DIPTAPAPUA.com – Menanggapi warga negara Indonesia eksodus Timor Timur kini Timor Leste yang selama 21 tahun tak mendapatkan perhatian dari negara. Hingga saat ini warga eks Timor Timur (Tim Tim) hidup dalam ketidak pastian status hukum atas tanah, hak hidup dan hak berekspresi sebagai warga negara Indonesia. Puluhan mahasiswa kota Malang yang tergabung dalam Aliansi Perjuangan Demokrasi (API) pada Jumat (18/12/2020) melakukan aksi di depan gedung DPRD Kota Malang, menuntut pemerintah Indonesia bertanggung jawab atas nasib mereka (eks Tim Tim).
Sejak tahun 1999 dilakukan referendum di Tomor Leste, sebanyak 80% warga Timor Leste memilih merdeka (berpisah dengan Indonesia), sedangkan 20% memilih tetap bersama Indonesia. Tahun 1999 hingga 2002 status WNI eks Timor Leste adalah pengungsi, sehingga masih diperhatikan oleh organisasi dunia Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bagian pengungsian (UNHCR). Namun, pada 22 Desember 2002 status pengungsian dicabut, sehingga mereka tak lagi mendapatkan bantuan dari PBB. Langkah serupa juga dilakukan pemerintah Indonesia pada tahun 2005.
Sejak 1999 menetap di kamp pengungsian, hingga saat ini kamp pengungsian tersebut tetap menjadi tempat tinggal warga Indonesia eks Timor Leste, meski statusnya sebagai pengungsi telah dicabut. Status tanah yang ditempati pun simpang siur (tak memiliki kepastian hukum atas hak tanah), tempat tinggal mereka terbuat dari daun beralaskan tikar. 21 tahun menghadapi kondisi tersebut, tak kunjung mendapatkan perhatian dari Pemerintah Indonesia atas nasib mereka. Bahkan pada peringati hari HAM Internasional (10/12/2020), beberapa warga eks Timor Leste ini, mendapatkan tindakan represif dari aparat keamanan Indonesia. Beberapa orang di antaranya mengalami cedera, dan lainnya luka-luka.
“Kondisi yang sekarang dialami warga negara Indonesia eks Timor Timur, merupakan bukti kegagalan negara dalam menjalankan hak asasi manusia (HAM),” tegas salah seorang demonstran dalam orasinya.
“Eks WNI Tim Tim, kami juga Indonesia,” salah satu tulisan yang tertera pada poster aksi.
Aksi yang dimulai pada pukul 09.00 WIB tersebut, dihiasi dengan orasi, teatrikal serta berbagai tuntutan yang disampaikan melalui poster-poster. Meskipun massa diguyur hujan, namun mahasiswa tetap melakukan aksi hingga berakhir pada pukul 11.30 WIB.
Massa aksi juga menyerukan berbagai persoalan lainnya seperti perampasan tanah adat di Besipae NTT, Jurasic Park, pulau komodo hingga persoalan HAM di tanah Papua. Beberapa tulisan pada poster yang menunjukan mosi tidak percaya pada Pemimpin Provinsi NTT. “Menolak Pemimpin Fasis, Viktor Laiskodat, #SaveNTT,” bunyi kalimat di poster.
“Mengecam keras pemerintah Provinsi NTT yang menerima investor asing maupun dalam negeri masuk ke Sumba, NTT,” poster lainnya. “NTT darurat demokrasi”.