Otsus, DOB hingga KTT G20: Satu Paket Kepentingan Penguasa di Papua

DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –

Oleh: R. Wonda)

Mayoritas masyarakat Papua yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua (PRP) dengan jumlah suara yang mencapai 718.179 telah menolak UU Otonomi khusus dan DOB.  Penolakan itu dilakukan dengan kesadaran Rakyat atas apa yang telah dirasakan  selama otonomi khusus pertama yang diberikan pada 2001 yang pada kenyataannya memberikan dampak buruk bagi masyarakat kelas bawah di Papua.

Seperti politik pemekaran atau Devide et Impera di Papua yang sudah terjadi sejak lama, sesudah Papua diintegrasikan secara paksa ke Indonesia di bawah moncong senjata. Sesudah dilakukan pemekaran, transmigrasi besar-besaran ke Papua dilakukan. Orang-orang dari pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan lain-lain didatangkan ke Papua. Dari situlah rakyat Papua mulai sadar dengan proses kolonisasi/penjajahan struktural dan kultural oleh pemerintah Indonesia.

Rakyat Papua yang hari ini bermukim di daerah pesisir pantai seperti Nabire, Jayapura, Manokwari, Fak-Fak, Kaimana, Sorong, Biak serta beberapa daerah pesisir lainnya, tersingkir dari tanah mereka sendiri. Beberapa daerah yang baru dimekarkan, pemerintah lalu menempatkan pos-pos atau kamp-kamp untuk tempat tinggal mereka. Di Nabire dan Mimika, terdapat satu sampai empat tempat bernama Satuan Pemukiman (SP). Daerah itu dihuni oleh mayoritas masyarakat dari Jawa. Tempat itulah awal di mana mereka melakukan usaha kecil dan menengah dan jangka panjang seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lain-lain.

Posisi orang Papua saat itu yang hidupnya masih tradisional, dikagetkan oleh arus kapital yang sangat besar dan kemudian tersingkir secara ekonomi, politik, budaya, adat istiadat. Pusat-pusat ekonomi dikuasai oleh para pendatang yang bekerjasama langsung dengan pemerintah. Begitu pemekaran dilakukan, orang Papua yang pada masa kehidupannya selalu mengedepankan pembagian tanah-tanah adat didasarkan oleh marga-marga atau klan yang ada, lantas menjadi terpecah-belah.

Fragmentasi sosial orang Papua ini menimbulkan banyak sekali konflik horizontal yang terjadi sampai saat ini. Terutama di daerah-daerah Pegunungan Papua; Kabupaten Dogiyai, Puncak Jaya, Nduga, Intan Jaya dan Jayawijaya. Beberapa daerah di atas yang biasa terjadi konflik dan peperangan hingga mengakibatkan korban puluhan sampai ratusan jiwa. Ada banyak konflik yang bermula dari Pilkada-pilkada, berawal dari pemekaran daerah-daerah tersebut.

I Ngurah Suryawan, dalam “Politik Pemekaran Daerah dan Siasat Elit Lokal di Papua”, menjelaskan bahwa konflik-konflik yang terjadi di daerah-daerah pemekaran di Papua disebabkan oleh  perebutan sumber daya alam, akses dan kekuasaan politik lokal, serta ketegangan antara berbagai etnis dan agama di tanah Papua.

Kondisi Papua ini terus terjadi hingga hadirnya otonomi khusus jilid pertama yang dianggap sebagai solusi atas persoalan Papua sejak NKRI menguasai wilayah Papua melalui aneksasi. Tapi ternyata, kehadiran Otsus ini justru memperparah kondisi yang terus berlanjut sepanjang pemberlakuannya selama 20 tahun, yang pada masa itu semakin meningkatnya marginalisasi, perampasan tanah, diskriminasi, hingga pembunuhan yang disebabkan oleh militer Indonesia.

Ditambah dengan berbagai macam operasi militer di beberapa daerah, akibatnya melahirkan gelombang pengungsian besar-besaran yang hingga saat ini tidak ada jaminan keselamatan bagi mereka. Juga termasuk persoalan Rasisme yang telah banyak makan korban pada 2019 lalu, tapi sampai saat ini belum ada penyelesaian yang jelas, terbuka, dan adil terhadap pelaku rasis dalam hal ini institut TNI, POLRI, POL-PP dan ORMAS reaksioner yang ada di Surabaya.

Dengan berbagai macam porsoalan yang sudah seharusnya diprioritaskan oleh negara juga internasional ini, malah diabaikan dan tidak ada sedikitpun upaya pemerintah untuk selesaikan masalah yang kian hari makin meningkat di Papua. Tetapi pemerintah Indonesia justru memaksa menerapkan UU Otsus Jilid kedua untuk Papua.

Pasca pengesahan UU otonomi khusus jilid II yang tercantum dalam UU No.2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia mengundang 9 Bupati yang berasal dari wilayah Pegununungan Tengah Papua. Pertemuan yang diagendakan pada Jumat 14 Maret 2022 itu, mengagendakan persiapan pemekaran Provinsi di Wilayah Papua khususnya di wilayah Pegunungan Tengah. Pembahasan tersebut didasarkan pada pasal 76 UU Ayat 3, No. 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

Tuntutan pemekaran provinsi, sebelumnya disampaikan oleh beberapa elit politik di Papua dengan landasan: 1) SK Gubernur Papua Barat No. 125/72/3/2020 tentang pemekaran Provinsi Papua Barat Daya. 2) Deklarasi 4 Bupati (Merauke, Asmat, Mappi dan Boven Digoel). 3) Deklarasi di Timika pada tanggal 4 Februari 2021 meliputi Kab. Timika, Paniai, Dogiyai, Deiyai, Nabire dan Puncak Papua. 4) Permintaan ketua Asosiasi Bupati Pegunungan Tengah Papua, Befa Yigibalom kepada Presiden Jokowi di Jakarta.

Keputusan sepihak Menterian Dalam Negeri bersama elit-elit politik praktis di Papua menimbulkan protes masyarakat Papua, kemudian melakukan aksi demonstrasi damai sejak Maret hingga Mei 2022. 26 wilayah menyatakan untuk menolak Pemekaran Wilayah dan Otonomi Khusus, yaitu: Jayapura, Wamena, Lanny Jaya, Nabire, Dogiyai, Paniai, Timika, Fak-fak, Kaimana, Sorong, Manokwari, Yahukimo, Biak, Serui, Merauke, Makassar, Maluku, Manado, Bali, Mataram, Surabaya, Malang, Jember, Yogyakarta, Semarang, Jakarta, dan Bandung. Beberapa wilayah mengalami represif  dan intimidasi oleh TNI/POLRI dalam melakukan aksi demonstrasi damai. Hal ini menunjukan penjajahan Indonesia yang masif terhadap Orang Papua dengan watak militer.

Semua alasan pemekaran di Papua mengajukan isu kesejahteraan dan swakelola itu bukan hal yang spesifik bagi Papua. Namun di balik semua itu, ada kepenting penguasa (kapitalis) dengan rancangan eksploitasi habis-habisan bumi Papua. Hal ini tidak terlepas dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali pada (15 hingga 16 November 2022) mendatang.

KTT G20 di Bali: Apa Dampaknya ?

Sebelum kita melihat dampak dan untung rugi bagi rakyat Papua dengan adanya KTT G20 di Bali, terlebih dahulu kita melihat dinamika politik dan ekonomi global serta dinamika politik dunia. Pertemuan G20 dilakukan saat dunia krisis pangan dan energi yang membuat inflasi ekonomi sangat tinggi dan juga berdampak dari operasi militer Rusia ke Ukraina dan memberikan kebebasan untuk 4 wilayah perbatasan melalui referendum atau pemungutan suara. Hasilnya 4 provinsi tersebut memilih pisah dengan Ukraina dan berintegrasi dengan Federasi Rusia sekalipun negara-negara tidak mengakuinya, sama seperti tahun 2014 di Krimea.

Amerika Serikat menginisiasi untuk memberikan sanksi keras kepada Rusia melalui embargo ekonomi dari Uni Eropa terhadap Rusia. Amerika Serikat juga melakukan provokasi terhadap Cina, salah satu negara yang memiliki hubungan spesial dengan Rusia. Amerika mengirimkan Ketua DPR Amerika Serikat ke Taiwan yang ingin memisahkan diri dari China.

Pada  sidang tahunan PBB yang ke-77 berlangsung di New York, Presiden Amerika Serikat, Joe Biden menginisiasi mendorong KTT Amerika Serikat dan pemimpin Pasifik dideklarasikan di gedung putih. KTT Amerika Serikat dan pemimpin Pasifik ini menghadiri 14 negara Pasifik dari Melanesia, Polinesia, dan Mikronesia. KTT ini merupakan upaya Amerika mendekati negara-negara kepulauan Pasifik karena khawatir dengan geliat Cina di kawasan Asia Pasifik. Hal ini jelas menghalau Cina dan Rusia di Pasifik. Ini sangat terlihat jelas dari pernyataan Presiden Amerika dimana Joe Biden mengatakan keamanan Amerika Serikat terletak di Pasifik.

Saat Rusia memutuskan pemasok energi ke Uni Eropa, negara pemasok energi dan minyak terbesar di dunia yang tergabung dalam APEC mengadakan KTT dan memutuskan bahwa produksi minyak mentah akan mengurangi produksinya. Kemudian Rusia memperkuat hubungan diplomatik dengan Indonesia dalam bidang pengelolaan energi, gas, dan minyak bumi di Indonesia. Hal ini sangat jelas bahwa pengelolaan energi, gas dan minyak di Indonesia ditangani oleh perusahaan-perusahaan dari Rusia. Terlihat jelas juga dari Tentara Indonesia dan Rusia kerja sama mengusir pemboman minyak ilega oleh perusahaan Inggris dan Jerman di perairan laut Aceh.

Indonesia setelah memperkuat hubungan diplomatik ekonomi Indonesia dengan Rusia, Indonesia juga membeli minyak dari Rusia dengan harga murah dan mengelola minyak dan gas Indonesia oleh Rusia seluruhnya. Hal ini juga menjadi pukulan bagi negara-negara Eropa karena Indonesia tidak mengekspor batu bara dan minyak lagi ke Uni Eropa karena sudah kerja sama dengan Rusia.

Indonesia masih terlihat memainkan politik dua kaki, baik di Blok Timur maupun Blok Barat, tetapi kerja sama militer dan jual beli senjata masih dengan Amerika Serikat dan sekutunya. Sementara hubungan diplomatik ekonomi dan kerja sama pembangunan infrastruktur ekonomi dengan Cina dan Rusia. Indonesia masih mainkan politik dua kaki, menunjukkan dirinya tidak memihak ke salah satu pihak yang berkonflik karena Indonesia masih punya kepentingan membutuhkan kedua blok untuk membangun infrastruktur militer dan infrastrktur pengelolaan sumber daya alam untuk eksploitasi jangka panjang.

Targetnya adalah Indonesia akan menjadi salah satu negara yang mempunyai kekuatan ekonomi di Asia Tenggara dan Asia Pasifik. Dengan target pada tahun 2040 atau 2050 Indonesia menjadi negara maju bak Macan Asia. Maka Indonesia sebagai tuan rumah akan mainkan politik dua kaki dan menerima delegasi dari Blok Timur maupun Blok Barat datang ke Bali untuk membahas kerja sama ekonomi sesama negara anggota G20.

KTT G20 ini keuntungan bagi Indonesia, tetapi ancaman bagi rakyat Papua baik ancaman genosida, ekosida, marginalisasi, diskriminasi, dan pelanggaran HAM secara sistematis, masif, dan terstruktur akan sangat menggila di Papua dan itu pasti terjadi. Karena KTT G20 akan membuka pintu bagi imperialisme global dengan perusahaan internasional dan multi internasional yang berbondong-bondong datang ke Indonesia berdasarkan janji Presiden Jokowi tahun 2021 saat KTT G20 di Italia dan KOP ke-26 di Skotlandia, Inggris.

Presiden Jokowi di periode pertama sudah membagun infrastruktur jalan dan jembatan di Papua berdasarkan hasil Ekspedisi tahun 2015 tentang sumber daya alam di Papua. Setelah berhasil membangun Infrastruktur, negara melahirkan produk hukum, yaitu Undang-Undang Omnibus Law untuk investasi dan tenaga kerja produktif  migran.

Kemudian untuk mempermudah akses bagi kapitalis di Papua, pemerintah  mengamandemen Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) tahun 2021 dan Daerah Otonomi Baru (DOB) di Papua. Semua kewenangan pemerintah daerah di Papua diambil alih oleh Jakarta untuk meloloskan kepentingan tanpa ada hambatan dari pemerintah provinsi dan kabupaten kota di Papua.

Sehingga setelah KTT G20, perusahaan-perusahaan besar akan masuk ke Papua untuk mengeksploitasi semua sumber daya alam. Lalu Hasil eksploitasi sumber daya alam di Papua akan dibawa keluar Papua dan akan dikelolah atau diproduksi dari bahan mentah menjadi barang jadi dan diekspor ke luar negeri, lalu diimpor dan dijual lagi di Papua untuk orang Papua beli dari pasar yang dikuasai oleh migran. Misalnya saat ini banyak perusahaan kelapa sawit di Papua, hasilnya dibawa ke Jawa, diproduksi menjadi minyak dan dijual kembali lagi ke Papua.

Orang Papua akan menjadi manusia konsumtif, termarjinalisasi secara ekonomi maupun secara politik karena dengan adanya pemekaran 4 provinsi baru ini, membuka peluang kedatangan kaum migran besar-besaran dan tenaga kerja produktif dari luar untuk kerja di perusahaan-perusahaan di Papua atas nama pembangunan dan kesejahteraan rakyat Papua.

Orang asli Papua akan jadi penonton, jadi minoritas dan hanya dijadikan objek pembangunan dan kesejahteraan. Hal itu telah terbukti melalui Otsus Tahun 2001 selama 20 tahun ini, bahwa yang sejahtera, makmur dan mendapatkan keuntungan dari Otsus itu adalah orang Indonesia yang ada di Papua. Apalagi Otsus Jilid II yang tidak memberikan kewenangan khusus, orang asli Papua akan disingkirkan dari semua aspek ekonomi dan politik.

Selain itu, adanya rencana pengesahan Undang-Undang RKUHP yang merupakan undang-undang yang disusun dengan tujuan untuk memperbaharui atau meng-update KUHP yang berasal dari Wetboek van Srafrecht voor Nederlandsch, serta untuk menyesuaikan dengan politik hukum, keadaan, dan perkembangan kehidupan bermasyarakat. Undang-undang ini disahkan, maka tidak ada gerakan perlawanan di Papua baik perjuangan pembebasan nasional Papua Barat dan perlawanan masyarakat adat serta gerakan perlawanan sektoral. Semua gerakan akan dibatasi sama seperti Orde Baru zaman Soeharto dulu sebelum Reformis 1998.

RUU tersebut disusun dengan tujuan mengatur keseimbangan antara kepentingan umum atau negara atau kepentingan individu, antara perlindungan pelaku terhadap pelaku dan korban tindak pidana, antara unsur perbuatan dan sikap batin, antara kepastian hukum dan keadilan, antara hukum tertulis dan hukum yang hidup dalam masyarakat, antara nilai nasional dan nilai universal, serta antara hak dan kewajiban asasi manusia.

Dari kutipan di atas ini, kami Bangsa Papua yang hari ini hidup di dalam kekuasaan kolonial Indonesia, adalah Bangsa yang sedang mengalami proses kepunahan secara cepat melalui aksi-aksi pembunuhan liar oleh Militer (TNI-POLRI). Populasi Rakyat Papua kini (4 Juta-an) menurun secara drastis dibarengi dengan pengiriman transmigran besar-besaran ke Papua. Suatu upaya politik Jakarta untuk singkirkan Rakyat Papua dari tanah mereka dan kemudian diisi oleh transmigran. Persis seperti apa yang pernah dilakukan oleh Inggris dan Prancis terhadap suku Aborigin di Benua Australia.

Dalam kondisi seperti ini, yang harus kita lakukan adalah merangkul sesama orang Papua yang masih tersisa ini, saling menghargai pendapat, saling menyapa, sayangi sesama orang Papua tanpa memandang suku, marga atau klan agar bersatu memperkuat garis Perlawanan sebagai solusi untuk akhiri penindasan yang terstruktur dan tersistematis. Karena hanya persatuan, kita pasti akan selamatkan Bangsa West Papua.

"Obor Untuk Papua"

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest Articles

Mahasiswa Nduga dan Lanny Jaya Kota Malang Sikapi Konflik Horizontal antara Masyarakat Lanny Jaya dan Nduga

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Konflik berawal dari kasus perselingkuhan yang berujung konflik saudara di kampung Hilekma, Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua...

IPMK Kota Studi Jayapura Dukung Deklarasi Lembah Kebar Sebagai Tanah Injil dan Keadilan Ekologis

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Ikatan Pelajar dan Mahasiswa/i Kebar (IPMK) Kota Studi Jayapura mendukung deklarasi Lembah Kebar sebagai Tanah Injil dan Keadilan Ekologis...

Pernyataan Sikap Mahasiswa dan Pelajar Asal Nduga Terkait Dana Pendidikan

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Manusia Membutuhkan Pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar Manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara...

Teror Terhadap Mahasiswa Papua: Tetap Tenang dan Berbahaya

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Poster ini bukan untuk dikriminalisasi, maupun untuk mengganggu psikologis kawan-kawan. Barang kaya begini kita sudah alami dari lama sejak...

Kronologis dan Tuntutan Keluarga Korban Penembakan Thobias Silak

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Kronologis dan tuntutan ini dikeluarkan oleh keluarga Thobias Silak, korban penembakan yang mati di Dekai, Yahukimo, Papua Pegunungan pada...