Oleh: Romana Syufi
“Tumpukkan isi noken di kepala kami perempuan tanah papua makin berat ketika ditambah lagi stigma rasis ‘perempuan tanah piala bergilir’, kami makin membungkuk dan sulit untuk berjalan dengan kepala tegak. Kami memikul beban penghinaan yang merendahkan martabat perempuan Papua’’ –Putri Indonesia Papua berbakat, Rumbarar (2011)-
Budaya patriarkhi masih kuat, didominasikan oleh laki-laki dalam aspek kehidupan perempuan Papua, contohnya dari sisi budaya; perempuan atau istri harus mampu memberikan keturunan pada pihak laki-laki, jika tidak maka terjadi KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) terhadap perempuan Papua. Tidak hanya dari laki-laki, namun juga dari orang tua maupun saudara-saudarinya.
Memposisikan perempuan tanah papua sebagai bawahan atau sebagai pihak yang tidak berwewenang dalam menentukan pendapat atau pilihan dalam hidupnya. Harus tunduk dan patuh pada semua atau segala yang diinginkan atau diputuskan oleh kaum pria termasuk KDRT (perempuan Papua yang berkeluarga) yang dilakuan tersebut dibenarkan secara sepihak dan ujung-ujungnya kaum pria yang benar. Sebagai salah satu bentuk kewajiban karena alasan secara adat perempuan menjadi milik kepunyaan atau property yang dapat dilakukan sesuka laki-laki karena telah menemuhi tuntutan adat seperti bayar maskawin. Itulah dinamika-dinamika dalam kesenjangan sosial secara khusus yang terjadi pada perempuan Papua dan tidak dapat dipungkiri lagi yang sedang terjadi terhadap perempuan tanah Papua di negeri bumi Cendrawasi ini.
Sebelum saya membahas lebih lanjut lagi, saya akan memberi pengertian tentang perempuan Papua. Untuk mendapatkan pengertian mengenai perempuan Papua maka terlebih dahulu memahami tentang istilah perempuan dan istilah Papua. Dua kata yang membentuk frasa nominal yaitu Perempuan Papua. Menurut KBBI perempuan adalah manusia yang mempunyai vagina dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, serta menyusui. Papua merupakan sebuah istilah yang awalnya digunakan oleh pelaut Portugis Antonio d’ Abreu, yang mengunjungi pantai Irian ( sekarang Papua) pada tahun 1551. Kata “Papua’’ berasal dari bahasa melayu ‘’ Pua-Pua’’ yang berarti ‘’keriting’’( Koentjaraningrat, 1993:4). Istilah Papua secara politik digunakan untuk menamai wilayah pemerintahan Provinsi Papua dan Papua Barat dan penduduk secara budaya dikategorikan sebagai rumpun Melanesia.
Perempuan Papua merupakan orang asli Papua yang lahir dari Rahim Ibu seorang perempuan Papua dan ayah laki-laki Papua atau yang memiliki ibu atau ayah berdarah Papua dan yang memiliki marga atau klen.
Perempuan Papua kini hidup dalam kewas-wasan dari bayangan yang menguras mental dan fisik. Sebuah bayangan itu adalah dunia patriarkhi, bayangan itu yang selalu menghantui gerak-gerik dalam kebebasan perempuan Papua untuk menebarkan sayapnya di tempat yang disebut surga kecil yang jatuh ke bumi. Anehnya tempat surga kecil ini, malah memberikan sebuah permainan semacam peta-kumpet untuk perempuan Papua, mainan bukan tempat damai. Mereka harus mencarinya, bahkan menyuarakan sehingga mendapatkan arti dari peta-kumpet ini.
Arti dari ilustrasi ini bahwa kita (perempuan Papua) mencari solusi untuk menyuarakan fenomena tentang gender yang selalu dibandingkan antara kaum pria dan perempuan Papua yang sering dianggap rendah. Jika kita berhasil mendapatkan peta-kumpet, pastinya kita girang dan bersorak-sorai dalam kebahagiaan karena kita berhasil mendapatkannya. Sama halnya dengan kita harus mencari dan menyuarakan tentang kebebasan perempuan Papua dan menentang tradisi-tradisi patriarkhi yang membelenggu perempuan Papua hingga tak berdaya.
Patriarkhi pada awalnya digunakan oleh Max Weber untuk mengacu ke suatu ssstem sosial politik tertentu, di mana seorang ayah berhak posisinya dalam rumah tangga, bisa dapat mendominasi anggota jaringan luasnya dan menguasai produk ekonomi dari kesatuan kekerabatan tersebut; istilah ini kemudia diambil alih oleh para feminis radikal pada tahun 70-an. Penulis artikel, Kate Millet yang mengatakan bahwa hubungan patriarchal (adanya dominasi laki-laki) sebenarnnya tidak hanya terbatas pada arena kekerabatan saja, tetapi juga pada semua arena kehidupan manusia (perempuan), seperti ekonomi, politik, keagamaan, dan seksualitas (saparinah, 1997:48).
Sejalan dengan sistem sosial tersebut, ada kepercayaan atau ideologi bahwa laki-laki lebih tinggi kedudukkannya dibanding perempuan; bahwa harus dikuasai oleh laki-laki, dan merupakan bagian dari harta milik lelaki. Norma-norma, moral maupun hukum pun bersifat double standar (standar ganda) yang memberikan lebih banyak hak kepada kaum lelaki.
Kaum pria memberi pandangan terhadap perempuan Papua sebagai kaum yang lemah dari berbagai aspek seperti agama, suku, pekerjaan, praktek tradisi dalam adat-istiadat dalam konteks perkawinan, pembayaran maskawin dan kedudukan serta marganisasi.
Kekerasan ini kerap muncul akibat ketimpangan gender yang masih terjadi di berbagai sektor, seperti hak mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, politik, dan pekerjaan. Ada aneka macam kekerasan yang sering terjadi pada perempuan Papua seperti; kekerasan fisik karena berlebihan konsumsi alcohol, sehingga menutupi kesadarannya dan terjadilah perkelahian seperti tindakan pemukulan dan tendangan terhadap istri atau pacarnya. Ada juga kekerasan seksual pada perempuan Papua seperti pemerkosaan. Reaksi korban saat mengalami tindakan kekerasan yaitu korban hanya bisa melindungi wajahnya, mendorong pelaku, dan meminta tolong dengan air mata mengadu pada manusia dan Tuhan. Dan yang sering terjadi adalah kekerasan psikologi atau emosional yaitu kekerasan yang dilakukan lewat ucapan, kata-kata hinaan, mengancam maupun makian, merendahkan martabat perempuan Papua. Kekerasan semacam ini dapat menciptakan para korban (Perempuan Papua) menjadi pikiran, sakit hati, stress dan sebagainya. Situasi ini merupakan Makanan pokok sehari-hari bagi perempuan Papua.
Contoh fakta tentang kekerasan psikologi atau emosional adalah seorang pria yang berinisial MJY dalam postingannya berkata “Perempuan Tanah Piala Bergilir’’, beliau merupakan pria yang berpendidikan, sarjana dan juga dinobatkan sebagai Duta Baca Papua, kok kenapa otaknya sedangkal itu?. Kekerasan psikis ini memiliki pengaruh tinggi dalam mental perempuan Papua sebab akan mengakibatkan ketakutan dan hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya atau penderitaan psikis berat.
Tuhan menciptakan manusia menjadi: pria dan wanita bukan untuk merendahkan atau membandingkan satu sama lain. Sejak semula Tuhan meletakan perbedaan pada kodrat pria dan wanita sebagai perlengkapan jasmaniah maupun rohaniah bukan kekurangan untuk kalian (pria) mencibir.
Tugas hidup lelaki adalah membangun dan menguasai dunia. Bila perlu membongkar dan merusak untuk menciptakan sesuatu yang baru. Sebagai kepala keluarga, pria bekerja di luar rumah untuk menjamin nafkah bagi istri dan anak-anaknya. Itulah kodrat sebagai pria di bumi Papua ini, kodrat pria di tanah Papua ini bukan untuk memandang rendah kaum perempuan Papua. Sedangkang panggilan hidup perempuan tanah Papua di negeri terjanji yaitu tanah Papua ini adalah memelihara hal yang sudah dibangun, merawat apa yang sudah diciptakan, melindungi dan menyayangi yang lemah. Itu merupakan kodrat sesungguhnya bagi kaun perempuan Papua. Teruntuk martabat perempuan tanah Papua itu sama tingginya dengan pria.
Sapaan familiar untuk perempuan tanah papua sebagai Noken. Mengapa sebagai noken? Karena ia tangguh dan Kuat. Walaupun banyak benda-benda berat yang terisi di noken seperti; singkong, kayu bakar, anak babi, sagu dan anak kecil namun talinya tidak akan putus. Begitupun demikian dengan perempuan tanah Papua, meskipun banyak beban seperti diskriminasi tentang martabat perempuan yang begitu rendah di mata pria, stigma rasis tentang perempuan Papua ‘piala bergilir’, atau membandingkan gender dan kelas perempuan tanah Papua sebegitu jijiknya. Namun perempuan Papua tetap tabah, tangguh dan masih kuat untuk menerima semua cibiran itu. Sebab perempuan Papua punya kasih sayang yang begitu luas seperti pulau Papua dan perempuan Papua tahu bahwa mereka (lelaki) yang merendahkan martabat perempuan Papua itu juga lahir dari Rahim perempuan Papua dan dibesarkan oleh tangan terendah dan terbawah ini. Seperti Noken walaupun ia sudah menerima (mengisi) mereka dan membawa mereka secara baik-baik tapi tetap saja mereka masih menusuk dia, melukai dan sebagainya tapi ia tetap terdiam.
Baca juga: Tiada Kamus Kasta Dalam Dunia Perempuan
Jadi kesimpulanya, pandangan laki-laki terhadap perempuan Papua sebagai kaum yang lemah, sehingga perlu adanya perlawanan dari kaum perempuan terhadapa laki-laki untuk menyama ratakan kedudukan perempuan Papua sebagai mitra kerja yang setara dengan laki-laki baik di ranah domestik maupun di lembaga pendidikan dan juga dunia kerja. Perlu kesadaran berbagai pihak di beragam level, mulai dari ranah domestik hingga negara untuk menganggap perempuan mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan manusia. Kalau haknya sudah setara dan terpenuhi, maka perempuan tanah Papua punya posisi tawar yang sama dan bisa melawan kekerasan. Perempuan maupun pria sama-sama manusia, yang memiliki hak untuk bekerja di bidang apapun,entah itu pekerjaan “feminim” atau “maskulin”. Tidak seharusnya mereka mengalami diskriminasi dan stigma dalam bentuk apapun. Jadi, mari wujudkan kesetaraan gender dengan sebetul-betulnya, bukan hanya sekadar bualan dalam bentuk kata-kata.