Penulis: Maxi Syufi
Ketika sa punya Mama dengar kalau sa di sini (tempat kuliah) ada ikut aksi atau juga menulis tentang persoalan Papua, Mama langsung telfon sa dari Kampung, lalu Mama bilang “ko jangan ikut aksi dan ko stop menulis tentang perlakuan diskriminatif, penindasan dan persoalan Papua lainnya ehh”. Sa diam saja, Mama lanjut bicara lagi “Ko di situ kuliah saja, jangan aksi dan sebagainya, karena Mama tidak mau ko di penjara atau ko mati seperti ko punya saudara yang lainnya”.
Setelah dengar Mama bicara, sa langsung tanya “Mama kenapa larang sa begitu?”. Mama bilang lagi bahwa “Dari dulu ko punya Tete, Nene, dong semua tuh darah tumpah dari barang itu. Waktu itu tong masih kecil lalu orang datang dengan pakaian lengkap, pake sepatu, pegang senjata datang pukul hingga tembak ko punya Nene dengan Tete dorang”.
Mama sekali lagi tegas ke sa “Jadi, mulai sekarang jangan coba-coba ko bersuara tentang persoalan Papua, Mama tong masih mau ketemu ko di Kampung, kalau ko bicara tentang masalah Papua, Mama tong tidak bisa ketemu ko lagi”.
Setelah Sa dengar Mama bicara, Sa coba untuk jelaskan alasan kenapa sa harus menulis masalah Papua atau kenapa sa harus turun di jalan untuk bersuara. “Begini Mama, sa tidak mungkin mau menulis atau turun di jalan kalau tong punya saudara-sudara yang lain dong punya hidup aman. Sa lihat mereka disiksa, dibawa paksa ke dalam jeruji besi, dong injak dia punya kepala lapis aspal, dong bilang torang monyet dan dong selalu datang curi Mama tong punya barang-barang di hutan. Dong buat tong begitu makanya sekarang sa turun di jalan mau bicara dorang”.
Baca juga: Aktivis Perempuan Papua: Hutan Papua Kaya tapi Manusianya Miskin
Usai mendengar penjelasan dari saya, dengan nada pasrah, Mama bilang “Iyaaa Mama tahu itu, tapi bagaimana pun Mama tidak mau ko mati ditembak, biar sudah tong mengalah saja, tong diam saja, kalau suara sedikit saja sudah bunyi senjata, jadi Mama takut terjadi sesuatu sama ko”.
Dengar Mama bicara begitu, sa langsung tanya lagi sama Mama “Mama kalau dong yang pakai pakaian rapi, pegang senjata itu datang terus buat rumah di tong punya Kebun atau tong punya tempat yang biasa cari sayur itu, Mama setuju atau tidak?”. Mama langsung jawab “Mama sebenarnya tidak mau dorang itu datang tinggal di tong punya Kebun, datang ke tong punya tempat cari sayur, karena Mama masih terbayang saat tahun 1960-an tuh, dorang yang datang tembak Tete dengan Nene dorang di sini, dorang itu yang datang siksa Mama torang di sini. Mama masih takut, nanti dorang datang terus buat kamu seperti itu lagi”.
Sa dengar Mama punya suara saat telfon itu sedih sekali, ada memoria passionis yang menimpa Mama. Sa Tanya lagi ke Mama “Mama tapi sekarang tong punya orang-orang yang berkuasa itu, dong sudah kasih tong punya tanah untuk mereka yang pegang senjata itu dong buat rumah. Mama kenapa tidak larang mereka?”. Sa punya Mama bilang “Biar sudah, torang mengalah saja, Mama torang ini lemah sekali, tong punya suara ini ko punya Om dorang yang berkuasa itu tidak mau dengar, dong tidak mungkin mau dengar Mama tong yang rendah ini punya suara. Apa yang dong bicara Mama tong diam dan terima saja”.
Setelah mendengar nada bicara Mama yang seperti tidak ada harapan lagi untuk bangkit dan lawan sistem yang sedang terjadi ini. Kemudian, sa bilang ke Mama “Kalau begitu sa dengan teman-teman, tong yang nanti tolak dorang, tong bongkar dong punya rumah itu. Kalau tong diam nanti Mama bikin kebun di mana lagi, Mama mau ambil sayur di mana lagi, Bapa sudah tidak bisa keluar ke hutan lagi, Bapa tidak bisa senter kus-kus saat malam lagi, karena nanti dong bilang Bapa itu mau lawan dorang. Hari ini sa mau dengan teman-teman tong harus tegas, itu tong punya hak. Kalau tong diam nanti dong injak Mama torang di tong punya tanah sendiri”.
Sa dengar dengan jelas Mama menangis sambil usap air mata, Mama bilang “Mama kalau biarkan ko pergi lawan mereka, atau ko larang mereka untuk bangun rumah di tong punya Kebun itu, berarti Mama sudah tidak bisa lihat ko lagi atau Mama cuman kunjungi ko di Penjara”.
Tulisan ini berdasarkan situasi nyata yang diangkat dari kondisi yang kini dialami Orang Papua. Yang pertama penulis mau menunjukan bagaimana respon orang tua yang terdiam dengan Memoria Passionis (Ingatan Penderitaan) yang dialami 50-an tahun lalu di Papua.
Saya atau bahkan hampir seluruh mahasiswa Papua yang mau bersuara tentang persoalan di Papua, pasti mereka tidak mau beritahukan ke orang tua di kampung, karena orang tuanya pasti larang. Masih ada ingatan masa lalu tentang penderitaan, kekerasan yang dialami orang Papua.
Kemudian yang berikut, tentang Hutan Adat sekaligus keterlibatan TNI/POLRI di tengah kehidupan masyarakat Papua. Persoalan ini, yang kini ramai diperbincangkan. Ilustrasi singkat di atas, mau memberitahukan bagaimana kepasrahan orang tua menghadapi aparat militer di Kampung atau Dusunnya.
Ada fobia yang terpupuk rapi di tengah masyarakat atas perlakuan aparat militer. Ada kekuasaan yang menindas masyarakat adat, dengan membongkar hutan adat serta hasilnya secara besar-besaran. Ketika anaknya mau bersuara, dilarang oleh Mama atau Bapanya, karena ada ingatan masa lalu yang tersusun rapi dalam diri. (**)