DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
Oleh: Siorus Degei)*
Ada satu isu yang khas dan selaluh bias. Diskurusus tentang kunkungan budaya patriarki, kebangkitan feminisme, dan kampanye kesetaraan gender, cicip-cicipnya menjadi sebuah isu yang “tenang-tenang mengdayung”. Artinya bahwa perjuangan dan persaingan antaran energi maskulin dan femimin di era komunikasi digital ini masih terus alot.
Lukisannya, patrarki belum pudar dari dalam relung-belung pandangan-pandangan besar dunia. Budaya patriarki tidak pernah hilang (dan mungkin akan seperti itu selama energi maskulin masih eksis di perut bumi_bukan sebuah seruan maskluinsida; pemusnahan maskulinisme, tetapi adalah sebuah celoteh realitas), melainkan senantiasa berganti baju bak bunglon dalam pusaran jaman.
Nyatanya, hingga hari ini diskriminasi, marjinalisasi, stigmatisasi, ekspolitasi dan eksplorasi atas perempuan masih terus terjadi. Kita tidak bisa menafihkan berapa banyak korban Human Traficcking, Pelecehan Seksual (verbal-nonverbal), KDRT, Fenomena Nikah Muda, dan pelbagai pelanggaran patriarkis lainnya yang mengarak perabadan feminism eke arah “Feniminsida” (pemusnahan feminisme: pemusnahan kaum hawa).
Sebagai antithesis atau tesis “Patriarkicrime” di atas, muncul kebangkitan feminisme dengan bendera emansipasi. Teori-teori kiri seperti Maxisme, Leninisme, Komunisme, dan Sosialisme marak-marak dilahap habis oleh cerdikiawan hawa awal-awal.
Mereka mulai menuntut kesetaraan gender dengan pelbagai dalil dan basis legal standing yang baik dan kuat. Alhasil, pelan namun pasti sebagian besar wanita di Eropa, Asia, Afrika, Pasifik, Melanesia dan Timur Tengah mulai bisa menghirup udara kebebasan dari penjara patriarki. Muncul budaya “Matriarki” dan atau “Feniminsentrisme”. Budaya Matriarki mulai membius dan memvirus ke penjuru dunia.
Hingga dewasa ini secara realistis, matetis, dan logis kita bisa menarik pelatuk intepretasi bahwa wanita tidak kalah unggul ketimbang pria, hamper di semua lini kehidupan, kita bicara saja pada lini yang urgen seperti Pendidikan, Kesehatan, dan Agama.
Hampir semuanya dimayoritasi oleh kaum hawa, coba tengok pengalaman pria saat di bangku studi, kira-kira anatara siswa wanita dan pria, mana yang lebih berprestasi dan di bawah standar? Atau di ruang kerja, kira-kira antara karyawan pria dan wanita, mana yang paling tekun dan malas? Dalam kehidupan beragama, semisal di Gereja, kira-kira antara umat wanita dan pria, mana yang aktif dan pasisf?
Memang belum ada poling resmi atau riset ilmiah, namun bersandar pada pengalaman hidup yang adalah data tak terbantakanh, pastinya pilihan positifnya jatuh pada kaum hawa dan pilihan opsi negatifnya jatuh pada kau madam. Ini realita hari ini, bahwa daya “Martiarki” lincah ketimbang daya sperma “Patriarki”.
Berdasarkan fenomena “Maskulinsentris” dan atau “Patriarticraime” yang mengarak bangsa hawa menuju pada dermaga “Feniminsida”, maka penulis hendak menawarkan sebuah resolusi yang mampu menciptkan keharmonisan antara bangsa hawa dan bangsa adam.
Upaya itu tergambar dalam dekontruksi minsed dan budaya manusia yang selama terpenjara dan berkutat pada budaya “Patriarki” di kalangan adam dan “Matriarki” di kalangan hawa menjadi minsed dan budaya yang baru, yakni “Pararelki”.
Patriarki: Anak Kandung Maskulisme Absolut
Memang sudah dari awal budaya patriarki itu eksis dan merasa sebagai subjek atas kosmos, kosmos hanyalah objek baginya, termasuk di dalamnya perempuan yang paling banyak kena imbasnya. Patriarki merupakan anak binak-pinak dari maskulisme absolut.
Orang cerdas seperti Aristoteles ( 384 SM-322 SM) saja menyebutkan wanita sebagai makhluk yang tidak sempurna (A female is an incomplete male or ‘as it were, a deformity’). Hamat Hipokrates (460-370 SM) perempuan adalah jenis kelamin lemah dan laki-laki adalah jenis kelamin kuat. Julian Benda (1867-1956) menegaskan bahwa Wanita tidak bisa sukses tanpa andil laki-laki dalam hidupnya.
Claude Mauriace (1914-1969), mengatakan pemikiran-pemikiran birlian perempuan berasal dari laki-laki. Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menandaskan laki-laki lebih unggul dan layak tampil sebagai subjek publik, sementara perempuan ditakdirkan untuk merawat keluarga.
Arthur Schopenhauer (1788-1818) menyebutkan bahwa satu-satunya fungsi perempuan di dunia ini adalah fungsi reproduksinya lewat kehamilan hamil dan melahirkan bayi, Schopenhauer juga menganggap bahwa perempuan adalah ancaman bagi laki-laki karena sifat perempuan yang kacau dan mengganggu, (https://magdalene.co/story/5-pemikiran-filsuf-terkenal-yang-sungguh-patriarkal, Sel. 26-04-2022, Pkl. 20:14 WIT). Jika kita tenggok baik-baik pandangan para sarjana kuno itu sangat bermuatan partriarkal.
Kendati pun demikian tak dapat diputarbalikan bahwa semasa itu ada wanita-wanita hebat yang Tangguh menyaingi para pria, namun karena bacgkingan patriarki lebih kuat, apalagi Lembaga penjaga moral semacam Pendidikan dan Agama merestui adanya “ Patriarkicrime”, maka kaum hawa adalah kaum paling “tersalib” kala itu.
Kebrutalan “Patriarkicrime’ yang disutradari oleh Lembaga Gereja, khususnya Gereja Katolik dapat disaksikan dalam Flim Agora. Flim ini bercerita tentang seorang filsuf perempuan bernama Nypatia (359-415 SM) seorang Filsuf (Plotinos) Matematikawan, dan Astronom Helenistik.
Hypatia berhasil menciptakan astrolabe (alat untuk menerawan benda langit; tata surya), (https://id.wikipedia.org/wiki/Hipatia, Sel. 26-04-2022, Pkl. 21:16 WIT) . Ia adalah anak seorang imam Theon sekaligus pengajar ilmu Astronomi, Matematika, dan Filsafat di Alexandria. Hypatia dituduh sebagai penyihir oleh Uskup Kirilos Alexandria dengan jurus “manipulasi dogma, biblis dan teologis”. Pimpinan Gereja yang saat itu bernafsu menguasai pemerintahan dalam rangka melebarkan sayap kekristenan melihat sosok kritis dan cerdas seperti Hypatia sebagai ancaman.
Sehingga ia mengutus Petrus muridnya untuk menangkap Hypatia dengan tuduhan Penyihir. Akhirnya Hypatia menyerahkan dirinya ke Gereja, hendak berdialog secara damai, namun karena ia sendiri, terlebih karena ia hanyalah seorang perempuan dan yang ia hadapi adalah seorang uskup yang saat itu punya prestise dan popularitas mendewa di imperium Alexanderia, maka Hypatia kalah telak.
Ia pun diseret di jalan, tubuhnya ditelanjangi, didipukul, dilempari batu, para biarawan membakarnya dan menggulitinya dengan cangkang tiram serta merobek-robek tubuhnya, (link film tentang hypatia, dengan sub-judul bahsa Indonesia. Judulnya Agora. Bisa didonlot. https://158.69.0.201/agora-2009/, Sel. 26-04-2022, Pkl. 19:36 WIT). Sungguh tragis.
Kisah Hypia di muka kurang lebih bisa menggambarkan bagaiman taring dan tanduk “Patriarkicrime” itu menciptakan “Feminimsida” pada zamannya. Setiap suku, budaya dan bangsa barangkali mempunyai cerita-cerita piluh seperti kisah Hypatia ini. Bahwa memang perempuan itu bukan apa-apa.
Yang ironisnya lagi, Patriarkicrime itu bertabiat dalam habitat yang tidak semestinya, semisal dalam organ tubuh Gereja dan Lembaga Pendidikan. Baru-baru ini Gereja Katolik, lagi-lagi membongkar tabiat stkandalnya, yakni 7 Kasus Pelecehan Seksual Terbesar dalam Gereja Katolik (https://dunia.tempo.co/read/1128447/7-kasus-pelecehan-seksual-terbesar-gereja-katolik, Sel. 20:20 WIT), di mana beberapa imam dinyatakan sebagai pelaku pelecehan seksual terhadapa anak di bawah umur.
Dan memang skandal semacam ini bukanlah hal baru dalam tubuh Gereja Katolik. Sayangnya, terkadang pelakunya “dikasihani”, penulis menimbang bahwa radikalisasi pemaknaan ajaran cinta kasih Kristus dapat menjadi celah “iblis skandal” itu terus bernafas legah dalam jatung dan paru-paru Gereja. Hal terungkap, ketika otoritas Gereja tidak berbuat banyak atas para klerus yang terjankit kasus pelecehan seksual, memang patut diajungi jempol bahwa ada pimpinan Gereja yang tegas soal ini.
Selain di Gereja, Lembaga penjaga moral dan aklhak seperti Asrama, Sekolah, Kampus dan Kantor pun terkadang menjadi lahan tumbunya skandal pelecehan seksual, baik itu antara murid dan murid atau mahasiswa dan masiswi, guru dan murid, dosen dan mahasiswa, bos dan anak buah, dan seterusnya.
Potret fenomena maraknya skandal pelecehan seksual dan pelecehan terhadap perempuan justru oleh oknum dan pihak yang semestinya memproteksi menunjukkan bahwa budaya “Patriarkicriem” itu masih eksis hingga hari ini.
“Matriarki”: Anak Kandung Feminisme Absolut
Budaya Matriarki muncul sebagai kritik atas budaya Pararki. Di Indonesia R.A. Kartini bisa dikanoniasasikan sebagai pelopor budaya “Martiarki” melalui kiprah emansipasinya. Memang ada beberapa suku, semacam Minangkabau, yang menganut sistem “Matrilinear” di mana wanita cukup mendapat tempat penting dalam hal perkawinan dan sistem kekerabatan budaya.
Namun hampir di seluruh bumi pertiwi partairki masih “naik daun”. Kartini menjadi orang pertama yang memasang obor “Matriarki” dengan semangat emansipasi perempuan untuk mengdongkrat budaya patriaki yang sudah bernaka-cucu dalam kehidupan bersama, (https://www.kompas.com/sains/read/2022/04/22/073100423/apa-saja-perjuangan-kartini-tentang-emansipasi-perempuan-, Sel. 26-04-2022, Pkl. 20:25 WIT).
Di Papua pada tahun 1938 hingga 1943, muncul sosok wanita tangguh yang penuh kharismatik yang memimpin perang Koreri melawan kaum penajajah bukan untuk memenuhi komando kemerdekaan Indonesia di Jawa, yakni Angganeta Manufandu atau dikenal dengan panggilan “Bin Dame”, artinya Pembawa Damai (Bhs. Baik), (https://jubi.id/tanah-papua/2022/angganeta-inseren-sowek-perempuan-pemimpin-gerakan-koreri-di-biak-numfor/, Sel. 26-04-2022, Pkl. 20:46 WIT).
Penulis merekomendasikan agar kaum milenial asli Papua lebih mengenal, memahami dan mencinta Mama Angginita Manufandu, ketimbang tersugesti pada kemolekan R.A.Kartini yang asing secara kultural dan emosioanl dengan perempuan asli Papua.
Selain Mama Angganita Manufandu, muncul juga Mama Yosepaha Alomang yang walau terbatas secara intelektual namun ia penuh kharismatik, ia mampu mengaunkan suara perempuan Papua hinggah menyebet dua penghargaan di bidang kemanusiaan dan lingkungan hidup, yakni Yap Thiem Hien (1999 Desember) dan Goldman Enviroment Prize (23 April 2001), di sini penulis hendak merevisi lebel heroic yang diberihkan oleh Pendeta Dr. Benny Giyai, terhadap Mama Yosepha Alomang sebagai “Kartini Papua”.
Hemat penulis Mama Yosepha Alomang “Anngganita Mannufandu Baru”, juga semua perempuan asli Papua hebat lainnya mereka adalah “In Persona Mama Angginita Manufandu”.
Pada lintas global, baru pertama kali dalam sejarah ada wakil presiden perempuan dalam bursa kepresidenan di Amerika Serikat, Kamala Devi Harris. Uniknya ia adalah seroang blasteran, ada darah asia dan timur tengah dalam dirinya, mudah-mudahan ia tidak menjadi pertama dan terakhir, tetapi harapannya ia menjadi “Kebadabi” (Penbuka Jalan atau Pintu, Bhs. Mee) bagi perempuan-perempuan hebat lainnya di dunia.
Di Indonesia, muncul Presiden perempuan pertama, ibu Megawati Soekarnoputri. Belakangan ini lagi hangat nama putrinya Puan Maharani Ketua DPR RI dan Risma Maharani, wali kota Surabaya sebagai bakal calon Presiden pada Pilpres 2024 (yang masih kontroversial hingga hari ini). Potret-potret sosia-politik seperti ini dan sejenisnya mau menegaskan bahwa budaya Matriarki itu fakta dan bukan fantasi.
Pararelki: Sintesis Patriarki dan Matriarki?
Kita telah melihat sendiri bahwa diskursus tentang Patriarki dan Matriarki tidak pernah akan habis dibahas menemui titik klimaks, sebab “masing-masing” masih ngotot dan keukeh atas “tiap-tiapnya”.
Artinya, entah Partiarki maunpun Matriarki tidak akan pernah mau mengalah. Yang satu tetap merasa superior dan mayor atas yang lain, begitu pun sebaliknya. Sehingga memang perluh ada suatu mediasi, yang bisa menjadi sarana di mana keduanya bisa “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” atau dengan kata lain “Patriarki Rasa, Matriarki Rasa”, tidak ada sama sekali sekat antara kedunya.
Resolusi atau sintesis sebagai mediasi demi rekonsiliasi yang penulis tawarkan sebagai sintesis atau mediasi di sini adalah “Pararelki”. Pararelki berasal dari kata dasar Pararel, yang berarti Seimbang, Sejajar.
Jika pararel dimaknai sebagai sebuah aliran Filsafat, yakni Pararelisme, maka pararelisme mengajarkan tentang hukum keseimbangan, Kesejajaran, Proporsional. Mengapa penulis memilih pararelisme sebagai jalan tengah demi keharmonisan Patriarki dan Matriarki?
Pertama, secara manusiawi, manusia, entah pria maunpun wanita dibentuk melalui dua unsur yang satu dan sama, yakni Sel Sperma dan Sel Telur. Tanpa sel telur mustahil ada manusia normal, begitu pun sebaliknya tanpa sel sperma mustahil ada manusia normal.
Hanya oleh, dalam dan melalui sel telur dan sel sperma saja manusia menjadi manusia yang normal adanya. Sehingga teramat salah kaprah jika pria merasa superior atas wanita ataupun sebaliknya. Keduanya adalah satu kesatuan yang integral. Sangat Pararel
Kedua, secara ilahi, manusia diciptakan oleh Allah, baik laki-laki maupun perempuan. Keduanya adalah citra dan patner Allah. Sebagai citra Allah, manusia segambar dan serupa dengan Allah, itu berarti Allah tidak melulu adalah pria, “Allah Bapa”, tetapi juga wanita, “Allah Mama”.
“Feminisme Allah” terletak pada kuasa-Nya dalam merahimi manusia dan kehidupan, terlihat dari sisi Allah sebagai Mahakasih, Mahapenyayang, Maharahim dan Mahamurah. Sifat-sifat ini merujuk pada “Sifat Keibuan Allah”. Manusia berasal dari Allah, diadakan oleh Allah dan untuk kemuliaan Allah. Sangat Pararel.
Dua hal ikwal di atas sedikit banyaknya mau menegaskan bahwa tidak ada hal yang perlu menjadi alasan justifikasi budaya patriarki dan matriaki sebab keduanya adalah pararelki. Artinya bahwa sudah saatnya semua orang meninggalkan tabiat lama yang nyaman dalam tempurung parsial, entah itu patriarki maupun matriaki, sebab keduanya adalah satu kesatuan.
Bahwa dalam situasi dan kasus tertentu seorang pria bisa tampil layaknya seorang wanita begitu pula sebaliknya. Jadi, patriarki dan matriaki adalah dan hanyalah sebuah relativitas yang berdialektika dan berdinamika.
Yang jelas bahwa sebagai bejana sel telur dan sel sperma seorang manusia sejati adalah ia yang energi feminim dan maskulinnya pararel atau seimbang, sama seperti Allah yang adalah “Bapa” sekaligus “Mama”, manusia juga adalah “Pria” sekaligus”wanita”, manusia sejati: Feminim versus Maskulin.
)*Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua