Oleh: Kris Ajoi
Menjadi Rae Ati (Manusia Sejati)
Bagian I
Manusia dalam hidupnya berusaha memiliki citra diri yang baik dan memberi dampak positif terhadap hidupnya. Salah satu citra diri yang ingin dicapai adalah penilaian yang berkaitan dengan moralitas hidup manusia. Soal baik buruknya kehidupan manusialah yang seringkali, dari masa ke masa memperlihatkan berbagai upaya pencapaian manusia. Tujuannya agar manusia memperoleh pelabelan dari sesamanya di dalam kebudayaannya bahkan di kelompok kebudayaan lain sebagai manusia sejati. Manusia sejati merupakan konsep pengenalan diri yang menyatakan seseorang yang berada di dalam suatu kelompok kebudayaan dan telah terintegrasi dan menginternalisasi serta menginterpretasi nilai-nilai maupun norma moral di dalam cara hidupnya dan diakui oleh kelompoknya. Konsep manusia sejati ini menurut pater Anton Tromp, OSA adalah murni merupakan identitas asli yang dikonstruksi di dalam kebudayaan masyarakat di Papua, beberapa diantaranya adalah kelompok etnik Karon, Mare dan Aifat di Kepala Burung Papua, yang masuk ke dalam rumpun bahasa Maybrat di wilayah adat Domberai (baca: Domberai: 52 etnik) lihat dalam (Cornelis Lay, Dkk, 2018, hal. 377).
Orang Karon, Mare, dan Aifat menempati wilayah Kepala Burung Papua. Secara khusus lebih tepat di bagian otak, Kepala Burung Papua. Berdampingan dengan orang Mpur, Abun, Moskona, Meyah, dan penduduk Biak yang telah bermigrasi di wilayah pantai Utara, mulai dari daerah Amberbaken sampai ke Sansapor (bahkan Raja Ampat). Di wilayah Tambrauw, mereka berinteraksi dan berintegrasi melalui perkawinan dengan penduduk Karon yang mendiami pesisir pantai (termasuk Abun pantai) dan kemudian menamai kelompoknya Bikar (Biak Karon). Kelompok-kelompok ini memiliki suatu budaya kain timur yang kompleks dan inisiasi (pendidikan adat) yang kaya, sebab di dalamnya terdapat inisiasi laki-laki yang disebut rae wuon di rumah adat laki-laki (samu wuon/ka wuon) dan inisiasi perempuan fenia meroh/fenia mekiar di dalam rumah adat perempuan (akasikos) (Baru, 2018). Selain itu terkenal dengan tipe kepemimpinan bobot yang oleh Dr. Mansoben dikelompokkan ke dalam tipe kepemimpinan big man yang didominasi oleh laki-laki (Mansoben, 1995, hal. 81-178). Namun tipe kepemimpinan di kelompok orang Karon, Mare, dan Aifat tidak hanya pada laki-laki, sebab perempuan juga memainkan peranan penting dalam kepemimpinan dan proses kebudayaan mereka, seperti Mama Maria Baru dalam penelitian Ien Courtens dan Louisa Thoonen (Thoonen, 2005) yang berasal dari Karon yang setelah menikah tinggal di daerah Aifat dengan keluarganya.
Menjadi manusia sejati atau yang dalam bahasa Maybrat (Karon, Mare dan Aifat) Rae Ati membutuhkan pelibatan suatu proses kebudayaan yang dipraktekkan dalam ritual-ritual pendidikan (inisiasi) adat dan konstruksi budaya dalam hidup masyarakat setempat. Ritual ini tidak berdiri sendiri tetapi menyatu dengan struktur kebudayaan masyarakat, mulai dari aktualisasi diri setiap manusia (person) hingga hubungan ketergantungan sosial yang bersifak resiprokal (timbal balik), relasi patrimonial dan yang paling ditekankan adalah religiusitas. Entah yang terpaut secara hierarkis maupun non hierarkis dan bermakna mulai dari pendidikan adat hingga kehidupan nyata yang berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat setempat. Tolok ukur seseorang menjadi rae ati adalah melewati ritus peralihan hidup pada masa akil balik di dalam inisiasi rae wuon dan fenia meroh/fenia mekiar. Pasca integrasi kembali setelah mengikuti pendidikan inilah seseorang memainkan perannya menjadi rae ati untuk menemukan dirinya di dalam kehidupannya. Mulai dari perempuan yang melahirkan bayi, mengurus rumah tangga, hingga menjadi noken (pemberi kesejahteraan) bagi sesama, serta mengajarkan hal baik dengan bowatum/powatum atau ajaran baik (nasehat dan larangan) kepada anak-anaknya. Para pria mulai memainkan peran sebagai pemburu hewan yang handal, menjaga stabilitas kebudayaannya dengan terlibat dalam berbagai urusan adat, serta memberikan contoh kepada anak-anaknya mengenai proses seseorang manusia sejati dengan integritas dan kredibilitas di dalam masyarakat. Barangkali juga menjadi pria sejati (bobot) untuk mereka yang laki-laki. Menjadi rae ati tidak dibawa sejak seseorang diintegrasikan kembali dari rumah adat, tidak diturunkan dari keluarga bapak ataupun mama, tentu juga tidak sejak lahir, melainkan proses menjadi setelah seseorang melalui inisiasi dan bagaimana penerapan aspek-aspek moralitas dari kebudayaannya dalam hidup.
Mama Maria Baru mengisahkan dirinya yang masuk ke dalam inisiasi perempuan dan menginternalisasi nilai-nilai moralitas di dalam hidupnya. Iapun mampu menjelaskan makna nilai-nilai moralitas ini ke dalam praktek hidupnya sehari-hari. Selain itu, dalam beberapa kasus, Mama Maria Baru juga memiliki kemampuan memberikan pengobatan kepada orang sakit dan ia mampu mengorganisir perempuan dan penduduk kampung ketika dilakukannya perayaan tertentu selain memimpin ibadah (misa) (Thoonen, 2005). Selain ini masih banyak laki-laki yang hidup dengan pengalaman pernah dididik di dalam samu wuon. Mereka juga memperlihatkan cara berfikir yang tenang, penuh semangat hidup dan memberikan harapan kepada orang lain serta menunjukan sikap baik dalam perilaku hidup mereka. Karena kehidupan yang dijalani memperlihatkan adanya perbedaan tanggungjawab dan pekerjaan, jelas hal ini memperlihatkan adanya perbedaan pola didikan dan jarak perbedaan yang dignifikan antara samu wuon (rumah adat laki-laki) dan akasikos (rumah adat perempuan) (Baru, 2018).
Baca Juga: Menjadi Rae Ati (Manusia Sejati) bagian II https://diptapapua.com/internalisasi-dan-eksternalisasi-nilai-nilai-buaya-dalam-kehidupan-masyarakat-karon-mare-dan-aifat/
Ada tiga hal pokok dalam tahapan ritual inisiasi (pendidikan adat) ini sebagaimana oleh Arnold van Gennep (Resubun, 2011, hal. 76-86) mendeskripsikan bahwa secara umum dibagi ke dalam tiga bagian yaitu: 1) rite de separation yang merupakan fase pengecekan bagi para inisiandi (sebutan bagi mereka yang mengikuti inisiasi) untuk mempersiapkan fisik dan mental yang bisa disebut sebagai fase orientasi. Namun dalam hal ini Gennep melihat para inisiandi juga langsung dipisahkan dari mereka yang tidak mengikuti inisiasi; 2) rite de merge (menurut Turner liminal) di mana para inisiandi dilatih mengenai keterampilan dan diajarkan berbagai pengetahuan tentang kehidupan, dan 3) rite d’ merge yang mana setelah beberapa waktu, khusus di kalangan masyarakat Karon, Mare, dan Aifat calon inisiandi biasanya menanam pohon sagu saat mereka pertama kali masuk sampai pohon sagu akan ditokok yang berarti mereka sudah siap untuk dikeluarkan dari inisiasi atau telah lulus. Sehingga waktu untuk melalui tahapan di dalam kawuon (rumah adat inisiasi laki-laki) dan akasikos (rumah adat inisiasi perempuan) bisa bertahun-tahun, meski juga ada yang hanya memakan waktu beberapa bulan yang diawali dengan menanam umbi-umbian (Thoonen, 2005, hal. 7-86; Resubun, 2011, hal. 81-86). Berdasarkan uraian tersebut, secara umum bagi masyarakat Karon, Mare dan Aifat, bisa dipetakan menjadi empat fase yaitu fase orientasi, isolasi atau separation (pemisahan diri), fase transisi (transition) dan integrasi atau penyatuan kembali ke dalam masyarakat (incorporation). Untuk lebih jelas mengenai fase-fase tersebut, akan dideskripsikan sebagai berikut: pertama, adalah orientasi atau pengenalan diri terhadap alasan dan tujuan hidup sehingga seseorang harus mengikuti tahapan ritual inisiasi. Sebab manusia kebanyakan setelah masa akil balik tidak (belum) memiliki orientasi hidup, sulit menemukan diri (jati diri) dan tidak memiliki alasan atau dasar mengapa harus hidup, tidak percaya diri, apalagi menemukan tujuan hidupnya dan apa yang perlu dilakukan untuk tujuan itu. Karena itulah orang perlu membuat pertanyaan: saya ini siapa, saya dari mana, harus melakukan apa untuk tujuan apa?. Melalui tahapan orientasi ini para calon inisiasi memiliki orientasi hidup atau mengetahui bagaimana kita harus hidup?. Orientasi juga berkaitan dengan pengenalan seseorang terhadap dunianya dan situasi di dalam inisiasi oleh orang tua atau orang lain yang telah diinisiasi. Pada fase ini calon inisiasi diberitahu berbagai pantangan melalui nasehat orang tua, berkaitan dengan makan minum dan hubungan sosial di luar rumahnya. Nasehat disampaikan dalam berbagai cara, baik melalui dongeng maupun ungkapan langsung berupa pantangan ataupun larangan dan sanksi yang akan diterima jika pantangan ataupun larangan tidak diindahkan dan dilanggar. Selalu di pagi hari dan di malam hari, ritual pemberian nasehat atau wejangan seperti ini dilakukan oleh orang yang lebih tua, orang tua ataupun orang yang dituakan (berdasarkan usia) yang dapat menasehati anak-anak atau remaja dan terlihat dalam hal ini om (mathers brother) memainkan peranan penting. Orang tua juga mulai menerapkan pola hidup yang mendukung seorang anak sebelum mengikuti ritual inisiasi, misalya makan dan minum untuk jenis makanan tertentu dan tidak untuk makanan tertentu, termasuk pola pikir dan berbagai tindakan yang membantu seorang anak melatih diri agar terbiasa dengan berbagai hal yang erat kaitannya dengan inisiasi. Kedua, pemisahan diri atau isolasi diri (separation). Para pemuda dibawa keluar dari rumahnya, dari orang tuanya, dari komunitasnya dan pergi ke tempat yang pemali itu, tempat yang belum pernah ia lihat ataupun datangi. Instrumen fisik dan mental yang merupakan wujud dasar-dasar moralitas mereka betul-betul merasakan berbagai tantangan yang menguji, baik di unsur pemikiran (kepala), kehendak (dada), dan nafsu (perut ke bawah). Sehingga ketiga dasar-dasar moral ini memperoleh tantangan dan pengujian yang hasilnya dapat membuat mereka mendapat sanksi dan pengucilan atau penghargaan berupa pujian atau materi. Ketiga, masa transisi yang mengandung unsur-unsur retrospektif-diakronis, etika-estetika, dan moralitas untuk tujuan transformatif-sinkronis (transition). Setiap anggota inisiasi yang sampai pada tahap ini akan memiliki suatu konsep permenungan yang mendalam hingga mencapai tahap komtemplasi. Dalam hal ini setiap orang mulai merenungkan diri mereka dan mencari nilai-nilai dasar yang telah diinternalisasikan melalui perenungan panjang. Mereka telah mampu memenuhi kesanggupan untuk menjawab pertanyaan moral yang berkaitan dengan penemuan jati diri. Tahapan ini membuat mereka menyadari perbedaan kental di saat sebelum masuk di dalam inisiasi dan ketika telah masuk dan melalui berbagai tahapan pendidikan di dalam inisiasi. Keempat, penyatuan kembali ke dalam struktur sosial atau integrasi (incorporation). Inilah masa yang dinantikan oleh para anggota inisiasi dan para keluarga maupun kerabat yang menantikan untuk melihat anggota inisiasinya keluar dari medium sakral itu. Berbagai tahapan ritual dipersiapkan, harta berupa kain timur, babi dan berbagai jenis artefak perias tubuh digunakan di sekujur tubuh. Mereka kemudian menyambut dan menerima anggota keluarga mereka yang telah diinisiasi oleh guru mereka di dalam rumah adat itu kembali ke dalam rumah sosialnya.
Seseorang yang keluar dari rumah adat akan memperlihatkan ciri-ciri hidup berbeda dengan orang lain yang tidak melalui tahapan inisiasi, selain aat (tato) di tubuhnya, dan berbagai artefak yang memiliki fungsi religio-magis. Maka itu jelas bahwa inisiasi semakin memperkuat seorang manusia menjadi lebih manusiawi atau agar lebih mudah kita pahami bisa dikatakan bahwa “manusia memang melahirkan bayi manusia, tetapi hanya samu wuon dan akasikos yang melahirkan rae ati (manusia sejati)”.
Keempat tahapan pendidikan adat atau inisiasi ini diadakan bagi para pemuda-pemudi yang baru akan melewati masa-masa puber dan menstruasi pertama. Sebab, mereka akan memasuki dunia kehidupan orang dewasa, yang berkaitan dengan pembangunan jati diri dan aktualisasi diri secara otonom (mandiri). Baik itu hal-hal yang berhubungan dengan siklus hidup manusia yang sederhana: makan, minum, hubungan suami isteri, memiliki anak, dan menjadi agen di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Maupun hingga siklus hidup yang lebih tinggi: memaknai kelahiran, perkawinan, dan kematian (dalam bahasa Arnold van Gennep disebut rites de passage atau ritus peralihan) dan menjadi manusia sejati dengan adanya pengakuan masyarakat (legitimasi dan kredibilitas diri) sebab terdapat integritas (kesamaan antara pikiran, perkataan dan tindakan) dalam dirinya. Hal ini menentukan arah dan kemampuan manusia dalam menghadapi masalah-masalah dan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang arti kehidupan. Secara eksplisit akan mendefinikan identitas seseorang sebagai manusia dalam kehidupan masyarakat. Barangkali proses ini semacam inisialisasi dalam aplikasi android whatsap yang menurut penilaian moral kelompok masyarakat Karon, Mare dan Aifat adalah proses terbentuknya seseorang menjadi Rae Atti. Saya menyimpulkan bahwa pengakuan sebagai rae ati terkadang diperoleh setelah sesorang meninggal, lalu dikenang dan dengan sadar mereka yang masih hidup mulai mengenangnya dengan ungkapan-ungkapan pujian dan berbagai kesan baik yang dirasakan oleh mereka dalam berbagai tantangan hidup. (**)
Daftar Rujukan Literatur
Baru, B. B. (2018). Traditional ritual symbolis in youth initiation and religious believes among the Maybrat of West Papua. Roma: Pontificia Universitas Urbaniana.
Cornelis Lay, Dkk. (2018). Asymmetrical decentralization, representation, and legitimacy in Indonesia: a case study of the Majelis Rakyat Papua. Asian Survey, a bimonthly review of contemporary asian affairs published , 365.
Mansoben, J. R. (1995). Sistem politik tradisional di Irian Jaya. Jakarta: LIPI.
Resubun, I. (2011). Inisiasi adat Papua di persimpangan jalan. Makalah pada program Magister Antropologi (pp. 74-94). Jayapura: Universitas Cenderawasih.
Thoonen, L. (2005). The door to heaven: female initiation, christianity and identity in West Papua. Dutch: Universiteit Nijmegen.