Oleh: Kris Ajoi
Menjadi Rae Ati (Manusia Sejati) Bagian III
Pengantar
Pemikir etika sebagai teori tentang moralitas adalah Plato dan Aristoteles, aliran Epikuros, Filsafat aliran Stoa, dan etika deontologis dari Immanuel Kant. Selain juga St. Thomas Aquinas dalam beberapa bagiannya, danĀ tentu saja dia yang dibahas, Santo (St.) Agustinuss.
St. Agustinus, nama yang jarang terdengar dalam diskusi tentang etika. Romo Prof. Franz Magnis Suseno, S.J., dalam beberapa buku etikanya, di pembahasan mengenai 13 tokoh etika, barulah St. Agustinus dimasukkanĀ (Magnis-Suseno, 1997). Agustinus adalah pemikir ulung mengenai etika dalam masa hidupnya sebagai Imam Katolik, guru Kristen dan filosof (Magnis-Suseno, 1997, hal. 66). Pasca pertobatan moral dan iman kristianinya di dalam tuhanya (Allah)Ā setelah pernah hidup dalam kekelaman, ia pun menerima ānamaā Santo (orang suci untuk laki-laki). Universalitas dari ajarannya telah berkembang ke seluruh dunia. Bahkan penerapannya disinkretiskanĀ dengan berbagai kebudayaan di dunia. Secara khusus bisa disimak pada masyarakat Karon, Mare dan Aifat di Kepala Burung, Pulau Papua.
Siapa Dia, Apa yang Diajarkannya?
Agustinus dilahirkan di Tagaste, dari rahim seorang penganut Kristen yang bernama Monika yang kemudian secara Katolik kita kenal menjadi Santa Monika. Ayahnya Patrisius, secara kristiani, disebut menyukai penyembahan kepada berhala. Tagaste, sebuah kota kecil dekat Karthago, Afrika Utara. Agustinus lahir 354 M dan wafat 430 MĀ (Magnis-Suseno, 1997, hal. 65). Ia dibekali dengan pengalaman pernah mempelajari manikeisme yaitu dualisme pemikiran tentang dua prinsip dasar moral, yaitu yang baik (cahaya, Allah, atau roh) dan yang jahat (kegelapan atau materi). Juga panteisme dan neoplatonisme.
Setelah eksodus ke Milano ia kemudian dibaptis dalam pengaruh uskup Ambrosius dan bapak rohani Ambrosius, Simplicianus yang selalu bercerita kepada Agustinus muda tentang Victorinus yang berpengetahuan luas dan terpandang kemudian menjadi Kristen. Ia pulang ke Afrika dan dipilih oleh umat menjadi uskup di kota Hippo. Makanya sering ia disebut Agustinus from Hippo. Di sana, dalam karya-karya kerjanya sebagai imam Katholik, ia menulis dua karya filsafat yang termahsyur dari beberapa yang lain, yaitu āPengakuanā (Confessiones) dan āTentang Komunitas Allahā (De Civitate Dei)Ā (Magnis-Suseno, 1997, hal. 66). Dalam dua karya itu terdapat beberapa argumen mendasar dari filsafatnya tentang etika-moralitas dalam pandangan kristiani. Pertama bantahannya terhadap filsafat penciptaan dari Plato dan Aristoteles yang mengatakan tuhan (dewa) memberi forma untuk membentuk alam semesta dengan benda-benda materi purba. Bagi Agustinus dunia tidak diciptakan dari materi tertentu melainkan dari ketiadaan, sebab Tuhan juga menciptakan materi, bukan hanya tertib dan susunannyaĀ (Russel, 2007, hal. 474). Inilah pengakuan pertama yang harus disadari manusia yang berkaitan dengan kesadaran dan pengakuan akan transendensi. Demikian pernyataannya tentang penciptaan. Yang berikut adalah deskripsinya tentang dunia, waktu dan manusia. Menurut St. Agustinus waktu sulit dijelaskan, ia mencoba bertanya dan menjawab: ālantas apa itu waktu?, jika tak seorangpun menanyakan padaku aku tahu, jika aku berusaha menjelaskan pada dia yang bertanya, aku tak tahu.ā Agustinus meyakini adanya waktu yang dalam internalisasinya, hanya bisa dilihat dari waktu lampau (ingatan), waktu sekarang (pilihan pada realitas dan keyataan/pemandangan) dan waktu yang akan datang (harapan). Manusia dapat berada di waktu sekarang dari ingatan masa lalunya, manusia berada di waktu sekarang karena pemandangan, dan manusia juga bisa berada di waktu sekarang dari pengharapan akan masa depannya. Waktu diciptakan saat dunia diciptakan (termasuk manusia). Untaian itu diberikan untuk memberi suatu pemahaman mendasar dan gampang tentang adanya waktu. Di sini Agustinus menegaskan bahwa Tuhan (Allah) bersifat kekal dan berada di luar dunia, manusia dan waktu. Dunia, manusia dan waktu adalah suatu proses kehidupan moralitas (mental), yang berarti bahwa Agustinus mengartikan waktu sebagai sesuatu yang bersifat mentalĀ (Russel, 2007, hal. 474). Dari refleksi inilah lahir sebuah kalimat penting dari Romo Magniz dalam judul bab mengenai St. Agustinus dalam buku itu ācintailah dan lakukanlah apa yang kau kehendakiā sebab itulah jalan menuju kebahagiaan.
Agustinus sendiri mengartikan etika sebagai ajaran tentang kebahagiaan hidup yang harus dicari di dalam āDiaā yang transenden, yaitu Allah sendiriĀ (Magnis-Suseno, 1997, hal. 65-67). Hal itu tidak dapat diwujudnyatakan jika manusia tidak memiliki āpengakuanā bahwa ia ciptaan Allah sebagai āSang Kebaikan Tertinggiā. Sebab dengan mengakui Allah, kita tertuju pada upaya memilih āKebaikan Tertinggiā yang membawa manusia menemui jalan menuju kebahagiaan imanensi (empiris). Makna adanya kebahagiaan juga bersifat transenden. Orang tidak pernah merasa bahagia secara mutlak dan absolut melainkan hanya dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang membuatnya merasa bahwa ia bahagia, yang bahkan oleh dirinya sendiri sulit dijelaskan rasa itu. Tetapi kebahagiaan juga ditentukan melalui keutamaan tindakan moral. Seseorang yang memiliki masa lalu yang buruk di mana ia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang diketahui tingkat pendidikannya rendah, maka itu ia memiliki harapan di waktu yang akan datang untuk lulus sebagai seorang sarjana strata tiga (S3). Jika ia tidak memilih untuk mengutamakan fokus dan bertanggungjawab dalam proses belajarnya dan mengikuti segala hal yang membantu studinya maka ia kemungkinannya tidak akan mencapai rasa bahagia seperti yang diharapkannya. Tetapi apabila harapannya terwujud, ia akan bahagia, namun kebahagiaan itu tidaklah sampai di situ. Selama hidup ia terus menerus akan mengalami proses sirkulasi hidup antara keutamaan menuju kebahagiaan dalam setiap tantangan ataupun cobaan hidup. Keutamaan juga didasari dengan adanya pelepasan manusia dari apa yang ia cintai (isolasi diri), membuat menderita (pendidikan dan ujian), tujuannya untuk memurnikan diri dan lebih mampu menuju ke tujuan hakiki, yaitu kebahagiaanĀ (Magnis-Suseno, 1997, hal. 66-74).
Baca juga: Bagian II Internalisasi dan Eksternalisasi Nilai-Nilai Budaya Dalam Kehidupan Masyarakat Karon, Mare, dan Aifat
Di dalam pengakuan terdapat sisi religiusitas manusia yang meyakini (mengimani) adanya Allah sebagai pencipta manusia, yang sesuai dengan gambar Allah sendiri (Imago Dei). Konsep itu menjadi pertanda bahwa di dalam pengakuan diri, manusia perlu menyadari empat hal penting. Pertama, pengakuan akan adanya Allah; kedua, kesadaran akan adanya mahkluk manusia ciptaan Allah yaitu diri kita sendiri dan sesama; ketiga, keikutsertaan dalam kehidupan sosial, terutama komunitas. Sebab di dalam kehidupan sosial dan melalui komunitaslah keutamaan dapat diwujudnyatakan untuk mendapati rasa bahagia dan narasi tentang siapa kita. Hal ini datang dari tiga aspek moral yaitu: 1) aspek individu. Berkaitan dengan cinta diri, mengenali diri dan potensi diri atau percaya diri; 2) aspek sosial. Sesama manusia dalam pandangan kemanusiaan menjadi hal utama. Berkaitan dengan itu, maka kebudayaan lain tidak dinilai melainkan dimaknai. 3) aspek kelembagaan (komunitas). Komunitas adalah sarana aktualisasi moral. Komunitas (sebagaimana di bagian I & II), keluarga termasuk di dalamnya sebagai komunitas pertama saat manusia lahir, kemudian lembaga pendidikan, dan kelembagaan sosial-kemasyarakatan (kebudayaan)Ā (Bernard Baru, 2012, hal. 9-11). Penerapan ajaran St. Agustinus pada sikap hidup dalam tiga aspek diwujudkan dengan tiga nilai mendasar yaitu pertama adalah ketaatan. Berkaitan erat dengan adanya pengakuan dan pertobatan yang menjadi petunjuk bila dijalani dengan suatu refleksi dan evaluasi diri secara mendalam, kedua adalah kemurnian dengan berusaha menjaga kesucian pikiran dan tindakan, dan yang terakhir adalah kemiskinan. Secara manusiawi menjaga relasi dengan sesama dengan menerapkan sikap hidup yang ketiga yaitu kemiskinan yang mewujud dalam cara hidup berbagi.
Aspek Individu
āTolle Legeā (ambilah dan bacalah) adalah semboyan yang sangat kuat pada penerapan nilai-nilai St. Agustinus di Yayasan Santo Agustinus dan sekolah yang didirikan oleh yayasan ini. Dua kata itu diresapi dari suara (seperti anak kecil bernyanyi) āTolle Legeā yang didengar oleh Agustinus saat berada di taman di bawah pohon fig. Agustinus menaati suara itu dan mulai membaca karya terbesar sepanjang masa, Alkitab. Ia mendengarkan suara itu lalu menuruti dengan melakukannya, membaca Alkitab dan menemukan hikmatnya lalu segera menginternalisasi dalam proses penemuan kembali dirinya dan selanjutnya menerapkannya dalam hidup.
Berkaitan dengan pengenalan diri dan upaya memberi diri agar memiliki dampak di dalam keberadaannya. ada dua unsur pokok sebagai dasar semangat moral yang menjadi titik tolak refleksinya tentang hakikat manusia sebagai mahkluk individu, yaitu unsur interioritas yang didasari dari ajaran Plotinus tentang perjalanan manusia dari dunia eksterioritas (foris) atau materi (realitas rasio) ke dunia interioritas (intus) yaitu dunia jiwa atau roh (inner man). St. Agustinus mengetahui betul tentang keberadaan manusia yang berdasarkan pengakuan akan Imago Dei (gambar Allah) memiliki tiga dasar moral utama yakni ingatan (memoria, intelektual (intelligenza), dan kehendak (volonta) (sebagaimana di Bagian I menurut Filsafat Plato: Bagian Kepala, Bagian Dada, Bagian Perut Ke bawah). Tiga ruang yang merupakan dasar-dasar moral dalam jiwa manusia yang menentukan kualitas kesadaran diri (pemahaman diri/pengenalan diri/mencintai diri) dan kualitas perkataan serta perbuatan dalam keseluruhan dinamika hidupnyaĀ (Bernard Baru, 2012, hal. 10).
Model penerapan moral menurut aspek individu bisa dirasakan pada saat-saat ketika seseorang memasuki tahapan inisiasi pada fase pendidikan dan pelatihan keterampilan. Di beberapa bagian, para inisiande dilatih untuk memasuki dirinya sendiri (in warld looking) dari seluruh keseharian pengalamannya. Sejak itulah mereka memulai tahapan perubahan dalam praktek pendidikan dan pelatihan keterampilan. Di sini penerapan nilai-nilai yang diinternalisasi di dalam tiga ruang tadi terasa (out warld looking). Bukan berarti mereka tidak pernah salah lagi, melainkan mereka telah memiliki strategi untuk menerima kegagalan, dukacita, kemalangan, peristiwa naas dan memiliki daya juang (bangkit kembali) dari keterpurukan yang dialami, mirip dengan sikap nrimonya Jawa. Kepercayaan diri yang tinggi dapat membantu manusia menemukan potensi diri. Tentu percaya diri tidak sama dengan kepedean yang mendekati makna kata sombong atau ādrum kosong berbunyi nyaringā dan hanya modal berani saja. Tetapi kepercayaan terhadap diri sendiri adalah usaha membangun kemampuan untuk berfikir, menyatakan pendapat, rencana dari buah pikiran dan melakukan sesuatu secara nyata atau juga disebut dengan integritas diri (self integrity).
Maka itu, berbagai hal yang dialami, misalnya kemiskinan struktural, kekerasan aparat di Aifat Timur dan berbagai eksploitasi yang menghantam tatanan jiwa mereka akan disadari dengan suatu penerimaan dan akan diperjuangkan. Sebagaimana mereka mempraktekkan gaya kepemimpinan bobot yang dicapai dengan usaha sendiri, bukan diturunkan. Kemampuan individu adalah hal utama dalam tipe kepemimpinan yang bersifat achieved (dicari) itu. Mama Maria Baru mengisahkan satu cerita, bahwa ketika ia di Manokwari dan menerima kabar, ibunya sudah meninggal dua bulan sebelumnya di Tabamsere, ia pasrah, ia pun tak dapat melihat jazad dan mengikuti proses pemakaman. Setelah ke Tabamsere, ia baru dapat melihat makam ibunya. Ia tidak makan karena terlalu sedih, hanya meminum air selama tiga hari. Hal itu tidak membuatnya patah semangat, tetapi menerima keadaan (takdir) dan memacu keluarnya potensi-potensi diri untuk perjuangan hidupnyaĀ (Thoonen, 2005, hal. 122-124). Budaya bangkit dan melawan dapat disaksikan dalam berbagai cerita rakyat Karon, Mare dan Aifat, misalnya Saweteko dalam cerita rakyat dari Mare oleh Samuel Bless mengenai penderitaan, ketertindasan dan suatu perlawananĀ (Bless, 2003, hal. 15-28). Itulah kenyataan dari adanya pemahaman mereka tentang siapa mereka?, yaitu rae ati (manusia sejati).
Aspek Sosial
Konsep kesetaraan yang hakiki sebagai manusia di hadapan Allah oleh St. Agustinus adalah bagian dari keutamaan hidup yang perlu diinternalisasi dan menjadi orientasi dan ekspektasi hidup. menghargai sesama (orang lain) sebab orang lain adalah Imago Dei (gambar Allah) adalah hal prinsipil di dalam setiap tindakan moral manusia. pada aspek individu, setelah seseorang mengenali diri, ia dapat dengan mudah percaya kepada dirinya untuk melakukan sesuatu. Manusia juga perlu memahami sesamanya sebagai wujud imanensi akan heterogenitas ciptaan Tuhan dan kenyataan bahwa orang lain juga hidup di sebelah kita. Maka dengan melihat orang lain kita melihat Imago Dei (gambar Allah). Menghargai sesama dengan bersikap toleran, simpati, dan memberi diri (berdampak) kepada orang lain sama halnya mewujudkan amanat Allah dan prinsip hidup bermoral. Manusia juga dapat menemukan dirinya, mengetahui sifat, kelakuan, sikap dan dasar moral hidupnya dari orang lain. Orang bisa mengetahui bahwa dirinya sekikir (pelit) ketika melihat orang lain di sebelah kamar kosnya lebih banyak kedatangan tamu dan selalu saja diberi hadiah oleh teman atau kerabat yang datang. Sebab di situ tercipta hubungan timbal balik.
Tahapan memahami sesama diawali dengan adanya interaksi aktif dengan berbagai percakapan untuk mengenal identitas, tahap berikutnya adalah pengenalan diri dan karakter hidup dengan upaya saling berkunjung yang berujung pada timbulnya rasa saling percaya antar satu dengan yang lain, barulah pada tahap yang terakhir diwujudkan dengan kerja sama-sama dan menghasilkan sesuatu (nilai, norma, aturan dan benda-benda) yang memunculkan rasa senang dan membahagiakan. Disinilah agama muncul dengan gereja sebagai tempat bersekutu dan menjalin persatuan iman. Juga berbagai kebudayaan terbentuk dengan berbagai karakteristik moral individunya dalam tatanan nilai-nilai dan aturan tertentu yang diwujudkan dalam relasi dengan sesama.
Persamaan kedudukan sebagai manusia di dunia pada hakikatnya disadari dengan baik di dalam kebudayaan masyarakat Karon, Mare dan Aifat. Sebagian besar kebudayaannya yang memperlihatkan prinsip hidup egaliter dan persekutuan memperlihatkan adanya hubungan yang bersifat timbal balik (resiprokal). Terbiasa hidup di dalam kelompok-kelompok kecil di luas wilayah subur yang selalu digarap berpidah-pindah membuat terciptanya rasa saling menghormati untuk tidak mengganggu urusan orang lain kecuali diminta, misalnya membangun kebun bersama selalu diawali dengan adanya permintaan dari pihak pemilik lahan (hak atas tanah). Diluar dari itu kebun orang lain tidak pernah dilanggar apalagi dipanen tanpa memberitahu. Jika berkat panen berkelimpahan maka dengan sendirinya pemiliknya membaginya kepada kerabat atas inisiatif bukan atas dasar permintaan (kerabat minta dibagi). Disitulah ingatan orang yang diberikan hasil panennya selalu memerintahkan untuk membalas kembali apabila kebunya sudah dipanen atau keberuntungan menangkap babi di jerat. Persis dengan bomena habuah, sebuah cerita mengenai petualangan seorang pemuda mencari kain timur dengan membangun relasiĀ (Bless, 2003, pp. 73-82).
Bila diamati hampir senatero tanah Papua, kebudayaannya masyarakatnya disebut egaliter, individualistik, egois dan komunal. Itulah mengapa orang Amungme marah karena gunung Nemangkawi digali oleh PT.Freeport dengan melibatkan kekerasan sebagai alat penguasaan lahan, masyarakat di Tambaruw memprotes pembangunan pos TNI (Kodim) yang masuk tanpa adanya pertemuan dan kesepakatan dengan warga. Pater Imanuel B Air, OSA dalam skripsinya di STPMD āAPMDā Yogyakarta mengisahkan bahwa kehidupan di Aifat Utara memperlihatkan adanya komunikasi intens, toleransi, serta kerja sama yang kuat. Sebab budaya meramu: berkebun, membuat ladang, menokok sagu adalah pekerjaan kolektif, apalagi memindahkan rumah ke tempat (dusun) yang akan dibukakan kebunĀ baru, lading baru, areal pohon sagu yang akan ditokok butuh campur tangan banyak orang Ā (Imanuel Bofitkamon Air dalam Imanuel Bofitkamon Air, dkk, 2012). Sebab dahulu orang membawa rumahnya ke mana-mana termasuk perubahan identitasny. Bagaimana itu terjadi jika hubungan sosial rusak? (Bagian IV).
Aspek Institusional (Komunitas)
St. Agustinus menyadari betul bahwa Kristus tidak mendirikan gereja secara insitusional melainkan Kristus mendirikan gereja secara sakramental (pewahyuan). Sedangkan yang disebutnya sebagai institusi adalah organisasi kemanusiaan yang imanen, langsung terlihat dan terasakan dampaknya secara empiris. Salah satu wujud nyata komunitas adalah institusi keagamaan sekarang ini dan berbagai komunitas lain yang dibentuk dan dihidupi oleh manusia sendiri. Tetapi komunitas yang mengandung moralitas di sini adalah segenap instrumen yang membantu manusia melalui tahapan pembelajaran dan pelatihan hidup bermoral. Salah satu yang penting adalah sekolah (pendidikan). Di ranah itu setiap manusia bukan hanya sekedar melalui tahapan pendidikan dan pelatihan melainkan mendapatkan dokrin-doktrin moral yang membentuk sikap hidup.
Baca juga: Bagian IĀ Manusia Melahirkan Manusia, Tetapi Kawuon Dan Akasikos Yang Melahirkan Manusia Sejati (Rae Ati)
Dalam hidup berkomunitas pada kebudayaannya masyarakat Karon, Mare dan Aifat juga menjaga kelompoknya. Hal pertama yang erat adalah perkawinan antara tiga suku ini pada masa lampau dan masa ketika datangnya Misionaris Katolik. Pola-pola ini juga dibangun melalui kelembagaan adat yang dikelola secara baik demi mengurus persoalan-persoalan adat, berupa pelanggaran adat dan berbagai kejahatan yang membutuhkan kehadiran komunitas. Mereka juga menjaga komunitas sakramental (gereja) yang sudah sedikit sinkretik sejak masuknya para Misionaris Katolik di daerah itu pada 16 Maret 1949 silam. Tujuan berkomunitas adalah menjaga keseimbangan hidup dan ekosistem di sekitarnya. Kesadaran tentang keterbatasan sumber daya alam mulai membentuk suatu pola menjaga stabilitas populasi di daerah itu. Tak segan-segan orang dibunuh karena bersalah sesuai dengan ketentuan hukum atas pelanggaran itu. Sebagian juga mendapat kutuk (sanksi adat-keramat) sehingga mati dengan perlahan-lahan. Yang lain dalam perkembangan kapitalisme primitif pada kain timur, mereka dijual ke daerah lain.Ā Aturan ituĀ dibakukan oleh mereka sendiri dan terhadap aturan ituĀ mereka patuh. Setelah masuknya Injil, cinta kasih (amora et caritas) menaungi segala sisi kemanusiaan yang menandai perubahan dalam penerapan nilai-nilai adat-istiadat tertentu seperti ini. Namun komunitas masih terus mendapat tempat dalam khasanah budaya Karon, Mare dan Aifat. Inilah wujud keutuhaan masyarakat yang asalnya dari kebiasaan tinggal āsatu atapā. Satu rumah dihuni hingga lima kepala keluarga. Bisa dibayangkan berapa jumlah jiwa di satu rumah, dan seperti apa kehidupannya?Ā (Imanuel Bofitkamon Air dalam Imanuel Bofitkamon Air, dkk, 2012, p. 124).
Saat di Asrama St. Agustinus Sorong, adanya setiap aturan pertanda adanya sebagian kepatuhan yang dituntut dari anak-anak asrama. Mulai bangun tidur di subuh dini hari hingga tidur di malam hari, kita menjalani aturan hidup berkomunitas. Selain itu saling menjaga kemurnian dengan berusaha saling mengingatkan akan hal-hal baik dan melarang tindakan melanggar aturan. Selain itu saling berbagi segala hal yang bisa dibagi (kecuali yang tidak dapat dibagi). Ketaatan, kemurnian, dan kemiskinan adalah tiga prinsip utama dalam doktrin moral St. Agustinus yang menjadi bagian dari kaul kekal calon imam yang akan (dan telah) ditahbiskan dalam Gereja Katolik. Ketiga hal itu seyogyanyaĀ sudah menjadi dasar utama di dalam hidup berkomunitas.
Sayang perubahan arah perkembangan kemajuan di dalam pembangunan pada masa sekarang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip hidup berkomunitas yang semakin menumbuhkan sikap egaliter, egoisme, dan sentimen yang keras (dibahas di Bagian IV) ke arah sebaliknya, negatif. Salah satu komunitas yang masih bisa mengamankan prinsip hidup St. Agustinus adalah pendidikan dan Gereja Katolik. Meski keterikatan emosional dan sakramental dari masyarakat Karon, Mare dan Aifat dengan Gereja Katolik mulai menurun saat ini. Masyarakat Karon, Mare dan Aifat masih mengandalkan sekolah-sekolah milik Yayasan Ordo Santo Agustinus dan sekolah Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik lainnya di Tanah Papua (secara khusus di Kepala Burung Papua, Manokwari-Sorong) sebagai wadah orientasi budaya dan ekspektasi hidup berdasarkan doktrin kebudayaan yang sejalan dengan prinsip moral St. Agustinus.
Penutup
Pemikirannya berkembang dan menguasai gereja sampai abad 13. Termasuk hingga membentuk Ordo Santo Agustinus yang bertugas di Tanah Papua sejak 1950an. Penerapan norma moral St. Agustinus berkembang sejak saat itu sampai sekarang. Beberapa tokoh di antaranya adalah pater Arnoldus Nejsen,OSA, pater Frans Jonkergouw,OSA, pater Anton Pascalis Maria Tromp,OSA, pater Jan Frank,OSA, pater Hans Hulsof,OSA, Mgr. Petrus van Diepen,OSA dan beberapa putra asli Karon, Mare, Aifat seperti Dkn. Thomas Hae, pater Bernard Bofitwos Baru,OSA, pater Paulus Titit,OSA (alm), pater Alowisius Teniwut,OSA, dan beberapa pastor muda seperti Atan Bame,OSA (bukan nama lengkap), Philipus Sedik, OSA, dan Imanuel Bofitkamon Air,OSA. Buah prinsip hidup bermoral menurut ajaran St. Agustinus menembus batas kebudayaan bahkan memperoleh derajat yang lebih berhasil karena diajarkan dengan prinsip ketaatan pada ajaran moral Agustinus sendiri, kemurnian di dalam menjalin hubungan dengan tidak melihat kebudayaan Karon, Mare dan Aifat sebagai kebudayaan primitif yang perlu dihapuskan melainkan dipadukan, dan kemiskinan yang mendorong kelompok masyarakat ini untuk menekan kehendaknya pada kekayaan melainkan menghidupi nilai-nilai keadilan, pemerataan, dan hubungan timbal bali dari berbagi. Sebagaimana praktek itu di dalam budaya kain timur dan mengantarkan hasil panen ke sekolah-sekolah kepada para guru dan pastor, seperti di Senopi, Ayawasi, Ayata, Ayapokiar, Feef dan lainnya.
Daftar Rujukan Literatur
Bernard Baru, O. (2012, April 25). Moralitas kaum muda dan nilai-nilai budaya masyarakat Karon, Mare dan Aifat di masa kini. Moralitas kaum muda dan nilai-nilai budaya masyarakat Karon, Mare dan Aifat di masa kini, pp. 1-31.
Bless, S. (2003). Tiada damai bagimu: kumpulan cerita rakyat tentang kekuasaan, penindasan dan perlawanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Magnis-Suseno, F. (1997). 13 tokoh etika sejak zaman Yunani sampai abad 19. Yogyakarta: Kanisius.
Russel, B. (2007). Sejarah filsafat Barat: kaitannya dengan kondisi sosio-politik zaman kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Thoonen, L. (2005). The door to heaven. The Nederland: Radboud University Press, Nijmegen.