Yanuarti. Juga informasi tentang paradigma ekonomi politik yang bisa dilihat pada kepustakaan artikel ini.

Sejarah Geopolitik dan Ekspansi Kapitalisme: Sebuah Konsep Umum

Inisialisasi Papua dan ekspansi ekonomi politik melalui perang geopolitik hanya bisa dipahami kalau kita memahami apa itu gerakan perluasan kekuasaan ekonomi atau dapat disebut imperium kapitalisme dan gerakan perluasan kekuasaan politik yang dipahami sebagai kolonialisme. Dimulai dari salah satu tonggak sejarah dunia setelah masa pencerahan (renaisans) yaitu  revolusi industri yang mendorong keluarnya bangsa-bangsa Eropa menjelajahi dunia (merkantilis). Tujuannya mempercepat wujud kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (perang). Sekaligus membangun kembali puing-puing peradaban yang sudah diremukkan oleh perang bangsa-bangsa dan krisis ekonomi di benua itu. Itulah cikal bakal ekspansi kapitalisme yang disebut pergerakkan pelayaran ekonomi dan politik dengan ekspansi geografis ke Benua Amerika, Asia-Pasifik dan Afrika. Pergerakkan itu ditandai dengan pembentukkan organisasi dagang, teknologi perkapalan dan perairan, serta perjalanan-perjalanan keliling dunia. Marcopollo, Amerigo Vespuci, dan Vasco Da Gamma, juga pelaut-pelaut lain yang ikut setelah itu sudah membuktikan bahwa tesis awal ini benar.

Secara ideologis, pemahaman tentang politik komunitarianisme-egalitarianisme yang sering dikaitkan dengan ideologi politik sosialisme-komunisme dianggap tidak layak dan menghambat kapitalisme. Jadi paham itu digantikan dengan liberalisme-kapitalisme yang dibeking dengan sikap politik utilitarianisme. Barangkali ini sama dengan yang disebut oleh Samuel Huntington bahwa perang di masa setelah abad kegelapan diganti abad pelita atau zaman pencerahan adalah geliat perang civilization, intra-civilization, inter-civilization, dan multicivilization atau perang yang dipengaruhi oleh benturan peradaban (Huntigton, 1996, pp. 3-73). Di mana masa komunal primitiv mulai diganti dengan prinsip egaliter dan penghargaan terhadap hak hak dasar kemanusiaan. Berhubung Barat (istilah Huntington) telah dahulu menemui zaman kapitalisme maka hampir seantero motto negara negara Eropa hampir berdasar pada nilai nilai kultural yang mencakup sikap egaliter, individualis, ego, dan humanisme yang semuanya dibingkai di dalam semangat utilitas, yang berarti, nilai nilai dasar kultural ini dimaksimalkan dengan mendasari kepentingan umum sebagai keutamaan hidup. Dalam pengertian di situlah negara hadir sebagai “pengelola”.

Di situlah kapitalisme hadir sebagai roh perubahan. Sebagaimana dikatakan oleh Eric Hiariej bahwa “kapitalisme sebagai sistem produksi yang bertumpu pada kapital”, hanya dapat dikerjakan dalam sebuah nasionalisme negara-bangsa, untuk meningkatkan kapital dengan berbagai siasat penguasaan sistem produksi. Pada era merkantilisme, sistem produksi adalah tentara, teknologi perang dan pelayaran serta wilayah strategis (perang) dan yang kaya akan sumber daya alam. Komoditasnya adalah hasil perkebunan, termasuk rempah-rempah. Maka itu, menguasai suatu wilayah adalah cara terbaik (strategi) untuk memenangkan kepentingan (taktik). Tentu saja bangsa-bangsa Eropa melakukan itu juga “dengan cara memecah belah (verdeel en heers/divide et impera) untuk menguasai penawaran rempah-rempah dalam perdagangan dunia bagi kepentingan”.  Relevansinya dengan realitas geografis Papua di Indonesia saat ini ditulis dalam dua paragraph Media Indonesia bahwa, “dari sudut pandang geopolitik Indonesia, Papua dan Maluku berperan bagai “jantung Tanah Air”, sementara inland sea dari kenusantaraan Indonesia dan Kepulauan Sunda Besar serta Sunda Kecil menjadi arterinya. Maka itu, Papua, satu-satunya pulau terbesar di Pasifik yang langsung bersebelahan dengan Melanesia dan Polynesia, selalu menjadi target untuk memecah belah kesatuan geopolitik Indonesia………, maka maksim geopolitik Indonesia selaku negara maritim adalah siapa menguasai Papua dan Maluku berarti menguasai jantung arsipel Indonesia, siapa menguasai jantung arsipel Indonesia akan menguasai arterinya, dan siapa yang menguasai arteri itu akan berdaulat atas keseluruhan negara-bangsa Indonesia. Maksim ini sebaiknya menjadi rujukan dalam penjabaran konsep geostrategi dan geopolitik dari strategi maritime”.  Hal ini membenarkan sejarah geopolitik perang dingin dan kolonialisme berlapis terhadap Papua yang bisa dikatakan bahwa penyebabnya karena Indonesia memiliki penduduk terbanyak nomor tiga di dunia setelah Cina dan India, termasuk besarnya kekayaan alam di Papua (juga di Kalimantan dan daerah lain) yang terkandung di dalam tanah, di atas tanah, dan di dalam laut/air.  Maka itu bagi Matthew Sparke, “dinamika geopolitik sendiri cenderung diasosiasikan kepada persaingan kekuasaan antarnegara lewat perebutan wilayah dan sumber daya” (tambahan saya, termasuk: alam dan manusia).  Itu memperjelas pengertian dasar bahwa perang geopolitik sangat dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi, perdagangan, yang pada dasarnya membuat status sebuah wilayah strategis biasanya dinamis, sebab diperebutkan dengan strategi perang darat dan laut-udara berkali-kali. Termasuk di dalamnya internasionalisasi kasus Papua atau bisa dikatakan juga sebagai proses pengenalan “wajah” Papua (inisialisasi) adalah jawaban nyata dari teori kapitalisme yang menyatakan bahwa pesatnya perkembangan kapitalisme itu sekaligus menjadi kuburan atas dirinya. Yang mana sifat paradoksal dari kapitalisme telah mewujud secara langsung di Papua dari berbagai sendi kehidupan yang selalu mendapat sentuhan emosi dan rasio masyarakatnya.

Sejarah Geopolitik-Perang Darat dan Laut

Secara historis, pada tahun 1600, Belanda membentuk sebuah perkongsian dagang yang disebut Vereenenigde Oostindische Companignie/Dutch East India Company (VOC) di bawah pimpinan Jan Piterzoon Coen. Coen mengungkapkan bahwa “kami tidak bisa berdagang tanpa perang dan perang tanpa berdagang”. Di sebelah, Inggris juga membentuk British East India Company atau East India Company (BEIC/EIC) pada 31 desember 1600, di bawah pimpinan Kapten James Lancaster dengan dukungan ratu Elisabeth I.  Tujuannya para pedagang dan pelaut dari latar belakang kebangsaan yang sama berlayar keluar dengan satu bendera nasional (isme). Jadi, menyangkut perdagangan, keuntungan pajak dan hasil yang dibawa dari pelayaran itu akan dikembalikan ke negara mereka. Barangkali itu cikal bakal wujud nasionalisme di awal pendirian bangsa-bangsa Eropa yang diwujudkan dengan jalan mengadministrasikan kesejahteraan dan keadilan (kutipan ungkapan Ahok, 2016).

Majalah online Historia menulis bahwa, Inggris mulanya mendapatkan rempah-rempah dari Venesia (Italia) atau Lisabon (Portugis) dengan harga amat mahal. Namun, sejak 1580, ketika Raja Philip II merebut tahta kekuasaan di Portugal, pasar-pasar Lisabon menutup pintu pengiriman rempah-rempah ke Inggris.” Kemudian melalui Traktat Breda (Treaty of Breda) tanggal 31 Juli 1667, Belanda dan Inggris bertukar pulau pada 1667: Manhattan (Amerika) dan Pulau Run (Maluku).   Inggris mulai mengelola dan mengekspor rempah-rempah dari Pulau Run di Maluku, termasuk memakai kekerasan untuk melumpuhkan dan meniadakan perlawanan penduduk setempat. Hal yang sama yang juga dilakukan oleh Belanda (VOC) terhadap penduduk Islam dan Islam Padri di Minangkabau, Tionghoa di Batavia, Jawa di Mataram Yogyakarta dan Surakarta, Makasar dan Gowa, Ternate dan Tidore, akhirnya juga Papua.

Rata-rata perairan yang dilalui bangsa Barat itu adalah Selat Malaka atau Laut Natuna yang pada waktu lalu disengketakan oleh Cina yang mengklaim namanya sebagai Laut Cina Selatan. Oleh karena itu menyambung dengan awal Belanda membangun peradabannya di Indonesia sejak 1600an, tepatnya 1616 di Sumatera dan 1620 di Batavia melalui Selat Malaka. Kemudian menyebar ke seluruh dataran-daratan Jawa. Pada masa itu, Spanyol dan Portugis menguasai wilayah kepulauan NTT, Timor Leste dan Maluku. Dari Ternate dan Tidore seringkali para pelaut Spanyol-Portugis mendaratkan kapal-kapalnya di perairan Papua. Inggris dalam pelayaran serikat dagangnya juga tiba di Aceh, Banten dan akhirnya mencapai Pulau Banda di perairan Maluku. Spanyol dan Portugis sudah lebih awal menempatkan posisi pertahanan pada wilayah strategis di Maluku, meski kemudian tidak bertahan lama. Inggris yang tidak begitu kuat bertahan juga kemudian bergeser ke sebelah timur pulau Papua, yaitu Papua Nieuw Guinea. Pada akhirnya Belanda berhasil mempertahankan kekuasaannya begitu lama di Jawa dan Sumatera, kemudian Papua 1930an/1898 hingga 1963. Ini terjadi setelah tahun 1810 Belanda berhasil menguasai laut Maluku.

Analisa geopolitik Papua dapat ditelusuri melalui salah satu sumber terpenting yang ditulis (alm) Agus Alua, diterbitkan oleh STFT Fajar Timur dengan judul “Papua Barat dari pangkuan ke pangkuan: suatu ikhtisar kronologis”, tahun 2006. Alua menyebut dengan mengutip berbagai literatur bahwa kontak orang Spanyol dan Portugis dengan Papua adalah periode 1551-1663. Pelaut yang namanya diketahui adalah Antonio d’Abreu yang masuk dan memberi nama Ihla de Papoia pada tahun 1511. Kemudian tahun 1517 Fransisco Rodriguez. Setelah itu datanglah Magelhanes bersama nahkodanya, Juan Sebastian del Cano dan seorang Penulis Italia bernama Antonio Pigaffeta dengan kapal “Victoria” pada tahun 1521-1522. Mereka menamai Papua dengan julukan “Isla de Oro” yang berarti pulau emas. Sampai dengan 1522, Portugis mulai menetap di Ambon dan Ternate untuk membuka perdagangannya. Pelayaran itu diketahui belum usai setelah datangnya Jorge de Menesez pada tahun 1526. Terus diikuti oleh Alvaro de Saavedra, tahun 1529. Kemudian tahun 1537 Herman Grijalva mengulangi perjalanan itu namun tewas akibat pemberontakan ABK (Anak Buah Kapal)-nya. Sampai orang yang paling tersohor karena nama Nova Guinea (Guinea Baru), yang diberinya, dipakai menjadi nama pulau itu, ialah Ynigo Ortiz de Retes dengan kapalnya “San Juan” pada 20 juni 1545. Kemudian tahun 1606 Kapten Torres dari Spanyol masuk lewat selatan dan mengklaim Papua sebagai raja Spanyol.

Maksud Spanyol dan Portugis menetap di kepulauan Maluku dan Timor Leste dengan tujuan memberi tanda akan penguasaannya atas daerah Timur dan menjaga perairan Timur Indonesia agar tidak dilewati kapal-kapal Beland dan Inggris. Sebab dari Timor Leste ke Ternate-Tidore dan Filiphina adalah satu garis lurus. Meski kemudian Belanda berhasil merampas kekuasaan atas laut itu selepas perjanjian antara Spanyol dan Portugis yang didukung oleh dua kubu yaitu Ternate dan Tidore. Akhirnya tahun 1663, setelah perang Ternate dan Tidore yang juga diperangi persaingan Spanyol dan Portugis, berakhir dengan berpindahnya kekuasaan Spanyol ke Philipina. Penaklukkan dua negara basis Kongregasi Serikat Jesus ini dicatat dalam sejarah, merupakan kekalahan akibat bubarnya hubungan kedua negara dan mengakibatkan krisis ekonomi dan kekalahan di dalam negeri kedua negara. Sebab diketahui Spanyol dan Portugis berhubungan (bersatu) sejak 1580 hingga 1640. Setelah sebelumnya terdapat perjanjian Thordesillas, 7 juni 1494 dan Zaragosa 15 april 1529 antara kedua negara itu. Kedua negara itu akhirnya mengalami chaos yang berdampak pada kurangnya semangat dan kekhawatiran yang diperparah dengan kurangnya pasokan militer dan kehilangan strategi dan taktik di wilayah kekuasaan/koloni.

Pelaut Belanda yang masuk di Papua tahun 1606 adalah Willem Janz yang masuk di Sungai Digul. Tahun 1616 Le Maire dan Schouten menjelajahi Teluk Geelvink. Tahun 1623 Jan Carstenz datang ke Papua dan menemukan gunung dengan salju dipuncak dengan teroponya, lalu menamai gunung itu dengan namanya, Carstenz. Tahun 1660, VOC membuat perjanjian dengan Ternate, Tidore dan Bacan, yang diperbaharui tahun 1667. Kelanjutannya Belanda menancapkan benderanya di pantai bagian barat Papua tahun 1678. Belanda menguasai Tidore dan Maluku pada tahun 1710 setelah menawan Sultan Tidore beserta putera mahkota dan Sultan Bacan di Batavia. Media Indonesia mencatat bahwa “…….kontestasi geopolitik yang sengit atas rempah-rempah antara Inggris dan Belanda selaku kekuatan kolonial di nusantaralah yang kemudian membuat Pulau Run, sebuah pulau kecil penghasil pala di Kepulauan Banda, ditukar guling dengan kawasan Manhattan (di New York) pada April 1667 melalui Perjanjian Breda antara Inggris dan Belanda (sebagaimana ditulis oleh Giles Milton dalam buku berjudul Nathaniel’s Nutmeg terbitan tahun 1999 yang kemudian diterjemahkan menjadi buku berjudul Pulau Run – Magnet Rempah-rempah Nusantara yang Ditukar dengan Manhattan diterbitkan Pustaka Alvabet tahun 2015)”.

Pada tahun 1824 diadakan perjanjian di London, yang dinamai Perjanjian London, diikuti dengan perjanjian Sumatera pada tahun 1872 (P, 2009, p. 17). Berdasarkan perjanjiaan itu Belanda semakin menguasai Sumatera dan Jawa di bagian barat dan pusat (sentral) kekuasaan di Batavia, ditambah dengan Papua di sebelah Timur. Yang artinya semakin strategislah kekuasaan Belanda setelah dua titik strategis dari wilayah-wilayah kepulauan yang strategis dari sisi keamanan perang dan kaya akan sumber daya alam dan kesuburan tanah bagi pengembangan pertanian. Kemudian, tanggal 24 agustus 1828, Belanda menancapkan benteng di Teluk Triton, Kaimana dan diberi nama Fort du Bus. Benteng itu tidak dilanjutkan karena wabah yang mematikan orang Belanda di sana tahun 1835. Mereka akhirnya meninggalkannya. Pada tahun itu juga, 1828, disepakati deklarasi antara Belanda dan Inggris. Kesepakatan itu bertujuan membagi wilayah kekuasaan antara kedua negara itu. Belanda menguasai bagian Utara dan Inggris menguasai bagian selatan. Sebelum itu, pada tahun 1793 Inggris sempat membangun benteng dengan nama Coronation di Manokwari namun tidak bertahan lama sebab terdapat perlawanan dari penduduk setempat. Setelah kedatangan dua Zending Belanda dan Jerman tahun 1855, tahun 1898 pemerintahan Belanda resmi dibuka di Manokwari, Fak-Fak, dan setelah Inggris akhirnya menempati PNG maka pada tahun 1910, untuk menghalau Inggris kembali ke Papua Barat, maka pemerintah Belanda mendirikan Pos Pemerintahan di Merauke. Pembangunan pos ini masih dilanjutkan di Teluk Humbolt pada tahun 1904 dan kemudian menjadi wilayah ibu kota provinsi Netherlands Nieuw Guinea dengan nama Hollandia (sekarang Jayapura) (P, 2009, p. 17).

Tahun 1904-1905, mulai dilakukan ekspedisi geografi/geologi oleh Lembaga Swasta dari Belanda, Koninklijke Netherlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KANG) atau Lembaga Geografi Belanda. Ekspedisi ini dilanjutkan dengan ekspedisi militer Belanda pada tahun 1907 sampai 1915, yang menghasilkan gambar peta Papua. Adanya peta Papua ini kemudian dimanfaatkan oleh perkongsian dagang orang Eropa untuk mengkssplorasi kekayaan alam Papua yang di dalam tanah. Pada tahun 1930an terdapat Netherlandsche Nieuw-Guinea Petroleum Maatschapijs (NNGPM), gabungan antara Royal Dutch Shell (40%), Standard Vacuum Oil dan Standard Oil Of California (60%). Perusahaan ini didirikan atas perkongsian antara beberapa perusahaan milik negara-negara asing, misalnya Inggris, Jepang, Belanda dan Amerika. Markas perusahaan minyak ini tercatat juga melakukan ekspedisi geologi pada tahun 1936 dari Babo. Jadi Pemerintah Belanda membangun percepatan pembangunan dengan mengesplorasi wilayah dengan sumber daya mineral dan tambang.

Setelah pemerintah Belanda mendirikan 6 wilayah pemerintahan di Papua, dimulai sejak 1898 di Manokwari hingga 1900an, maka para etnolog Belanda pada tahun 1950an mulai melakukan penelusuran etnografi untuk memetakan budaya Papua. Penelitian etnografi dan antropologi kemudian menggunakan peta-peta hasil ekspedisi itu dan para ahli etnografi Belanda pada 1950an berhasil membuat peta enam wilayah administrasi Netherlands Nieuw Guinea yang diadopsi oleh Dewan Adat Papua pada tahun 2008 untuk membuat dan mengesahkan peta tujuh wilayah adat di Papua, juga dilanjutkan melalui  SIL (Summer Institute of Linguistic), yang hasilnya adalah peta tujuh wilayah adat. Keabsahan tujuh wilayah adat ini diakui pada kongres Papua tahun 2000, berdasar pada penelitian doctoral Don Flassy, dosen Universitas Cenderawasih. Peta ini kemudian diadministrasikan ke dalam konstelasi politik Papua di pusat-Jakarta, yaitu strategi isolasi gerakkan Papua Merdeka yang nantinya termuat dalam kebijakan tentang otonomi khusus Papua (UU No.21/2001). Orang Papua menafsirkan otonomi khusus dengan “menjadi tuan di negeri sendiri dan putra putri asli daerah” menurut pemetaan silsilah marga dan tanah (darah dan tanah) yang memunculkan istilah “orang Biak memang orang Papua, tapi kan bukan orang Maybrat”. Itulah yang terjadi saat demo anti rasisme tanggal 19 agustus 2019 di Manokwari ditanggapi Gubernur Dominggus Mandacan bersama kepala suku Arfak lainnya dengan menyatakan bahwa suku Arfak sebagai tuan di Manokwari, ibu kota provinsi Papua Barat menolak aksi-aksi demikian, apalagi dengan kekerasan. Dalam pertemuan suku besar Arfak itu dilontarkan kata-kata seperti “jangan bikin kacau di rumah orang”, “Manokwari kota Injil jadi tidak boleh dicoreng”, kalau mau bikin kacau, pulang dan bikin kacau di daerah kamu sendiri”. Konflik ini juga bermuara pada Dewan Adat Papua yang terjadi dualism dari Jayapura hingga ke kabupaten kota. Diperparah lagi dengan adanya Lembaga Masyarakat Adat yang ada sejak adanya otonomi khusus. Maka terjadilah yang namanya “jiwa yang patah” akibat persaingan antar elit dan adanya ketidakseimbangan dalam distribusi kesejahteraan oleh para pejabat di Papua. Politik adat, tanah dan darah ini dijadikan sebagai alat untuk mengisolasi dan mendestabilisir gerakkan Papua Merdeka (Haryanto, Cornelis Lay, and Bambang Purwoko, 2018).

Sejarah Geopolitik: Strategi Geopolitik Perang Dingin

Tiga orang yang namanya dikenang dalam buku-buku Papua, Jean Jaques Dozy, A.H. Colijn dan Kapten Wissel melakukan ekspedisi yang cukup bersejarah. Mereka menemukan sebuah wilayah di gunung milik suku-suku di wilayah Kabupaten Mimika. Gunung ini diberi nama gunung biji (ertsberg) dan yang kedua adalah gunung rumput (grassberg). Dalam kesempatan itu Kapten Wissel juga memberi nama bagi tiga danau di kalangan suku Mee, Danau Tigi, Tage, dan Kamu dengan sebutan Danau Wissel, sering disebut Wissel Meren.

Setelah dua gunung ini ditemukan dalam gejolak politik perang dingin yang memanas, sembari berperang dalam nuansa itu, perang dunia digencarkan antara Amerika dan Jepang. Jepang dengan armada AL yang dikomandoi oleh Laksamana Kurita menaklukan seantero Asia dan hampir Australia serta kepulauan Pasifik. Alhasil wilayah itu dijadikan medan tempur dalam perang Pasifik. Sejak 1941 di Gualdancanal hingga di PNG, Papua dan Hiroshima-Nagasaki. Dalam perang itu, militer AS dan sekutunya menggunakan informasi geografis dan demografis dari negara sekutunya, yang artinya tidak mungkin tanpa bantuan Belanda. Keberlanjutan perang itu adalah keuntungan kekalahan Jepang yang akhirnya meninggalkan kekosongan kekuasaan berarti bagi kemerdekaan Indonesia 17 agustus 1945. Konflik politik di Indonesia dan adanya informasi penemuan Eartsberg di Timika maka berbagai pertikaian di Indonesia semakain sengit. Dimulai dari pemberontakan PERMESTA oleh para komandan militer di Sumatera Tengah dan Sulawesi Utara dengan tujuan menggulingkan Soekarno, yang mendeklarasikan keinginan mereka  membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia-Permesta tahun 1958. Sudah diketahui, sebagaimana diungkapkan oleh Lisa Pease  dan Greg Poulgrain (Poulgrain, 2017) bahwa, operasi ini adalah operasi terbesar CIA setelah operasi Vietnam dan di Kuba, Teluk Babi. Padahal Allen Dulles ingin mengulangi strategi perang “lompat katak” a’la Douglas MacArtur ketika perang Pasifik, yaitu menjatuhkan Soekarrno dan memulangkan Belanda dari Papua, namun itu tidak pernah terjadi.

Kalah bukan berarti menyerah, tidak sampai di situ, Amerika melalui Allen Dulles yang merupakan penasehat PT.Freeport melakukan manuver politik dan siasat mafia. Pada tanggal 30 September 1965, terjadilah peristiwa G 30 S. Sepertinya para Bekas Polisi Papua yang dilatih Belanda tahu bahwa akan terjadi peristiwa ini, sehingga pergerakkan Papua lebih dulu digencarkan pada tanggal 28 Juli 1965 di Manokwari, yang dua hari sebelum itu pecah di Kebar. Di tahun-tahun yang sama, demonstrasi Anti-Amerika sering terjadi, berakibat pada keluarnya Indonesia dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.  Hal itu menambah kepercayaan Sukarno lebih dekat ke Cina dan Soviet. Soekarno juga mengancam akan menasionalisasi properti AS yang tersisa, karena telah diambil alih, misalnya, salah satu operasi Amerika terbesar di Indonesia, pabrik ban Goodyear Tire dan Rubber Company pada saat itu.

Pemerintah Belanda menyadari posisinya di Papua yang tidak kuat sebab geopolitik dunia terlalu dipegang oleh dua kekuatan besar yaitu blok barat dan blok timur. Belanda menjadi bagian dari blok barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat dengan isu bersamanya memperjuangkan ideologi liberalism-kapitalisme dalam politik utilitarian. Muncul pikiran masuk akal muncul di benak para pemimpin Belanda dan Papua, Belanda mungkin beranggapan akan menguasai Papua setelah adanya suatu perjanjian internasional yang membebaskan Papua dan memerdekakannya di bawah kekuasaan federasi kerajaan Belanda, Papua berfikir jika berada di dalam federasi kerajaan Belanda maka Papua sejahtera, sabagaimana disampaikan oleh pamong praja Papua.

Kedekatan Soekarno dan John F Kennedy membuat Soekarno optimis melakukan serangan ke Papua untuk menggertak Belanda, dengan bantuan perang dari Soviet. Peristiwa ini dikenal dengan Trikora, yang jadi sebuah nama jalan protokol paling terpendek di Yogyakarta, persis di depan tempat di mana Bung Karno mengumandangkannya, di Alun-Alun Utara Keraton Mataram Yogyakarta.

Ada berbagai perundingan memperebutkan Papua, mulai dari Konferensi Malino hingga Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Hampir semua konferensi hanya berujung pada tarik ulur antara indonesia dengan belanda. Hingga 1962 dikeluarkanlah New York Agreement yang menandai keikutsertaan Amerika sercara aktif dalam masalah Papua. Setelah Papua diserahkan kepada United Nations Themporary Executive Authority (UNTEA), maka Belanda dengan sendirinya berdiam diri, apatis terhadap isu Papua.

Amerika mengeluarkan sebuah perjanjian untuk mengamankan orang Papua yang masuk hutan dan berperang dengan ABRI (sekarang TNI-Polri) dengan amnesty. Orang Papua yang di hutan di pedalaman Manokwari kemudian keluar pada tahun 1971 dan direkrut menjadi TNI dengan berbagai sanksi administratif dan sosial yang diterima.

Greg Poulgrain dalam bukunya yang diterbitkan tahun 2017 mengatakan bahwa pada waktu PEPERA dilaksanakan, Belanda (mungkin) sudah mengetahui bahwa Papua akan masuk ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab, Amerika melalui Dulles memainkan peran dengan penuh tekanan kepada Belanda. Kennedy ditembak dan Soekarno menjadi tahanan rumahpun bagian dari siasat Dulles.

Pada tangga 1 april tahun 1976, Soeharto yang baru saja berkuasa mengeluarkan UU No. 1/1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Seminggu kemudian, tanggal 7 april 1967 dibuatlah kontrak karya pertama antara Pemerintah dan PT. Freeport (Freeport McMoRan Copper and Gold Inc). Perusahaan Tambang yang akan mengelola emas kualitas nomor satu dan terbesar di dunia inipun mulai membangun perusahaan dan persiapan eksplorasi pada saat itu dengan dana USD 75 Juta. Saya juga ingin mengulang pertanyaan dalam buku Agus Alua untuk kita bahwa, “mengapa status politik Papua belum jelas dan baru akan jelas pada tahun 1969 setelah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) namun Amerika dan Pemerintah Indonesia berani menandatangani kontrak pada 7 april 1967?”. Kontrak karya kedua pada 30 desember 1991. Operasi ini berhasil mengembalikan dana penelitian ulang oleh Forbers Wilson yang dibiayai oleh PT. Freeport dengan dana USD 120.000. Untuk itulah dengan bangga mantan Presiden Soeharto, pada 3 Maret 1973, mengatakan: “Freeport adalah pelopor penanaman modal asing di Indonesia” kemudian juga dikatakan oleh Milton H. Ward, pada tahun 1991 bahwa “kami ingin berada di Irian Jaya untuk lebih dari 100 tahun”. Eksplorasi Freeport terus meningkat sampai pada tahun 1980, Freeport bergabung dengan perusahaan eksplorasi minyak dan pengembangan McMoRan, yang dipimpin oleh James “Jim Bob” Moffett.  Dua “Mo” menjadi satu, dan Moffett  (“Mo” di McMoRan) akhirnya menjadi Presiden Freeport McMoran.

Sejak 1967 hingga 1980an dan selanjutnya sampai dengan UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua dikeluarkan pada bulan september 2001, tercatat berbagai kekerasan negara terhadap penduduk di wilayah yang akan dieksplorasi kemudian menjadi areal pertambangan milik PT.Freeport sebagaimana dicatat oleh Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares, 2003: Bab V, tentang “deretan pelanggaran HAM terhadap warga Amungme”. Orang Papua di berbagai daerah lainnya juga menuntut keberadaan Freeport  yang dianggap bermasalah dan hanya mementingkan kepentingan Amerika dan pemerintah Indonesia. Barangkali ini semakin membawa kita untuk melihat aset perusahaan yang diperoleh dari setelah studi kelayakan tahun 1969 dan dilangsungkan operasi hingga 1972 yang diekspor ke Hibi Jepang dengan 8000 ton biji/hari yang meningkat menjadi 18.000 ton biji/hari. Dari 1967-1988 perusahaan asing itu juga menemukan gunung biji timur, intermediate ore zone dan deep ore zone dengan cadangan emas 400 MT yang mendorong adanya perpanjangan kontrak pada 30 desember 1996 dengan luas areal konsesi 1,9 juta ha. Tercatat hingga tahun 2000 ada 22 perusahaan kontrak karya, 5 perusahaan pertambangan, dan 5 perusahaan di bidang pengusahaan batu bara. Pada tahun 2010 keuntungan Freeport mencapai 4.000 triliun rupiah, namun Freeport Indonesia, hingga juni 2011 hanya bisa menyumbang 12,8 miliar rupiah bagi negara.

Geopolitik dan Diplomasi Papua 

Selain Freeport yang masih eksis di Papua, pada tahun 2010 LNG yang dibangun oleh British Petroleum dari Inggris dan mulai beroperasi di Teluk Berau, Kabupaten Bintuni. Perusahaan yang kontrak karyanya hingga tahun 2023 ini memiliki hak 14,4 triliun kaki kubik gas dengan cadangan yang mungkin ada 24-25 kaki kubik.

Selain itu ada pula kebijakan MIFEE yang mengelola daerah Merauke dan sekitarnya menjadi lumbung pangan nasional dengan tanaman industri seperti kelapa sawit dan padi dengan luas lahan 1,28 juta ha. Proyek ini diperkuat dengan motto presiden SBY untuk kebijakan ini “pangan untuk indonesia, pangan untuk dunia”. Paling sedikit ada 36 investor yang banyak dimiliki oleh pengusaha pribumi, meski saham terbesar dan modalnya diambil oleh konglomerat dari negara Jepang, Korea, Singapura dan Timur Tengah.

Ada beberapa dinamika ekonomi-politik di dunia yang timbul dari eksplorasi pertambangan dan migas, termasuk industrialisasi di Papua, termasuk di seluruh wilayah negara ini;

Pertama: munculnya regionalisme di Asia, termasuk yang bisa kita lihat dari keuntungan Indonesia bersama ASEAN.

Kedua : sengketa dan peluang politik melalui soft diplomacy dan hard diplomacy, misalnya kasus laut cina selatan/laut natuna/laut Filiphina Utara, dsb.

Ketiga : internasionalisasi kasus Papua semakin menguat. Adriana Elisabet dan tim LIPI pada tahun 2004 menemukan setidakny ada empat aktor dalam internasionalisasi kasus Papua, yaitu negara, masyarakat sipil, dan swasta.

Keempat: Isu kemanusiaan dari/pada negara-negara bekas kolonial (dekolonisasi).

Maka PT Freeport dan BP-LNG termasuk berbagai perusahaan industri melalui proyek dan kebijakan pembangunan di Papua memainkan peran dalam dua hal yang saling bertentangan namun tidak bisa dipisahkan, yaitu pertumbuhan kerja sama internasional dan kapitalisme yang seiring dengan munculnya upaya-upaya diplomasi aktor non negara yang memprotes gerakan-gerakan dehumanisasi dan degradasi lingkungan miliknya.

Media Indonesia sebagaimana saya kutip pada 12/08/2020 menyatakan bahwa “Indonesia terletak pada posisi silang karena diapit oleh dua samudra besar, yakni Pasifik dan Hindia, serta dua benua, yakni Australia dan Asia, yang menjadikan Indonesia sebagai traffic dari arus utama perdagangan dunia. Posisi silang ini dikenal sebagai posisi silang maut (‘Das Totenkreuz’) karena selain melahirkan potensi kejayaan yang besar bagi bangsa Indonesia, tapi juga rentan terhadap konflik”.  Dalam media yang sama dikutip tulisan “Prof. Daoed Jusuf dalam bukunya yang berjudul, Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional, menyampaikan sebagai berikut, “… bahwa Papua tertakdir menjadi Rimland di kawasan Indonesia bagian timur sebagai serambi nasional penampung awal gelombang kegiatan bisnis internasional di Laut Cina Selatan, baik yang bersifat damai maupun topan peperangan.”  Maka posisi Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara adalah negara tujuan dagang para pengekspor teknologi seperti Cina, Jepang, Inggris, dan Amerika Serikat.

Indonesia dan negara-negara tetangganya mulai membentuk ASEAN Assosiation of Southeeast Asian Nation. Seperti diungkapkan dalam situs Kementerian Luar Negeri Indonesia bahwa, tujuan dibentuknya ASEAN dalam konferensi Bangkok pada 8 agustus tahun 1967 adalah mewujudkan perdamaian, kemajuan, dan kemakmuran di kawasan Asia Tenggara.  Lebih dari itu, ASEAN juga bertujuan untuk memelihara kerja sama yang erat dan bermanfaat dengan organisasi. Kehadiran Indonesia sebagai negara pendiri saat itu disinyalir merupakan pengalihan isu agar peristiwa G 30 S tidak dibicarakan atau diungkit-ungkit di Asia Tenggara. Sebab negara tetangga, misalnya Malaysia tahu betul bagaimana peristiwa itu terjadi. Di sisi lain hingga hari ini persahabatan konglomerat-konglomerat dan para taipan Cina di Asia Tenggara dan di Indonesia masih bersahabat dalam bisnis kelapa sawit dan industri lainnya. Hal ini ditopang oleh pilar Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang adalah bentuk kerja sama untuk memperdalam dan memperluas integrasi ekonomi di kawasan ASEAN dan dengan kawasan di luar ASEAN. Meskipun di wilayah perbatasan seperti di Kalimantan dan Papua, nasionalisme Indonesia seringkali dipertanyakan. Barangkali ini pengaruhi perbedaan kultur masyarakat, sejarah, agama dan berbagai hal yang menjadi latar pengambilan keputusan suku atau bangsa ketika memkanai nasionalisme Indaonesia dan sekarang untuk melepaskan diri dari ikatan politik ini.

Selain melalui arah Barat yang sudah dibatasi melalui regionalisasi ASEAN, menurut Peter King, diplomasi untuk mempertahankan Papua juga dipraktekkan oleh pemerintah Indonesia di wilayah Pasifik. Diantara itu misalnya, bantuan dari pemeritah RI untuk membantu kampanye perdana menteri PNG tahun 1987, oleh Jenderal Benny Murdani, yang saat itu menjabat sebagai menteri pertahanan dan keamanan sekaligus panglima ABRI, sebesar US$ 1390 ribu dan diterima oleh Ted Diro, pimpinan angkatan bersenjata PNG Defence Force (PNGDF). Utang itu harus diganti-bayar dengan kampanye anti isu perjuangan Papua di negara PNG (George Junus Aditjondro dalam Yafet Kambay, Eds, 2007, p. 4). Ke arah selatan juga dimainkan oleh pemerintah Indonesia melalui Australia dan negara-negara dengan kemampuan ekonomi rendah, seperti Nauru dan Kiribati (George Junus Aditjondro dalam Yafet Kambay, Eds, 2007, p. 4).  Termasuk melalui Pasific Islands Forum dan lobi pemerintah Indonesia di United Naations Ecconomic and Social Commission (UN-ESCAP) oleh menteri luar negeri saat itu Hasan Wirayuda (George Junus Aditjondro dalam Yafet Kambay, Eds, 2007, p. 4).

Meski demikian, masifnya gerakan terhadap masalah HAM Papua semakin mendapat perhatian dan dukungan di negara-negara Pasifik. Termasuk di dewan komisi dekolonisasi  PBB yang kemudian dihapus oleh menteri luar negeri Indonesia, Martin Natalegawa yang ketika itu menjabat sebagai ketua komisi itu.

Pada akhirnya di tahun 1980an para actor yang berjuang untuk pembebasan Papua  mencoba memainkan peran kultural atau diplomasi budaya melalui seni music, tari dan lainnya. Arnold Ap dengan grup mambesak misalnya, yang kemudian dituduh  sebagai pemberi dukungan kepada OPM dan akhirnya mati dibunuh oleh Kopassanda (sekarang Kopassus) pada tahun 1983. Ini diikuti oleh Black Brothers yang  dibentuk oleh Andy Ayamiseba yang pada akhirnya juga hengkang ke Pasifik dan berkiprah di sana, terutama di PNG dan Vanuatu, kemudian di Australia. Kreasi seni budaya tradisional dan popular oleh dua grup tadi menjadi terkenal di Pasifik melalui  siaran radio. Siaran-siaran ini memotivasi seniman di negeri  tetangga untuk menghidupan kesenian mereka (George Junus Aditjondro dalam Yafet Kambay, Eds, 2007, pp. 4–5). Hijrahnya dua kelompok kesenian itu ke Australia ditambah dengan munculnya berbagai gerakkan intelektual di Pasifik baik melalui actor intelektual  seperti Otto Ondawame, Rex Rumakiek dan gerakan mahasiswa di PNG yang disebut MelSol atau Melanesian Solidarity Group for Justice and Dignity semakin memperkenalkan Papua di Pasifik (George Junus Aditjondro dalam Yafet Kambay, Eds, 2007, p. 5). Pergerakan ini kemudian membuat Papua semakin diakui di dunia melalui negara-negara Pasifik pendukung, sampai dengan terbentuknya Melanesian Spearet Group (MSG) yang mendorong terintegrasinya berbagai  organisasi Papua yang memperjuangkan  penentuan nasib sendiri melalui jalur HAM yang juga didukung oleh International Coalitions  for Papua di dalam kerangka dukungan Fransiskan Internasional dan beberapa pastor dalam gereja-gereja Katolik di Papua.

 

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin dan Aderito Jesus de Soares. (2003). Amungme. Jakarta: Elsam.

George Junus Aditjondro dalam Yafet Kambay, Eds. (2007). Perlawanan kaki telanjang “25 tahun gerakan masyarakat sipil di Papua”. Jayapura: Foker LSM Papua.

Haryanto, Cornelis Lay, and Bambang Purwoko. (2018). Asymmetrical Decentralization, Representation,and Legitimacy in Indonesia: A Case Study of the Majelis Rakyat Papua. A BIMONTHLY REVIEW OF CONTEMPORARY ASIAN AFFAIRS, 365.

Hiariej, Eric. (2012). Globalisasi, kapitalisme dan perlawanan. Yogyakarta: IIS.

Hiariej, Eric. (2004). Gerakan anti kapitalisme global.Jurnal ilmu sosial dan ilmu politik, Vol 8, No. 2. Yogyakarta: UGM.

Huntigton, S. P. (1996). Benturan antar peradaban. Yogyakarta: Qalam.

Marx (2004, terj). Kapital: sebuah kritik ekonomi politik, Buku I, Proses produksi kapitalis. Jakart: Hastra Mitra.

Manio.(2009). Sejarah perkembangan masyarakat papua.Diajukan Sebagai Draft Dalam Kongres I Garda-P, Numbay 31 Okt-2 Nov 2009.

Mealay, G. A. (1999). PT. Freeport. Jakarta: Kompas.

Ngandisah. (2003). Gerakan sosial di Freeport. Jakarta: Kompas.

Ojong, P. (2001). Perang pasifik. Jakarta : Kompas Gramedia.

P, T. p. (2009). Sejarah perkembangan masyarakat Papua. Jayapura: Garda-P.

Paharizal dan Yuwono, D. Ismantoro. (2016). Freeport: fakta-fakta yang disembunyikan. Yogyakarta: Narasi.

Poulgrain, G. (2017). Bayang-bayang intervensi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sinaga, R. (2013). Masa kuasa Belanda di Papua 1898-1962 . Depok: Komunitas Bambu.

Widjojo, M. S. (2002). Gerakan perlawanan Amungme . Thesis Magister, Jurusan Antropologi. Jakarta: Universitas Indonesia.

"Obor Untuk Papua"

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest Articles

Perempuan Papua Dalam Cengkraman Kapitalisme

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Banyak orang menyuarakan tentang pembebasan perempuan dari cengkraman patriarki, kolonial atau bahkan kapitalisme. Terlepas dari semua itu, sebagian orang...

Perusahaan ‘Gelap’ Masuk di Perbatasan Intan Jaya dan Waropen

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Beredar di media sosial, terdapat sebuah perusahaan yang masuk secara 'Ilegal' atau tidak mengantongi izin dan mulai beroperasi di...

Puluhan TNI Siksa Warga Sipil di Puncak Jaya

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Pada Kamis lalu (13/03/2025), puluhan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyiksa 5 warga sipil di Kota Baru, Mulia, Puncak...

Menjawab Tantangan Kesehatan di Kabupaten Pegunungan Bintang Dengan 4 Jurus

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Latar Belakang Kabupaten Pegunungan Bintang, yang beribu kota di Oksibil, merupakan salah satu daerah terpencil di Provinsi Papua...

Buku Karya Nyamuk Karunggu Ditahan Perpusnas RI

DIPTAPAPUA.con - Obor Untuk Papua -Nyamuk Karunggu melayangkan surat protes kepada Presiden Republik Indonesia, Perpusnas Indonesia, Menkopolhukam dan Menteri Hukum dan HAM di Jakarta...