Penulis: Maxi Syufi
Noken atau tas rajutan orang asli Papua merupakan sebuah kantong yang terbuat dari serat kulit kayu dan kini sering juga menggunakan benang sebagai bahan dasarnya.
Mendengar kata Noken, tentu tidak terlepas dari nama Mama Papua. Karena Noken bagi orang Papua, diidentifikasikan dengan sosok Mama (Ibu). Noken pada awalnya hanya digunakan oleh seorang Mama untuk mengisi hasil kebun (Pisang, keladi, singkong, petatas dan yang lainnya). Sering juga digunakan oleh kaum laki-laki saat berburu di hutan.
Noken kemudian mendunia saat UNESCO mengakuinya sebagai warisan budaya dunia pada 4 Desember 2012. Noken tidak lagi hanya milik Mama di Papua atau tidak hanya digunakan oleh kaum laki-laki saat berburu, namun Noken kemudian menjadi milik dunia dan siapa pun akan menggunakan noken sesuai kebutuhannya atau sebagai benda untuk mengekspresikan dirinya.
Kini jika kita lihat, Noken justru menjadi sebuah tren di kalangan anak muda (millenial). Mereka jadikan Noken sebagai sebuah benda yang menambah nilai estetika pada diri. Noken tidak lagi dipandang sebagai seorang Mama yang pergi ke kebun tetapi kini Noken menjadi milik semua orang.
Pada gambaran singkat di atas mengenai Noken, membahas fungsi serta apa itu Noken di mata masyarakat dulu dan sekarang. Pada kesempatan ini, saya ingin kita semua dapat mengetahui bahwa ada wujud Cinta dari seorang Mama melalui Noken tersebut.
Pada saat Mama di Papua hanya menggunakan Noken sebagai sebuah tempat untuk mengisi hasil kebun atau para laki-laki mengisi hasil buruan, ternyata Noken juga digunakan sebagai tempat Mama menaruh anaknya. Noken yang sebenarnya digunakan untuk mengisi hasil Kebun, Mama menggunakannya juga untuk menaruh anaknya yang masih kecil. Apakah anaknya akan menangis karena ditaruh di Noken ? tentu tidak, karena itu kenyamanan dan cinta yang diwujudkan oleh seorang Mama.
Saya pernah melalui momen itu. Ketika saya menangis karena tidak mau berjalan, Mama saya mengangkat saya lalu menaruh saya di Noken, saya duduk di atas hasil kebun yang tadinya sudah terisi di dalam Noken tersebut. Apakah itu berat ? sangat, sangat berat! Namun bukan itu soalnya, yang Mama inginkan ialah anaknya tidak lagi menangis. Itu lah mengapa, saya sebutkan bahwa Cinta Mama juga diwujudkan melalui Noken.
Pada beberapa pekan lalu seorang pemuda bernama Srii, berkunjung ke salah seorang Mama yang usianya sudah ‘senja’. Dia adalah Mama Maria Asem, yang kini berdomisili di Manokwari, Provinsi Papua Barat. Saat ditemui, Mama Maria duduk sambil tangannya bergerak merajut Noken. Ketika bertemu, percakapan mereka pun tercipta.
Srii: Nene..
Nene: Ko siapa ?
Srii: Saya oo Srii, Frits pu adik
Nene: Frits oo pergi ke kampung
Srii: Iya Nene saya sudah tahu, tapi saya datang untuk ketemu Nene karena orang-orang pergi kasih tinggal nene sendiri di sini
Nene: Eee Tanoo iii (Berbicara dalam bahasa daerah) Nene sendiri, Janet ada pergi beli obat di Apotek
Srii: Nene natiet taa ee? (Nene merajut Noken? /bahasa daerah)
Nene: Eee tatiet ta mbat karung mayas (Iyaa, saya anyam Noken dengan bahan dasar karung)
Srii: Nene, Noken ini kuat ka tidak kalau kita isi barang yang berat ?
Nene: Ooo kuat dan saya sudah buat barang ini di Jayapura waktu saya masih muda
Srii: Wah Nene masih muda ini saya belum ada
Nene: Hehehee nuoo yoo narak ree (Heheh kamu belum lahir/ bahasa daerah)
Srii: Nene saya bisa foto nene sambil pegang noken itu kh?
Nene: Eee foto iii nggamon eee (Silahkan foto, biar jadi kenangan).
Setelah percakapan itu, Mama Maria lanjut merajut Noken. Itu lah bukti bahwa Noken itu menjadi sebuah bentuk dari cinta yang melekat bagi kehidupan orang Papua. (**)
Trima kasih utk Foto sa pu Mama Tua