Oleh: Xaverius Sie Syufi
Secara umum dapat kita mengerti kata dasar dari bermartabat adalah “martabat” yang dapat diartikan sebagai harga diri atau jati diri seorang manusia yang hidup di bumi. Secara sederhana martabat juga bisa dapat diartikan sebagai sebuah nilai, kualitas, atau mutu dari dalam diri insan seorang manusia yang memiliki perasaan (hati) dan pikiran (otak) yang diciptakan sesuai dengan citra Allah itu sendiri atau dalam bahasa Latin “Imago Dei” yang berarti “Gambar dan rupa Allah”. Dari arti kata ini kita perlu membangun sebuah kesadaran antar sesama manusia Tambrauw sebagaimana yang tertera dalam moto kabupaten Tambrauw “Menjetu Menjedik Menben Suksno” yang di-Indonesiakan menjadi Sehati Sejiwa untuk membangun Tambrauw. Ini menjadi dasar dalam berpijak agar dapat memahami dan menerima manusia Tambrauw secara utuh menjadi manusia sejati. Kata Sejati yang dimaksudkan adalah menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusia bukan abal-abalan atau jadi-jadian (siluman) yang hanya datang untuk menguras habis hasil alam beserta manusia yang berdiam di dalamnya. Dan ingat juga bahwa menjadi manusia Tambrauw yang sejati dan bermartabat kita harus hidup saling berdampingan atau saling membutuhkan satu dengan yang lain karena esensinya manusia adalah sahabat atau teman bagi manusia lain (Homo homini socius) bukan sebaliknya manusia adalah serigala bagi manusia lain (Homo homini lupus). Dengan memahami diri sendiri dan orang lain, maka kesejatian kita sebagai manusia akan nampak dengan sendirinya tanpa harus dipaksa oleh siapapun dan apapun. Karena dengan keberagaman suku, bahasa, dan adat istiadat yang kita miliki itu yang akan menjadi ciri khas kita sebagai orang negeri Penyu Belimbing sejati. Kita sebagai manusia sejati harus menjunjung tinggi nilai persaudaraan kita tanpa ada sekat atau tembok pemisah antara sesama.
Namun dalam kaca mata saya manusia Tambrauw pada saat ini sudah minim menggunakan jati diri mereka secara bermartabat dalam berinteraksi dengan kehidupan social. Entah apa yang membuat sehingga terjadi sekat yang memisahkan antar suatu kelompok dengan kelompok lain secara khusus masyarakat local misalnya saling membeda-bedakan atar suku, bahasa, agama dan tempat tinggal. Jadi tidak mempunyai rasa memiliki yang sama sebagai putra-putri asli yang dengan keberagaman budaya tetapi sebagai manusia yang satu dan utuh. Dan mungkin sampai sekarang ini juga masih ada perspektif yang membedakan antara orang gunung dan orang pantai. Sebenarnya cara pandang ini tidak perlu lagi untuk generasi milenial Tambrauw gunakan karena itu akan menciptakan malapetaka bagi sesama kita orang Tambrauw. Jauh lebih baik jika gunakan perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan dalam diri kita, jangan jadikan perbedaan itu sebagai suatu masalah dalam kehidupan kita. Karena kurangnya suatu pemahaman dalam insan anak tambaruw maka tali persaudaraan dan kepercayaan kita pun agak sulit untuk dibangun baik dalam dunia kerja, sekolah, organisasi, gereja, dan dalam sendi-sendi kehidupan social lainnya.
Dari sepengal cerita ini, dapat saya simpulkan bahwa perlu adanya sosialisasi yang baik untuk memberi rangsangan pemahaman kepada siapa saja yang merasa memiliki kota atau kabupaten Tambrauw. Dalam hal ini pihak pemerintah daerah untuk membuat sebuah program untuk bagaimana merangkul semua elemen masyarakat agar dengan mudah menjalin hubungan tali persaudaraan sehingga menjadi manusia Tambrauw yang tidak kehilangan martabatnya. (**)