Oleh: Kam
Di pedalaman Papua, ada satu kampung yang terletak di belahan hutan. Di sana ada suku dengan banyak marga atau klaen yang mendiami kampung tersebut. Setiap marga yang ada mempunyai dusun sagu masing-masing, mempunyai tapal batas (hak ulayat tanah) pun tersendiri.
Kehidupan sosial di situ sangat harmonis, meramu, relasi antara sesama dan menjunjung tinggi kekeluargaan, dengan nilai-nilai budaya yang menjanjikan. Untuk hal makan-minum tak perlu ragu lagi, semuanya sudah tersedia oleh alam dengan jenis tumbuhan dan hewan yang bisa dikonsumsi. Misalnya, di dusun ada sagu; di kebun ada pisang, Kasbi, petatas, keladi; di sungai ada ikan; di hutan ada rusa, babi, kasuari, lau-lau, burung dan lainnya. Semuanya alam Papua sediakan seperti daerah Papua pada umumnya.
Pada suatu waktu dengan seiringnya waktu, di dalam dan di luar sana banyak persaingan hidup yang serba ada. Ekonomi sangat mendesak untuk menjamin hidup manusia secara komunal, lokal dan nasional. Banyak perusahaan raksasa datang dengan banyak kepentingan-kepentingan pribadi maupun negara yang cari lahan yang kosong, untuk mengelola sumber daya alam agar memenuhi taraf hidup. Apapun resikonya, mereka (kapitalis) semua yang datang dengan bermacam-macam pola dan gaya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Di kampung itu, salah satu penduduk dengan keluarga besar yakni Bapak Yohan dan dua saudara sepupunya. Dalam keluarga besar ini bapak Yohan yang kepala keluarga, Ia punya istri dan tiga anak. Pada suatu hari ada orang baru (kontraktor) yang datang
“Halo! Selamat sore bapak!”, sapa kontraktor
“Iya, selamat sore juga anak. Anak mau cari apa?”, tanya bapak Yohan.
“Begini bapak, saya mau tanya di sini ada yang jual tanah, kita mau beli?”, tanya kontraktor itu
“Oh, ada anak. Saya yang kepala suku dan tuan tanah di sini. Anak mau beli berapa hektar?”, jelas bapak Yohan dengan tanya balik.
Karena kelihatan isi uang dalam amplop yang tebal, tanpa pikir panjang; sebab dan akibatnya dari tawaran itu lagi, bapak Yohan mengaku dirinya sebagai kepala suku dan tuan tanah (pemilik hak ulayat).
“Ini Rp. 500.000.000 (lima ratus juta). Tong mau ambil 76.000 hektar, bagaimana bapak?”, jawab kontraktor itu dengan tanya balik.
“Aah, sudah nanti tong tambah lagi beli motor baru, bagun bapak pu rumah tehel dan tembok, terus biaya bapak punya anak-anak, cuci dan cece untuk sekolah”, lanjutnya lagi dengan janji.
“Kapan anak tepati janji ini?” tanya bapak Yohan sekali lagi.
“Tahun depan Bapak. Soal itu gampang saja, intinya bapak tanda tangan itu sekarang!” jawab kontraktor dengan tergesa.
Dengan kondisi seperti begitu, Bapak Yohan sudah dininabobokan dengan uang besar yang ada di depan mata serta iming-iming yang bagus, tanpa kompromi lagi. Rasa senang dan bangga bapak langsung tanda tangan surat ijin beli tanah tanpa sepengetahuan dari saudara lainnya.
“Ok sudah anak, tapi anak tra tipu bapak toh?”, tanya bapak Yohan dengan rasa bingung lapis senang.
“Adoh bapak, saya takut dosa jadi tidak bisa tipu orang tua”, terang kontraktor itu sambil senyum tipis-tipis.
Seiring waktu yang terus berputar, bapak Yohan tidak sadari kalau uang yang banyak itu sudah mau habis dipakai. Semua uang itu, Iari ke kota dan hanya digunakan untuk berfoya-foya.
Satu tahun tiga bulan yang awal, sesuai perjanjian bapak Yohan dan kontraktor bahwa kontraktor akan tepati janjinya, tapi sudah lewat waktunya.
“Bah, Pace ini kapan yang dia datang bawa motor dan bangun rumah k? Saya punya anak juga sudah tamat SD dan sekarang mau SMP, terus saya punya uang juga tidak ada untuk beli buku, pena, seragam dan sepatu untuk anak. Kapan Pace ini dia datang e?” tanya bapak Yohan dalam hati dengan rasa cemas.
Semuanya itu adalah sebatas janji manis dari kontraktor saja. Tidak ada yang benar, sekarang harapan bapak Yohan sirna.
Lima tahun kemudian, perusahaan kelapa sawit pun mulai bereaksi untuk menggusur dan memperlebar lahan. Dengan semangat kapitalisme dengan uang besar, maka semua dibabat habis-habisan, tidak seperti dulu lagi; kayu-kayu besar habis; dusun sagu habis; burung cendrawasih punah dan tempat-tempat keramat sebagai nilai budaya dan leluhur yang tinggal jaga hutan itu ikut hilang, dan serta semua hewan yang ada hilang dan punah karena sudah tidak ada tempat untuk tinggal. Tidak hanya itu, manusia yang tinggal di situ ikut tersingkir (marjinalkan) karena tidak ada tempat lagi untuk tinggal. Semuanya dikuasai oleh kebun kelapa sawit.
Hari berganti hari nampak operasi perusahaan begitu mengganggu dengan kondisi yang mengancam eksistensi kehidupan masyarakat setempat. Dengan demikian, masyarakat setempat, termasuk anak-anak bapak Yohan, mereka merasa hidup terasing dan timbulnya konflik horizontal dan vertikal yang berkepanjangan. Konflik antara masyarakat dengan keluarga bapak Yohan dan perusahaan.
Anak-anak dan keluarga bapak Yohan menjalani hidup dengan tekanan. Masyarakat yang punya hak ulayat melakukan aksi penolakan tetapi selalu dihadang TNI/ POLRI yang ditugaskan untuk melindungi perusahaan itu dengan moncong senjata. Semua upaya masyarakat lakukan untuk menyelamatkan hutan sudah tidak berdaya karena selalu dihadang, diintimidasi bahkan di tembak mati oleh TNI / POLRI.
Tahun dan bulan pun silih berganti, kondisi yang mengancam keberlangsungan hidup tak pernah berakhir. Anak dan cucu dari bapak Yohan pun menderita. Semua itu ulah bapak Yohan karena uang dan janji manis dari mulut iblis, sehingga anak, cucunya serta semua masyarakat dalam suku itu jadi korban hingga detik ini.
Sekian !
Catatan: Untuk orang tua Papua, Bapak, Mama, Tete dan Menek, Om, Tante serta Kakak dan Adik, ingat..! Kamu yang punya hutan masih utuh, dusun sagu masih ada, hewan masih ada, jangan pernah untuk jual tanah. Tanah itu bagian dari tong punya hidup, Tanah itu aset untuk anak-cucu dan generasi berikutnya. Jangan membunuh anak-cucu ke depan. Kalau jual tanah, tidak usah cetak anak, kalau tanah sudah jual habis, nanti anak-anak yang banyak ini tinggal di mana?