DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
Sebagai anak muda, sejarah merupakan warisan berharga yang patut dijaga dan dilindungi. Sejarah adalah harta warisan dan tongkat estafet yang wajib diwariskan ke generasi berikutnya. Sejarah merupakan eksistensi jadi diri kita, mengenai dari mana kita berasal dan di mana kita tinggal, ataupun sejarah mengenai suatu peristiwa penting yang memiliki nilai dan makna tertentu yang dikenang satu generasi ke generasi berikut.
Sejatinya, eksistensi kita orang Papua itu terletak pada sejarah kita sebagai orang Papua. Namun keberadaan dunia sekarang sudah semakin canggih dan manusia sudah dimanjakan dengan tekhnologi, sehingga hal ini membuat manusia merasa terasing ketika berhadapan dengan sejarah mereka sendiri. Jangan kita memperbudak generasi berikut karena kesalahan kita, yaitu tidak menulis tentang dari mana kita berasal. Berbicara mengenai sejarah berarti berbicara mengenai siapa saya.
Berikut Pasar Sore yang terletak di Kecamatan Aimas, Kabupaten Sorong lahir dari rentetan cerita panjang dan penuh makna. Banyak pengorbanan yang tak terhitung jauh sebelum hadirnya Pasar Sore itu. Perjuangan menghadirkan Pasar Sore memiliki cerita tersendiri yang unik dan memanjakan pikiran. Sejarah mengenai hadirnya Pasar Sore yang tertuang dalam tulisan ini merupakan hasil cerita saya dengan mama Yuliana Safle pada Sabtu Malam (27/03/2021).
Malam yang dihiasi dengan bintang, Mama Yuliana memulai percakapan dengan mengatakan bahwa Pasar Sore ini merupakan pasar milik Mama-mama Papua. “Kami sebagai mama-mama Papua yang pertama berjualan di sini (pasar sore), sehingga ke depan jika ditinjau dari segi historisnya, maka kami mama-mama Papua yang punya pasar sore ini,” jelas Mama Yuliana.
Dia menjelaskan bahwa latar belakang hadirnya Pasar Sore tersebut, karena rutinitas mereka sebagai Mama-mama Papua yang saat pagi pergi ke kebun dan sorenya Mama-mama Papua ini menjual hasil kebunnya di Pasar. Karena kegiatan jual beli di pasar berlangsuang tiap sore, maka pasar tersebut diberi nama Pasar Sore.
“Karena rutinitas kami mama-mama Papua biasanya pagi kami ke kebun dan sorenya kami menjual hasil kebun kami, dan karena waktu jualnya tepat sore hari maka tempat ini dinamakan Pasar Sore. Pasar Sore ini sebenarnya milik kami mama-mama Papua karena kami yang pertama berjualan di sini,” ucap Mama Yuliana yang sedang manjaga barang jualannya.
Sambil menunggu pembeli, Mama Yuliana menceritakan lebih lanjut sejarah hadirnya Pasar Sore itu. Ia menjelaskan bahwa awalnya mereka (Mama-mama Papua) tinggal di Pasar Remu (Pasar Central) Kota Sorong dan pada waktu itu mereka masih berkebun di sekitar jembatan HBM dan Taman Makam Pahlawan. Namun, pada tahun 1981 dan 1982 terjadi perpindahan penduduk secara besar-besaran.
“Perpindahan penduduk ini terbagi menjadi dua bagian. Transmigrasi yang pertama adalah transmigrasi umum, yakni berpindahnya para penduduk dari pulau Jawa untuk menempat di Papua khususnya di Kabupaten Sorong pada tahun 1981. Kemudian, selang satu tahun, terjadi Migrasi, yakni orang-orang Papua sendiri yang awalnya tinggal di sekitar Pasar Remu berpindah ke Kabupaten Sorong,” ujar Mama Yuliana yang merupakan warga Kabupaten Sorong itu.
Dia mengaku, dirinya saat itu ditempatkan di Mariat Pantai, Aimas, Kabupaten Sorong. Orang Papua yang tergolong dalam migrasi pada masa itu, adalah orang Teminabuan dan orang Bintuni. Mama Yuliana mengaku bahwa pada awal masa perpindahan, mereka masih mendapat perhatian dari pemerintah berupa penyediaan stok beras yang berlangsung sekitar satu tahun. Sambil memanfaatkan bantuan pemerintah itu, warga migrasi itu mulai berkebun atau bercocok tanam.
Mama Yuliana menjelaskan bahwa sebelum mereka berjualan di Pasar Sore, mereka masih membawa hasil kebun mereka dari Aimas untuk jual di Pasar Remu Kota Sorong. Mama Yuliana mengakui situasi pada masa itu cukup menantang untuk mempertahankan hidup. Mereka harus membawa hasil kebunnya berjalan kaki menempuh perjalanan yang jauh dari Mariat Pantai, Aimas hingga di KM 16, agar bisa mendapatkan angkutan (taxi).
“Keadaan jalan saat itu sangat menyedihkan, karena jasa transportasi umum pemerintah hanya bisa sampai di KM 16. Mama-mama Papua harus berjalan melewati rawa sepanjang perjalanan dan hanya ditaruh kayu sebagai jembatan sementara,” kenang Mama Yuliana.
Kondisi tersebut berlangsung kurang lebih selama satu tahun. Setelah itu, karena perjalanan yang cukup jauh, maka mama Yuliana bersama mama-mama Papua lainnya, mengambil langkah alternatif dengan menjual barang mereka di Aimas agar dekat dengan tempat tinggal mereka.
Pertama kali mereka berjualan di jalan Lobak Aimas, namun karena sedikit pembeli, maka mereka memindahkan tempat berjualan ke jalan Gambas yang hingga sekarang kita kenal dengan Pasar Sore. “Pada saat itu, mama-mama Papua memakai Gerobak sebagai alat pengangkut bahan jualan,” ucap Mama Yuliana.
Dia mengaku saat itu peredaran keuangan tidak seramai sekarang, omset atau pemasukan per hari maksimal Rp 30. 000.00/-. “Saat itu mama-mama Papua hanya menjual kasbi, keladi serta daun kasbi. Omsetnya kecil karena saat itu harga barang juga masih di bawah standar, misalnya kasbi satu tumpuk itu hanya Rp. 3.000.00-/,” katanya. Namun, dengan penghasilan itu, Mama Yuliana mengaku dia masih bisa membiayai anak-anaknya sekolah dan mempertahankan hidup.
Karena pengunjungnya semakin sedikit dan waktu sudah mulai larut malam, sambil bergegas menyimpan barang dagangannya, mama Yuliana mengucapkan banyak terima kasih kepada pemerintah Kabupaten Sorong, karena telah membangun Pasar Sore yang beratap seng dan berlantai semen dan telah diresmikan beberapa bulan lalu.
Reporter: Afet Korain