DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
Persoalan pengungsian masyarakat sipil di Papua, tidak terlepas dari persoalan berkepanjangan di Tanah Papua. Hal ini merupakan akibat dari pengiriman militer yang massif di Papua dan respon negara atas persoalan Papua yang selalu menggunakan pendekatan militer.
Operasi militer di Papua, bukan persoalan yang baru terjadi. Pendekatan bersenjata ini, sudah sejak operasi Tri Komando Rakyat (Trikora awal 1962) oleh negara Indonesia untuk menduduki wilayah Papua. Hingga pada 2018, pengungsian massif terjadi di Kabupaten Nduga, Papua. Bahkan hingga detik ini, warga sipil di Kabupaten Maybrat, Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Waropen, Puncak Papua, Mimika dan beberapa daerah di Papua pun mengungsi akibat operasi militer ini.
Bahkan hari ini, dengan alasan penyelamatan seorang Pilot Susi Air yang disandera pihak TPNPB, negara menetapkan status operasi militer di Papua menjadi “Operasi Siaga Tempur”. Status ini bahkan secara semena-mena, aparat militer akan massif dikirim ke Papua.
Dalam pengungsian dan operasi militer ini, Perempuan dan Anak merupakan warga sipil yang sangat rentan mengalami penderitaan secara fisik maupun psikologi. Hal itu dijelaskan oleh Ester Haluk (Departemen Perempuan KINGMI di Tanah Papua), dalam Diskusi Publik dan Konferensi Pers “Siaga Tempur dan Ancaman Keamanan serta Perdamaian di Papua”.
Dia menceritakan bagaimana situasi keamanan saat pihaknya yang tergabung dalam Gereja KINGMI melakukan pendampingan pada 2018, 2019, 2020 terhadap Perempuan dan Anak di Pengungsian Nduga, Papua. Haluk mengaku pihaknya sering mengalami intimidasi dan terror dari pihak militer (TNI/POLRI).
“Ketika kami berusaha melakukan pendampingan, konsolidasi dan menggalang bantuan terhadap pengungsi, terutama perempuan dan anak, kami selalu diintimidasi oleh militer,” jelas dia dalam diskusi yang dilakukan melalui zoom itu, Kamis (20/04/2023).
“Pihak militer tanya, kalian bikin apa? Bantuan apa? Di Nduga aman saja,” tiru Ester Haluk. Kelakuan aparat militer ini, justru membatasi bantuan kemanusiaan dari berbagai pihak terhadap korban pengungsian di Papua.
Dia juga ceritakan bagaimana bertemu perempuan dan anak di pengungsian. Kondisi mereka (perempuan dan anak) yang sangat menderita dan terabaikan oleh berbagai pihak, terutama negara.
“Ketika kami melakukan pendampingan terhadap para pengungsi di Nduga, banyak perempuan yang melahirkan dengan kondisi yang sangat prihatin. Mereka melahirkan bayi tanpa alas kain, tanpa fasilitas Kesehatan, tanpa jaminan keamanan dan diabaikan oleh negara,” ucap Haluk.
Perempuan di pengungsian ini, tidak bisa melahirkan dengan baik, hak-hak Kesehatan mereka diabaikan. “Apakah ini rencana negara untuk terus melakukan kekerasan dan pembunuhan terhadap orang Papua?,” tanya Ester Haluk.
Bahkan saat warga sipil di Intan Jaya mengungsi pada 2021, seorang anak umur dua tahun, namanya Nopelinus Sondegau, dia ditembak oleh aparat militer, tali perutnya keluar di pelukan mamanya saat mengungsi. “Negara sama sekali tidak melakukan investigasi atas kasus penembakan Nopelinus Sondegau. Kondisinya diabaikan!. Negara tidak punya niat untuk tangani kondisi pengungsi,” ucapnya.
Tapi, kata dia “ketika ada satu orang TNI (aparat negara) yang ditembak, negara cepat bentuk tim investigasi dan tangani kasus tersebut. Bahkan jadi alasan untuk negara terus kirim militer ke Papua. Satu orang TNI yang mati, ribuan warga sipil diserang dan ditembak”.
Pendekatan militer di Papua ini, menciptakan traumatis pada perempuan dan anak di pengungsian. Anak-anak pengungsi ini selalu takut dan lari Ketika lihat TNI. Bahkan Ester Haluk mengatakan para korban pengungsian, tidak bisa dibawa ke Rumah Sakit Umum, karena dijaga oleh aparat militer, sehingga itu menciptakan ketakutan terhadap perempuan dan anak.
Tidak hanya itu, Haluk juga mengaku bahwa aparat (TNI) melakukan pelecahan yang sangat biadap terhadap perempuan (korban pengungsian). “Pada 2020, ketika para perempuan (pengungsi) ini, naik pesawat dari Nduga ke Nabire, saat tiba mereka diperiksa oleh militer. Semua barang diperiksa, seluruh tubuh perempuan ini diperiksa, bahkan pakaiannya dibuka,” terang dia.
Lebih lanjut, dia menyoroti media-media nasional yang ikut menyebarkan hoax soal Papua. Pemberitaan yang tidak benar soal kondisi Papua ini, menurut Haluk justru memperparah kondisi Papua. Dia mencontohkan berita nasional yang beritakan bahwa perempuan dan anak-anak di pengungsian bantu TPNPB-OPM. Juga beberapa media belakangan ini beritakan kalau TPNPB-OPM yang bakar rumah (honai) warga di Intan Jaya (April, 2023).
“Itu berita yang tidak benar dan sangat tidak masuk di akal. TNI sengaja menyebarkan hoax, agar kekerasan dan operasi militer di Papua semakin massif dilakukan,” tegas Haluk.
Situasi pengungsian ini juga dirasakan oleh Lamberti Faan, seorang korban pengungsi Maybrat. Dia mengaku warga sipil mengalami traumatis akibat dari gelombang operasi militer yang massif di Kabupaten Maybrat, sejak September 2021 hingga hari ini.
Lamberti mengatakan banyak warga sipil yang sudah mengungsi dan keluar dari Maybrat, kebanyakan ke Sorong dan Sorong Selatan. “Masyarakat takut tinggal di Maybrat. Mereka keluar untuk cari aman. Tapi Ketika balik ke Maybrat, dihadapi dengan militer, diinterogasi oleh militer, ini bikin takut dan psikologis terganggu,” cerita Faan.
“Kami kembali ke Maybrat itu macam ke orang lain punya tempat. Harus lapor ke TNI, diperiksa, diinterogasi. Maybrat sudah seperti daerah perang. Ini mengganggu kenyamanan kami,” lanjut Lamberti Faan.
Pengungsian warga sipil di Maybrat ini, dikatakan kalau sudah diusahakan oleh Pemerintah Kabupaten Maybrat untuk pemulihan dan pemulangan. Namun, Lamberti menilai upaya Pemda Maybrat itu justru menciptakan ketidak-nyamanan bagi masyarakat sipil. Karena Pemda Maybrat masih melakukan pendekatan militer untuk tangani para pengungsi tersebut. “Lagi-lagi upaya yang sama seperti negara”.
Kehadiran militer di Maybrat ini, justru mengganggu aktivitas ekonomi, pendidikan dan Kesehatan. Kekuatan militer yang berlebihan, melahirkan ketakutan dan trauma pada warga sipil. “Faktor historis Papua, dari dulu operasi militer terus, jadi masyarakat itu takut, psikologis terganggu,” beber Faan. Bahkan, dia bilang kalau beberapa gereja dan rumah warga digunakan sebagai pos militer.
Bahkan belakangan ini, Dandim Maybrat membuat kebijakan untuk mendirikan pos-pos militer di tiap kampung. Alasan utamanya adalah pihak (TNI/Polri) membantu pembangunan di tengah masyarakat. Namun, Lamberti Faan menilai pendekatan ini yang justru membuat masyarakat takut dan trauma.
Lebih lanjut, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Muhammad Isnur mengatakan bahwa pengiriman militer ke Papua ini, tidak mengikuti prosedur atau mekanisme yang telah diatur dalam Undang-undang. Dia bilang kalau tiap pengiriman militer ke Papua, tidak ada laporan yang jelas. “Tiap tahun sekitar 10 ribu pasukan militer dikirim ke Papua tanpa laporan yang jelas,” ucapnya.
Pihaknya mendesak kepada Presiden Republik Indonesia untuk evaluasi mekanisme pengiriman militer dan harus berikan data laporan yang jelas terkait militer yang dikirim ke Papua. “Karena negara tidak bisa biarkan aparat negaranya untuk melakukan operasi terhadap warga sipil,” tegas Isnur.
Presiden Jokowi didesak untuk hentikan operasi “Siaga Tempur” di Papua, dan melakukan pendekatan persuasif. Karena pendekatan militer ini justru memperpanjang kekerasan yang dialami Orang Papua.
(Reporter: Maksimus Syufi)