Oleh: Kris Ajoi
Menjadi Rae Ati (Bagian V Penutup)
Pokok bahasan ini menyaring informasi dari beberapa publikasi penelitian mengenai wilayah dan kebudayaan penduduk, termasuk budaya kain timur di Kepala Burung Papua. Sejak 1968 oleh Elmberg, oleh Schoorl 1979, dan oleh Miedema 1984 (Miedema, De kebar: sciale structuur en religi in de vogelkop van western nieuw guinea, 1984). Juga penelitian Miedema (Jelle Miedema, Perspectives on the bird’s head of Irian Jaya, Indonesia, 1998); (Miedema, Anthropology, demography, and history; shortage of woman, intertribal marriage relations, and slave trading in the Birds Head of New Guinea, 1988); Jan Boelaars 1986 (Boelaars, 1986, hal. 132), Ode (Ode, 2004), dan Miedema, Ode, Rien A.C. Dam dan kawan-kawan 1997(Jelle Miedema, Perspectives on the bird’s head of Irian Jaya, Indonesia, 1998), Jan Massink (dalam Schoorl, 2001), (Jelle Miedema, Perspectives on the bird’s head of Irian Jaya, Indonesia, 1998);(Schoorl, Belanda di Irian Jaya: Amtenar di masa penuh gejolak (1945-1962), 2001);(Miedema, Anthropology, demography, and history; shortage of woman, intertribal marriage relations, and slave trading in the Birds Head of New Guinea, 1988);(Miedema, Pre-capitalism and cosmology, 1986); dan (Kalmbacher, 1991). Sedangkan untuk beberapa dinamika perubahan cara pandang, sikap dan perilaku masyarakat Kepala Burung Papua dapat diperlihatkan dalam penelitian (Sakrani, 1979, hal. 48-49) mengenai orang Arfak; juga E.K.M Masinambouw dkk (Mansinambouw & Paul Haenen, 1994) mengenai kebudayaan dan pembangunan di Papua; tentang Mpur, Ireres dan Karon oleh Yafet Syufi (Syufi, 2015, p. 8); (Ismael Abiri, 2017); Kris Ajoi (belum terbit); dan Tehit/Imyan oleh Jaap Timmer (Timmer, 2011) dan (Haryanto, 2015). Hal yang perlu didalami lebih lanjut dalam riset mengenai kain timur adalah asal usul nama kain timur yang dijadikan sebagai instrumen penggolongan 12 kain timur sebagaimana yang sudah diawali oleh N Sanggenafa dan Koentjaraningrat di Fef dan Sausapor pada orang Karon (sekarang Miyah) atau juga Meyhabehmase (Koentjaraningrat, 1994) dan untuk menjawab pertanyaan penting tentang mengapa dan bagaimana perhitungan jumlah “mata” di kain timur diakui di dalam transaksi kain timur beserta “pemain kain” atau pebisnis kain timur?; serta bagaimana kain timur sebagai pusaka, sebagai dasar penelusuran asal usul marga (silsilah) dan menandai batas wilayah. Dua hal ini belum dilihat oleh penelitian-penelitian sebelumnya sebab bagi penilaian mereka transaksi kain timur dengan klasifikasi atau pengkategorisasian hanyalah pemanipulasian (Schoorl, Belanda di Irian Jaya: Amtenar di masa penuh gejolak (1945-1962), 2001; Jelle Miedema, Perspectives on the bird’s head of Irian Jaya, Indonesia, 1998; Miedema, Pre-capitalism and cosmology, 1986; Miedema, The water demon and related mythic figures, 2000; Koentjaraningrat, 1994; Mansoben, 1995; Haryanto, 2015; E.K.M. Mansinambouw & Paul Haenen, 1994 ). Namun menariknya para peneliti terdahulu telah sedikit mampu memaknai transaksi kain timur yang telah membentuk mentalitas manusianya. Sebab di situlah terletak titik tolak sikap, perilaku dan konteks mentalitas kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan pandangan moralitas, terutama adalah kain timur atau budaya ekonomi dan politik tradisional di Papua pada umumnya.
Baca juga: Bagian I Manusia Melahirkan Manusia, Tetapi Kawuon Dan Akasikos Yang Melahirkan Manusia Sejati (Rae Ati)
Soal transaksi ekonomi-politik kain timur yang paling menonjol dari semua penelitian kontemporer adalah Dr. Jhoz Mansoben (Mansoben, 1995) dan Haryanto (Haryanto, 2015). Mansoben menjelaskan secara komprehensif mengenai empat tipe kepemimpian tradisional di Papua yaitu pria berwibawa atau big man, ondoafi, raja dan campuran. Empat tipe kepemimpinan ini dicapai melalui dua hal mendasar menurut Mansoben, yaitu ascribed dan achieved. Dalam pengertian ada sistem kepemimpinan yang diwariskan turun-temurun dan adapula yang dicapai dengan usaha seseorang dalam kehidupan sosial-budaya di tengah-tengah masyarakat. Sebagaimana bobot (big man) yang bersifat achieved atau dikonstruksi dalam kebudayaan atau secara spesifik melalui transaksi kain timur. Namun pastinya bahwa kain timur memainkan peran penuh dalam ritus kepemimpinan secara ekonomi-politik. Haryanto(Haryanto, 2015) menggambarkan bagaimana kain timur dan seluruh nilai-nilai, moralitas yang berkaitan dengan praktek ekonomi-politik saling mempengaruhi. Di mana kepemimpinan bupati Sorong Selatan Ottow Ihalau sebagai orang yang bukan berasal dari suku Tehit dapat terpilih sebagai bupati Sorong Selatan. Menariknya Haryanto menekankan peran penting dan mendasar dari kain timur dan unsur-unsur mentalitas kain timur sebagai instrumen ekonomi-politik dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) di kabupaten Sorong Selatan.
Masyarakat Karon, Mare dan Aifat berada di otak burung. Dari sebelah timur adalah Arfak yang terbagi ke dalam beberapa kelompok bahasa yakni, Hattam-Moiley, Sough, Meyah, Moskona, Mpur, dan Ireres termasuk kelompok bahasa Mansim yang disinyalir oleh para linguis antropologi Unipa di bawah CELD sebagai bahasa yang hanya memiliki sejarah (kenangan) atau punah. Kelompok bahasa Mpur sendiri terbagi ke dalam beberapa dialeg yakni dialeg Amberbaken, Kebar, Karon, Ireres, dan Miyah sebab di daerah ini merupakan daerah lintas batas di mana jalur perdagangan kain timur, perkawinan dan budak dibudayakan; kelompok bahasa Madik yakni orang Abun; kelompok bahasa Moi yakni orang Moi; kelompok bahasa Tehit yakni orang Imyan dan Imyan Sawiat; kelompok bahasa Maybrat yakni orang Karon, Mare, Aifat, Aitinyo, dan Ayamaru; dan yang terakhir adalah kelompok bahasa Inanwatan. Setiap kelompok suku dan bahasa ini sangat berbeda. Tetapi kain timur beredar dan dipakai sebagai pengiring ritus hidup manusia di semua kelompok suku itu. Di sinilah terlihat hal yang luar biasa, sebab orang tidak dapat saling mengerti dalam bahasa komunikasi tetapi kain timur dapat ditransaksikan dan jalur inilah yang memperantarai budaya perkawinan dan budak belia. Jalur inipun kemudian dipakai oleh Zending dan Misionaris untuk menaburkan Injil hingga masuknya pemerintahan Belanda. Pada masa kedudukan indonesia di Papua, pemerintah menggunakan jalur ini untuk membangun jalan trans Papua Barat di Provinsi Papua Barat dari Manokwari Bintuni, Manokwari Sorong, dan Manokwari Wondama dan Nabire.
Baca juga: Bagian II Internalisasi dan Eksternalisasi Nilai-Nilai Budaya Dalam Kehidupan Masyarakat Karon, Mare, dan Aifat
Secara antropologis kelompok kebudayaan di Kepala Burung Pulau Papua yang dikonstruksikan secara sosial-budaya-religi dalam suatu topografi wilayah ini adalah satu. Kebudayaan itu dibagi ke dalam tiga sub kelompok menurut bahasa dan tradisi yang paling signifikan (pandangan hidup, relasi sosial-budaya, ekonomi dan politik), yaitu: Pertama, kelompok Arfak di wilayah Manokwari Raya (Pegunungan Arfak, Manokwari Selatan, Manokwari, dan Tambrauw bagian Timur), Kedua, kelompok Maybrat di wilayah Maybrat dan Tambrauw bagian barat dan selatan(kelompok Moi di Kabupaten Sorong dan Kota Sorong, kelompok Maybrat di Kabupaten Maybrat dan Tambrauw), Ketiga, kelompok Sorong Selatan (Imyan Sawiat dan Imekko: Inanwatan, Metemani, Kais dan Kokoda).
Dalam beberapa tahun terakhir telah diketahui bahwa kelompok-kelompok ini telah mengusahakan secara politik agar daerahnya dimekarkan menjadi daerah otonomi baru (kabupaten baru), misalnya Maybrat Sau yang diperjuangkan bagi masyarakat Ayamaru akibat konflik antara penduduk Ayamaru, Aitinyo dan Aifat, kemudian kabupaten Mpur atau Manokwari Barat yang dimekarkan bagi penduduk Mpur akibat konflik pra pemekaran hingga kepentingan politik pemilihan kepala daerah provinsi Papua Barat (Drs. Dominggus Mandacan dengan para pejabat Maybrat, khususnya Ayamaru dalam persatuan Sorong Raya). Sehingga memekarkan Papua Barat Daya adalah pilihannya untuk menghilangkan pesaing kuat. Maka diperlukan satu tambahan kabupaten di tengah agar memisahkan penduduk Mpur dengan penduduk Karon (sekarang Miyah) yang juga berbeda agama (katolik untuk Miyah dan protestan GKI untuk Mpur dan Meyah/Meakh yang dekat dengan Arfak) ditambah dengan kota Manokwari sebagai lahan kerja politik bagi pejabat Arfak lainnya. Kemudian kabupaten Imekko untuk memisahkan kelompok Imyan Sawiat dengan Imekko.
Orang Karon, Mare dan Aifat menggunakan bahasa Maybrat yang terbagi ke dalam beberapa aksen atau dialek (tone). Mereka hidup dalam suatu hamparan wilayah yang sama, termasuk juga orang Ayamaru, Moi, kemudian Arfak. Kondisi alam dan iklimnya pun tidaklah berbeda. Kalau kita bagian dari ketiga kelompok ini dan kita pergi dari wilayah Karon, di Kampung Senopi, kita akan berjalan kaki hingga tiba di Mare, kampung Seya atau Ases dan kemudian kita sampai ke Yamko (Yarat, Man, Konja), Kokas, Mosun, Ayawasi, Kmurkek dan seterusnya sebagaimana aspal jalan Transnasional Papua Barat saat ini mengikutinya. Di setiap kampung kita dapat bermalam bahkan tinggal untuk beberapa hari sebab orang di wilayah ini memiliki satu bahasa pengantar (lingua franca) untuk komunikasi, lebih jauh lagi mereka menghidupi kebudayaan yang sama. Semakin ke dalam lagi mereka diikat dengan ikatan kekerabatan berdasarkan perkawinan dan hubungan darah dan dusun yang sama. Hubungan yang terikat kuat itu menemukan titik temunya pada transaksi kain timur [4] yang ikut memainkan peran dalam tukar menukar barang dan manusia. Orang Aifat dapat berjalan kaki mencari kain hingga ke wilayah orang Karon bahkan ke wilayah penduduk Arfak. Jalur kain dan manusia ini semakin mempermudah kita untuk menemukan hubungan kekerabatan yang kerap kali ditunjukkan dengan perkelahian, kecemburuan, cinta, benci, hingga perasaan dendam. Sebab hubungan mereka telah lama hidup. Hubungannya di sebelah timur dengan penduduk suku Mpur dan Meakh Arfak, di sebelah selatan penduduk Moskona dan Arfak, di sebelah barat dengan penduduk Ayamaru yang masih tergolong ke dalam satu kebudayaan. Kain timur juga dipakai oleh orang Imyan (Tehit) di Teminabuan, kemudian suku Moi di Sorong.
Baca juga: Bagian IV Hysteresis Dan Degradasi Moral Dalam Hidup Masyarakat Karon, Mare, dan Aifat
Menoleh ke belakang, wilayah dan manusia Papua pada masa lampau sudah banyak sekali dikisahkan dalam berbagai publikasi penelitian. Khusus bagi manusia dan kebudayaan, misalnya sebagaimana Jan Boelaars menulis, ia membagi Tanah Papua dengan kebudayaannya ke dalam beberapa bagian yaitu budaya meramu dan bertani (Boelaars, 1986). Dua kebudayaan ini menggambarkan implikasi dari lingkungan dan manusia yang saling mempengaruhi, manusia hidup menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Selain itu, oleh Aditjondro disebut bahwa secara umum terdapat empat tipe wilayah (geografis), meliputi pegunungan, lembah, rawa dan pesisir (Aditjondro, 2000, hal. 63-97). Lebih lanjut Koentjaraningrat mengusulkan kajian kebudayaan perlu didasarkan pada tujuh unsur budaya(Koentjaraningrat, 2009, hal. 165) [1], secara khusus untuk Papua, George J. Aditjondro dan Koentjaraningrat menguraikan apa yang disebutnya tipologi kebudayaan,[2] sebagai berikut:
- Bahasa
- Ekosistem
- Aspek-aspek kebudayaan kebendaan (material culture) yang utama, yang terdiri dari:
a. Pola pangan pokok
b. Pola percaharian pokok
c. Pola sandang
d. Pola pemukiman
e. Pola teknologi angkutan
- Pola kepemimpinan
- Intensitas/lama/corak kontak dengan dunia luar
- Agama
Secara antropologi-ekologi, Aditjondro juga kemudian memilah ekosistem Papua ke dalam dua belas bagian [3], yaitu: Kebudayaan penduduk di pulau-pulau dan pesisir Teluk Cenderawasih; Kebudayaan penduduk pulau pulau Raja Ampat; Kebudayaan penduduk pesisir Pantai Utara; Kebudayaan penduduk kawasan pedalaman sungai-sungai Mamberamo-Rouffaer, Idenburg; kebudayaan penduduk kawasan Teluk Bintuni, Fak-Fak, dan Kaimana; Kebudayaan penduduk kawasan dataran rendah (sekitar Danau Sentani hingga perbatasan Papua Barat Papua Nuguini); Kebudayaan penduduk punggung pegunungan Jayawijaya, pegunungan Arfak, dan kawasan danau-danau Ayamaru (Kepala Burung); Kebudayaan penduduk kaki selatan pegunungan Jayawiaya; Kebudayaan penduduk daerah sungai-sungai dan rawa-rawa di bagian selatan Papua Barat; Kebudayaan penduduk di daerah sabana di bagian selatan; Kebudayaan penduduk asli yang menyelinap di lokasi-lokasi transmigrasi; dan yang terakhir Kebudayaan penduduk Papua Barat yang menjadi migran di kota-kota pantai.
Keadaan geografis dan cara mempertahankan hidup dalam kebudayaan manusia Papua itu membentuk mentalitas budaya yang pada umumnya dalam etika dilihat sebagai upaya untuk mencari terus menerus jati dirinya. Upaya mencari jati diri seperti itu telah dibahas sebagai contoh pada orang Karon, Mare dan Aifat di Kepala Burung Pulau Papua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa mentalitas yang dibentuk dari cara hidup itu mengimplisitkan beberapa nilai-nilai dalam kehidupan mereka yang diantaranya sebagaimana yang dibahas pada bagian IV yaitu tentang pendapat Margareth Mead, 1935 (E.K.M. Mansinambouw dan Paul Haenen, eds, 1994, hal. 43), yang mengatakan bahwa “kodrat manusia (termasuk orang Papua) rupanya lunak sekali”. Meskipun ada batasanya yang terletak pada aspek internalisasi dan eksternalisasi sikap manusia sesuai nilai-nilai dalam kelompok kebudayaan di mana manusia itu dibesarkan melalui hasil penempaannya sendiri (istilah Paul Haenen: Malleating). Barulah dirinya secara langsung merepresentasikan kepribadian budaya itu (the cultural personality. Betapa kuatnya kepastian asbstraksi Mead sehingga J.G. Held melanjutkan dengan menyebut orang Papua memiliki budaya improvisasi (improvisator), seorang manusia yang bersedia mencoba tanpa persiapan lebih dahulu, yang tahu mencari akal dalam situasi-situasi baru yang ditemukannya, meskipun pengalaman pater Alfons van Nunen mengatakan terkadang tidak terselesaikan dengan baik pekerjaan itu (E.K.M. Mansinambouw dan Paul Haenen, eds, 1994, hal. 43). Hal itu selanjutnya ditemukan pula oleh Jan Boelaars pada orang Karon, Mare dan Aifat dan masyarakat tetangganya, Mpur dan Arfak oleh Amtenar Frans Peters, yang mengatakan bahwa sikap yang dianut dari nilai-nilai kebudayaan itu memperlihatkan ciri yang umum seperti memiliki kemampuan improvisasi, realisme dan pragmatisme, mementingkan harga diri, self reliance, dan egaliterisme seperti halnya pater Alfons van Nunen, OFM, menyebutnya “penghargaan terhadap otonomi individu” (E.K.M. Mansinambouw dan Paul Haenen, eds, 1994, hal. 43).
Baca juga: Bagian III Moralitas St. Agustinus di dalam Kehidupan Masyarakat Karon, Mare dan Aifat
Secara seksama nilai-nilai ini tidak hilang melainkan berubah mengikuti perubahan yang masuk ke Papua. Diantaranya adalah pemekaran daerah dan pembukaan daerah baru yang membentuk mentalitas ini menjadi semakin eksklusif di antara kebudayaan-kebudayaan tertentu. Apabila orang membaca artikel ini pada semua bagiannya, juga akan kelihatan bagaimana setiap kelompok bahkan individu akan memperlihatkan sikap moral sebagaimana yang dimaksud. Faktor kedua, adalah heterogenitas kebudayaan yang mempengaruhi adanya persaingan yang tidak sehat. Sebab manusia Papua menyadari dirinya berada di dalam realitas dunia yang luas dengan perubahan dalam wujud pesatnya pembangunan. Faktor ketiga adalah ketidakmampuan manusia Papua menempatkan diri di dalam perobahan sebagaimana yang terlihat dari meningginya ketergantungan, yaitu persoalan pembangunan a-simetris yang ternyata tidak memperlihatkan hubungan timbal bali yang sejajar atau resiprokal (resiprocity/symetris).
Catatan Akhir:
[1] Tujuh unsur budaya yang dimaksud adalah tujuh unsur budaya universal yang diuraikan oleh Kluckhon dalam Koentjaraningrat (Koentjaraningrat, 2009, hal. 165). Ketujuh unsur budaya universal ini antara lain: Bahasa, Sistem Pengetahuan, Organisasi Sosial, Sistem peralatan hidup dan teknologi, Sistem mata pencaharian hidup, Sistem religi, Kesenian.
[2] (Aditjondro, 2000, hal. 68). Dengan menyimpulkan dari penelitian kebudayaan dari ahli seperti Koentjaraningrat 1979, Ajamiseba n.d.2, Jhoz Mansoben 1986, Slamet 1964, dan Boelaars 1986.
[3] (Aditjondro, 2000, hal. 70-71).Untuk bagian ini Aditjondro merumuskan rangkumannya dari Koentjaraningrat 1979, Boelaars 1986. Kemudian Tucker 1986 dan Petocz 1987 yang melakukan penelitian dari program IJ-DISC yang diteruskan oleh Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa.
[4] Kain Timur dalam bahasa Maybrat disebut booho. Beberapa nama kain yang cukup banyak ditemukan di kalangan masyarakat Maybrat adalah Bokek, Toba, Karok, Wan, Amon. (**)