Kabupaten Tambrauw adalah salah satu kabupaten yang masih utuh dengan berbagai fauna dan flora yang mendiami di muka bumi atau daerah tersebut.
Juga Tambrauw termasuk wilayah konservasi dan Tambrauw adalah wilayah adat (tanah adat). Tercatat juga dalam sejarah bahwa Tambrauw merupakan saksi pendaratan para pembawa injil (Misionaris dan Zending).
Oleh sebab itu, berjalannya waktu hingga mahasiswa Tambrauw mendapat informasi bahwa akan adanya pembangunan Kodim di Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw, Provinsi Papua Barat. Informasi yang didapatkan ialah sebagai berikut:
Tentara Nasional Indonesia (TNI) berencana membangun Komando Distrik Militer (Kodim) di wilayah kabupaten Tambrauw. Kami dikagetkan dengan datangnya sejumlah anggota TNI-AD menempati sebuah gedung pemerintah di Wembru, Sausapor, yang dulunya digunakan sebagai kantor dinas perhubungan kabupaten Tambrauw, (Februari 2020). Keberadaan sejumlah anggota TNI tersebut disusul sebuah pemasangan baliho di depan kantor tersebut, dengan tulisan KODIM (komando distrik militer) Tambrauw. Sama halnya, KORAMIL (Komando Rayon Militer). Distrik Kwoor pun dibangun semenjak bulan Februari 2020. Kami pun telah melakukan penelusuruan dan kami medapatakan informasi bahwa dalam waktu dekat akan melakukan peresmian KODIM Tambrauw ( https:// kasuari 18-tniad.mil.id/2020/03/25/kodam- xviii-kasuari-gelar-rapat-bahas-rencana-peresmian-satuan-baru-alih-kodal-dan pengembangan-satuan/).
Melalui berita tersebut, membuat semua mahasiwa dan warga Tambrauw panik akan hal ini. Akhirnya mahasiswa bersuara “apakah kita sibuk dengan Covid-19 yang mana telah mennyebar di belahan dunia ini, ataukah kita sibuk dengan pembangunan Kodim di Kwoor yang telah diinformasikan?,” (27/04/2020).
Mahasiswa menilai bahwa kabupaten Tambrauw bukan daerah konflik sehingga adanya pembangunan Kodim untuk dapat mengatasi masalah yang ada atau terjadi di daerah tersebut. Perlu diketahui bahwa daerah Tambrauw ialah salah satu daerah yang aman dan tenteram di Provisi Papua Barat dengan latar belakang suku, budaya yang ada di daerah tersebut.
Merespon kondisi itu, mahasiswa Tambrauw kota Jayapura mengeluarkan beberapa butir pernyataan, sebagai berikut:
- Belajar dari pengalaman masyarakat di wilayah lain bahwa kehadiran militer secara tidak langsung akan mengakibatkan masyarakat kehilangan hak-hak adat. Kodim merupakan tubuh militer yang akan membatasi ruang gerak masyarakat, khususnya dalam menyatakan pendapat.
- Masyarakat kami trauma dengan kekerasan militer yang terjadi dari tahun 1941 perang dunia ke II dan tahun 1960-an saat operasi penumpasan organisasi papua merdeka (OPM). Kehadiran militer akan menimbulkan ketakutan dan memicu konflik baru.
- Tanah kami di Tambrauw adalah tanah adat, saat ini masyarakat hidup dengan aman dan damai. Tidak ada masalah besar yang membutuhkan kehadiran militer.
- Pembangunan Kodim bagi kami bisa menjadi jalan masuk untuk pembangunan berbagai macam hal lain misalnya, untuk mengamankan investasi yang akan datang masuk di wilayah Tambrauw dan yang akan mengganggu hak-hak masyarakat adat, ekosistem wilayah yang saat ini sudah ditetapkan sebagai daerah konservasi.
- Daerah kami juga merupakan wilayah pekabaran injil yang tidak bisa diganggu dengan berbagai aktivitas termasuk militer, karena daerah kami adalah bukti sejarah pendaratan injil.
- Pembangunan Kodim membuat kami warga Tambrauw resah dan ketakutan karena kami takut dengan keberadaan sejumlah anggota TNI. Apabila ke depannya, pasti personil untuk kodim akan bertambah dalam jumlah yang banyak.
- Tambrauw bukan daerah konflik, kami tidak perlu Kodim, kami perlu guru-guru dan fasilitas kasehatan yang memadai.
“Dengan tegas mahasiswa Tambrauw menolak kodim,” tegas Natalia Rumbiak setelah membacakan point-point di atas (27/04/2020).
Melalui hal ini, Mahasiswa menilai bahwa daerah Tambrauw adalah daerah yang krisis tenaga guru, perawat dan fasilitas yang memadai untuk dapat mensejahterakan hasil pangan masyarakat. Maka mahasiswa Tambrauw Jayapura dengan tegas untuk dapat menolak pembangunan Kodim di Distrik Kwoor, Kabupaten Tambrauw.
Pewarta: Pilipus Roni Wabia
Editor: Maksimus Sirmbu Syufi