DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua-
Oleh: M.Villex kogoya – (Anggota aktif AMP KK Jember)**
“Jauh sebelum adanya negara Indonesia yang kita kenal sejak 1945 atau berumur 76 tahun itu, Rakyat Papua sudah ada sejak ribuan tahun atau rakyat Papua sudah ada sesuai dengan perjanjian Allah di atas tanah Papua dari Sorong-Merauke”
Kasus Kekerasan Negara Terhadap Aktivis Kemanusiaan
Hari ini sistem Negara Republik Indonesia telah kehilangan akal sehat terhadap rakyatnya sendiri, hal ini dapat kita lihat melalui kasus-kasus kekerasan luar biasa yang dilakukan oleh aparat negara, seperti pembunuhan terhadap beberapa aktivitas Hak Asasi Manusia (HAM),Pembunuhan Marsinah (1993), Pembunuhan Munir Said Thalib (2004), Pembunuhan Widji Tukul (1988) dan beberapa kasus lainnya.
Kriminalisasi, terror terhadap aktivis kemanusian terus berlanjut dan selalu mengantui diri mereka dalam perjuangan membela kaum tertindas. Salah satunya dapat kami saksikan adalah seorang penjabat negara Luhut Binsar Pandjaitan melaporkan diri ke Polda Metro Jaya pada 24 September 2021, hanya karena kritikan dan terbongkarnya data rasia investasi seperti PT.ANTAM, rencana investasi PT. Blok Wabu di Intan Jaya Papua oleh aktivis HAM Lokataru Haris Azhar dan Aktivis KontraS Fatia Maulidiyanti terkait unggahan video Ada Jenderal di Blok Tambang Emas Papua di akun youtube pribadi Hariz Azhar 20 Agustus 2021 yang lalu.
Hal yang sama pula juga dialami oleh beberapa aktivitas, Veronica Koman seorang pengacara, dan pegiat Hak Asasi Manusia asal Indonesia yang dikenal akan advokasinya untuk isu-isu pelanggaran HAM di Papua. Ia mendapatkan kriminalisasi dan rencana penangkapan digencarkan karena faktor peristiwa Rasisme pada 15-18 Agustus 2019 lalu. Yang saat itu dilami oleh Mahasiswa Papua di Surabaya, bahkan akibat peristiwa ini hampir sebagian mahasiswa pulang ke Papua dan menyebabkan demonstrasi skala besar di West Papua dan di luar negeri sebagai bentuk protes. Rentetan kasus rasisme tidak hanya berhenti di Surabaya, akan tetapi kemudian Victor Yeimo yang saat itu (2019) orasi di kantor Gubenur Papua depan ribuan massa atas bentuk protes rasisme yang telah lama dialami bangsa West Papua dalam cengkraman Kolonialisme Indonesia, Kapitalisme, Militerisme dan Imperialisme Amerika. Victor Yeimo kemudia dijerat dengan KUHP berlapis hingga saat ini Victor f. Yeimo masih dalam proses tahanan di West Papua.
Ulasan peristiwa tadi sebagai contoh yang beberapa kasus dari sekian banyak kasus yang terjadi. Akan tetapi masih banyak kompleksitas peristiwa lain yang sudah dialami dan sedang dialami bahkan mungkin akan dialami oleh rakyat Indonesia dan rakyat Bangsa Papua selama bertahun-tahun.Yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa dan apa yang menyebabkan beberapa aktivis kemanusian itu dapat dibunuh, dikriminalisasi, diteror bahkan juga penangkapan ?. Padahal mereka bicara sangat objektif, rasional dan valid atau kata lain mereka berjuang berdasarkan kebenaran keadilan. Hasil kesimpulan adalah NKRI harga mati sedang menghisap dan membunuh manusia dan hari ini bukan negara Demokrasi, Hak Asasi Manusia, tapi sistem NKRI hari ini adalah sifat NKRI yang fasis otoristik, militeristik, sistem NKRI tidak lagi mempedulikan manusia, tapi NKRI atau pemerintah Jakarta hari ini hanya menyelenggarakan investasi korporasi, oleh elit-elit kelas oligarki, demi memperkuat investasi atau investor pemerintah Kolonialisme mengeluarkan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) telah disahkan dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 November 2020 dan menjadi UU No 11 Tahun 2020 ini hadir sebagai strategi mereformasi regulasi yang akan dapat meningkatkan iklim investasi, di tengah rakyat Indonesia menolak UU no.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja itu.
Indonesia dengan rakyatnya sendiri seperti palau Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan saja mendapatkan pembunuhan, penindasan dan pengisapan seperti Desa Wadas (penambangan), Pakel Banyuwangi (perkebunan PT. Bumi Sari) dan lain sebagainya terhadap rakyat Indonesia secara keseluruhan. Apalagi dengan bangsa West Papua yang beda, Papua versus Indonesia dengan landasan sejarah kemerdekaan, budaya dll. Tentu Indonesia sebagai kolonialisme, maka ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengeksploitasi sumber daya alam, menduduki tanah jajahan (imigrasi), melancarkan operasi militer seperti di Kabupaten Nduga, Intan Jaya, Yahukimo, Puncak Papua, Maybrat dll untuk mengkondisikan rencana atau desain negara untuk melancarkan berbagai agenda kolonial di Tanah Air Bangsa Papua.
UU Otonomi Khsusus Selama 20 Tahun di Papua
Seperti dikutip dari buku Dr. Socratez Sofyan Yoman yang judulnya Jejak Kekerasan Negara dan Militerisme di Papua (2021) bahwa Negara Kolonialisme Firaum Indonesia telah gagal membangun bangsa West Papua dari UU no.21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) selama 20 Tahun. Justru UU Otsus telah melahirkan marjinalisasi besar-besaran, tanah adat orang Papua dikuasi oleh orang pedatang, kekayaan alam Papua dirusak oleh kapitalisme global, organisasi pemerintah dikuasi oleh non Orang Asli Papua (OAP), terjadi genosida, pelanggaran HAM terus bertambah tanpa penyelesaian satu kasus HAM di Papua oleh pemerintah Indonesia. Negara gagal membangun Papua dari aspek Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Budaya yang sebenarnya Realisasi UU Otsus yang katanya berpihak kepada orang Papua untuk membangun, mengurus dan mengatur tentang proteksi, keberpihakan.
Walaupun rakyat Papua yang tergabung dalam beberapa organisasi perjuangan mengkonsolidasikan diri dan membentuk satu organisasi badan persatuan sebagai representasi organ perjuangan yaitu Petisi Rakyat Papua (PRP) 120 organisasi dan ditandatangani Petisi Rakyat Papua kurang lebih 700 ribu suara sebagai bentuk penolakan produk jahat UU Otsus dan rakyat Papua meminta Indonesia segera gelar Referendum atau Memberikan Hak Menentukan Nasib Sendiri (HMNS) bagi bangsa West Papua sebagai solusi yang paling demokratis.
Di tengah kegagalan negara dan sikap penolakan rakyat Papua terhadap UU Otsus selama 20 tahun itu, justru pemerintah kolonialime Indonesia lagi-lagi ambisius melanjutkan dan merevisi UU no.2 Tahun 2021 tentang Otsus jilid II secara sepihak untuk berlaku selama 20 tahun ke depannya, pada 15 Juli 2021 yang digagas oleh sekolompok Pansus seperti Yan Permenas Mandenas, Lenis Kogoya, Penjabat Elite Lokal dari Papua dan diperkuat oleh Tito Karnavian, Mahfud Md di Jakarta, mereka bersengkokol untuk membunuh rakyat Papua lebih banyak lagi.
Dengan melihat situasi dan kondisi Papua yang semakin punah akibat kekerasan kolonialisme Indonesia melalui aparat militerisme dan investasi kapitalisasi di tanah Papua yang masif setelah UU Cipta Kerja disahkan, secara otomatis akses dan kelancaran investasi akan lebih banyak di Papua dan negara Indonesia yang dibeck-up negara -negara Imperealisme Eropa dan Amerika, maka kondisi Papua akan semakin memburuk setelah kedudukan kolonialisme Indonesia berhasil mengambil beberapa hati orang Papua melalui hasil-hasil produk (uang), pembangunan dan iming-iming upaya politik lain.
Pembungkaman Ruang Demokrasi dan
UU Kebebasan Berekspresi
Sejak Indonesia Merdeka di tahun 1945, melalui Konstitusi menegaskan kebebasan berekspresi dalam Pasal 28, dan kini dipertegas dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), yang menyatakan “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan menyampaikan aspirasi”. Namun implementasi UU kebebasan berekspresi ini tidak digunakan untuk kepentingan rakyat, namun justru negara sendiri yang membungkam ruang demokrasi.
Indonesia membungkam ruang demokrasi yang terus terjadi, bahkan negara sengaja membuat tim Pasukan Digital – Buzzer & Influencer untuk membuat HOAX demi kepentingan negara, kapitalisme dan imperialisme Amerika. Dengan demikian rakyat kelas bawah seperti kaum miskin kota, nelayan, tani, buruh dll akan semakin dirugikan bahkan akan dieksploitasi aset hidupnya oleh kehadiran negara.
Korelasi Sejarah Bangsa West Papua dan Daerah Operasi Ber-militer (DOB) Papua
Bahkan rakyat Papua dan Tanah Papua bukan bagian dari Indonesia. Hal ini kita melihat data kebenaran sejarah seperti yang diklaim oleh Suekarno bahwa wilayah Papua adalah bekas Hindia Belanda, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Tidore dan beberapa klaim palsu adalah upaya untuk eksploitasi sumber daya alam Papua. karena Amerika bekerja sama dengan Indonesia hanya sebagai jembatan untuk eksploitasi sumber daya alam. Bukti kuat ini kita lihat sebelumnya penentuan pendapat rakyat (PEPERA 1969) perusahaan raksasa Tambang Emas PT. Freeport Indonesia sudah ditandatangani pada 7 April 1967 oleh rezim Soeharto setelah dilengserkan Presiden Soekarno, bahkan sebelum Papua dianeksasi oleh Kolonialisme Indonesia tepatnya pada 1 Mei 1963, secara politik Bangsa Papua sudah merdeka secara de facto dan de jure tepatnya 1 Desember 196. Akan tetapi kemerdekaan itu hanya berlangsung 18 hari, karena 19 Desember 1961 kolonialisme Indonesia melakukan operasi militer dengan nama Tri Komando Rakyat (TRIKORA) pada berbagai tempat di Papua.
Dengan demikian, Indonesia mengkoloni wilayah Papua bukan untuk membangun, menyejahterakan rakyat Papua, namun negara Indonesia hadir di Papua hanya demi kepentingan ekonomi atau sumber daya alam.
Rakyat West Papua selalu mendapatkan rasisme, diskriminasi, intimidasi dll, dari struktur negara terhadap rakyat Papua, karena kolonialisme dalam realisasi selalu sebagai superior terhadap kaum tertindas atau rakyat terjajah [orang papua]. Selalu direndahkan martabatnya, misal orang Papua dilarang mengenakan koteka, orang Papua dilarang menggunakan bahasa daerah dan orang Papua dipaksa untuk menerima UU Otsus berjilid-jilid, produk pembangunan nasional dan hari ini orang Papua dipaksa untuk menerima pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua.
Perjanjian atau keputusan sepihak sudah menjadi budaya kolonialisme dunia. Dewasa ini, kita melihat kebijakan negara Indonesia terhadap rakyat Papua yaitu perjanjian sepihak seperti the Roma Agreement (30 Sepetember 1962), the New York Agreement (15 Agustus 1962), sebelum Pepera 1969, militer Indonesia sudah menduduki Papua pada 1 Mei 1963 dan 7 April 1967 penandatanganan PT.Freeport Mcmoran di West Papua.
Budaya negara Indonesia yang otoriter, fasis dan sangat militeristik ini dipakai untuk menjajah Papua selama bertahun-tahun, semua keputusan sepihak dilakukan oleh Jakarta oleh elit borjuasi dan oligarki dan di-beck-up sepenuhnya oleh Kapitalis Nasional dan Imperialis Global serta pemerintah Indonesia mengesahkan UU Otsus berjilid-jilid dan terakhir hari ini menjadi kontroversial Daerah Otonom Baru (DOB) di Papua sesuai hasil laporan Badan Intelijen Negara untuk memetakan, memusnahkan serta mengeksplorasi Sumber Daya Alam Papua.
Walaupun 100% rakyat Papua menolak adanya RUU DOB PAPUA, lagi-lagi ambisius dan egois kolonialisme Indonesia yang keras kepala untuk mau melakukan atau mengesahkan UU DOB PAPUA.
Dari hasil kutipan sedikit ini, memberikan kita pemahaman tentang Papua bahwa kehadiran serta rencana-rencana yang dibuat oleh Pace tua Presiden Joko Widodo, Tito Karnavian, Luhut Binsar Pandjaitan, Mahfud MD adalah demi kepentingan ekonomi dan politik di Papua.
Oleh karena itu, solusi keselamatan untuk bangsa West Papua adalah kita harus Tolak Daerah Operasi militer Baru (DOB) dan Cabut UU No. 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua dan Rakyat Papua menuntut Hak Menentukan Nasib sendiri bagi Bangsa West Papua sebagai solusi demokratis melalui Referendum.
#hiduprakyatpapua
#panjangumurperjuangan
#tolakdobpapua
#papuamerdeka