Sakramen Politik: “Mengkonsekrir” Dunia Menjadi Surga

DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua – 

Oleh: Siorus Degei)

Ada suatu kesenjangan yang kian krusial dalam kehidupan umat manusia perihal pemaknaan Sarana dan Tujuan. Kebanyakan orang memaknai dan menjadikan Sarana sebagai Tujuan dan Tujuan sebagai Sarana. Semisal satu jabatan publik, katakanlah Lembaga Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif, kebanyakan Anggotanya menggunakan Jabatan, yang notabenenya adalah Sarana sebagai Tujuan orientasi hidupnya. Dalam contoh kasus gembar-gembarnya aksi Tolak Otonomi Khusus Jilid II (Otsus II) dan Pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) yang hari-hari ini lagi marak di Papua. Terlihat jelas bahwa Lembaga Trias Politica itu berorientasi jauh dari tugas pokok atau panggilan aslinya. Mereka tidak menjadikan eksistensi jabatannya sebagai Sarana Pelayanan Rakyat demi mewujudkan tujuan Kebaikan Bersama (Bonum Commnune), melainkan sebaliknya mereka menjadikan jabatan itu sebagai tujuan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Memang patut kita akui juga bahwa tidak semua anggota Legistif, Yudikatif dan Eksekutif yang bekerja “sembrono”. Terdapat juga sosok-sosok legislator, yudikator dan eksekutor yang menjadi corong aspirasi rakyat, yang merakyat dan mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi dan kelompoknya. Hal ini sangat nampak dalam hampir setiap aksi Penolakan Otsus Jilid II dan DOB yang dilakukan oleh rakyat, mahasiswa dan simpatisan bangsa Papua baik di dalam teritori Papua maupun di luar Papua. Terlihat de facto dan de jure ada pemimpin-peminpin hebat yang mencernah aspirasi rakyat. Hal ini sangat menguatkan simpati rakyat akan pemimpin-pemimpin itu, (https://dpr-papua.go.id/dpr-papua-terima-aspirasi-penolakan-dob-dari-rakyat-lapago/, Sel, 12-04-2022, Pkl. 11:57 WIT).

Kendati pun demikian tak dapat disangka pula bahwa apa yang dilakukan dan dipertontonkan para elite yang “katanya” pro-rakyat itu, hemat penulis tidak lebih dari sebuah seni “pencitraan kelas gurita di Papua”. Tesis ini bukan tanpa dasar, kita semua bisa (dan mungkin sudah) menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa nyaris nihil sama sekali petisi aspirasi rakyat Papua tolak Otsus Jilid II dan Pemekaran DOB itu digubris alot dalam tingkatan Lembaga Yudikatif dan menghasilkan suatu regulasi, kebijakan, dan atau ketentuan yudisial yang menjustivikasi Petisi Aspirasi Rakyat Papua Tolak Otsus II dan DOB secara final-konstitutif. Juga, nihil sama sekali bahwa ada Lembaga Eksekutif yang mengimplementasikan regulasi buatan Lembaga Yudikatif itu secara konsisten, realistis dan berdampak pada rakyat Papua hari-hari ini. Dari sini terlihat jelas bahwa Lembaga Trias Politica kita, yakni Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif  telah “gagal total”, “lumpuh” dan “ompong” dalam menjalankan Tupoksinya.

Hal di atas semakin mengerucut kebenarannya, ketika lautan massa rakyat Papua menolak RUU Otsus Jilid II dan DOB, dan aspirasi itu sudah diterima oleh beberapa Legislator, lalu itu dihianati oleh beberapa legislator Papua di Jakarta. Tahu-tahunya di tingkatan Pusat sudah ada beberapa legislator Papua yang menyampaikan “Petisi Gadungang” dan atau “Aspirasi Abal-abal” bahwa rakyat Papua menerima pemberlakuan regulasi Otsus Jilid II dan DOB di Papua. Kita sebut saja, rombongan “legislator boneka Jakarta” seperti Yan Mandenas dan kawan-kawannya. Yan Mandenas bersama Sdr. Ali Kibay, seorang tokoh pemuda wilayah adat Saireri malah “mengemis” tambahan wilayah Pemekaran baru, yakni Provinsi Papua Utara dengan Ibu Kota Nabire, https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/38345/t/Legislator+Usulkan+RUU+Provinsi+Kepulauan+Papua+Utara, Sel, 12-04-2023, Pkl. 11:59 WIT). Fenomena semacam ini sangat jelas menegaskan bahwa Petisi Aspirasi Rakyat Papua Tolak Otsus Jilid II dan DOB itu di mata elite Papua yang telah “terdopis arogansi Jakarta”, otak dan watak kesepihakan Jakarta, tidak lebih dari sebuah “suara minor”, “utopis belaka”, dan “Sampah yang hampa” yang tidak perlu direspon, cukup mengutus “anjing-anjing negara yang berseragam aparat keamanan” untuk menggonggong, mengusir, menggigit dan bahkan membunuh “massa separatis dan teroris” itu.

Selain Lembaga Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif yang “cacat total” dalam menjadikan jabatannya sebagai sarana (alat/medium) guna mencapai tujuan, kebaikan umum. Lembaga Keamanan dan Pertahanan, yakni TNI-Polri, khususnya Polri, yang adalah anak kandung Lembaga Yudikatif juga abai tupoksinya. Kita secara serentak telah melihat dan mengetahui sendiri bagaimana rekam jejak, kinerja, dan threat record-nya dalam menjalankan tupoksinya, terlebih dalam konteks mengamankan massa aksi tolak Otsus Jilid II dan DOB di Papua belakangan ini.

Penulis bingung dan tidak habis pikir, kira-kira legal standing aparat keamanan yang bertindak anarkistis terhadap massa aksi Tolak Otsus dan DOB di Papua, bahkan sampai memukul dan menembak mati massa aksi itu apa? Sebab sesuai amanah Undang-Undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan tegas menegaskan bahwa “(1) Polri merupakan alat negara yang berperan dalam pemeliharaan Kamtibmas, Gakkum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya kamdagri”, (https://kompaspedia.kompas.id/baca/data/dokumen/undang-undang-nomor-2-tahun-2002-tentang-kepolisian-negara-republik-indonesia#, Sel, 12-04-2022, Pkl. 12:02 WIT).

Selain itu penulis menyaksikan bahwa Polri di Papua telah melanggar Protap No. 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Tindakan Anarkistis, yang menjadi kode etik Polri dalam menyikapi massa aksi demontrasi demi menanggulangi terjadinya tindakan anarkistis yang berujung pada pelanggaran HAM. Ketentuan Protap No. 1 tahun 2010 pada satu bagiannya berbunyi “Melawan/menghina menggunakan ataupun tanpa menggunakan alat dan atau senjata sebagai ganguan nyata  anarki”. Bagian ini mau menjabarkan bahwa dalam kode etik penanggulangan massa aksi demonstrasi demi menghindari adanya tindakan anarkistis dan pelanggaran HAM di Indonesia, pihak aparat keamanan tidak diperkenankan menggunakan atribut negara, seperti senjata untuk menggendalikan massa aksi. Juga sebaliknya, massa aksi tidak diperkenankan untuk membawah alat tajam dan senjata saat berdemonstrasi, (https://referensi.elsam.or.id/2014/11/protap-kapolri-no-1-tahun-2010-tentang-penanggulangan-anarki/, Sel, 14-04-2022, Pkl. 12:03 WIT).

Berdasarkan UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri dan Protap No. 1 tahun 2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkistis jika kita pakai sebagai “kaca mata bedah” guna melihat fenomena aksi tolak Otsus Jilid II dan DOB di Papua. Maka kita sendiri tahu fakta objektifnya, bahwa Polri telah “Cacat, Lumpul, dan Gagal Total” dalam mengimplementasikan Tupoksi dan Panggilan esensialnya. Hal ini terlihat dari puluhan korban luka-luka, korban seksual, dan korban nyawa di kalangan warga sipil Papua yang melakukan aksi damai. Bahwa seperti mau “perang dunia ketiga” aparat keamanan kita selaluh turun lengkap dengan atribut perang untuk mengamankan massa aksi di Papua. Padahal yang mereka hadapi adalah dan hanyalah warga sipil, mahasiswa dan simpatisan yang bermodalkan atribut keberanian, keyakinan, alamater kampus, dan mickrofon.

Berkaca dari inkonsistensi Lembaga Legislatif, Yudikatif, dan Eksekutif, serta Aparat Keamanan (Polri) kita di atas inilah yang menginspirasi penulis untuk mengetuk dan membuka pintu hati khlayak ramai untuk sama-sama berefleksi agar pandemik kerancuan berpikir dan berhati-nurani tidak merajalelah dan menyebabkan kekaburan pemakanaan Sarana dan Tujuan dalam kehidupan bersama. Penulis meminjam paham Sakramen dalam ajaran Gereja Katolik untuk menyadingkannya dengan pandagan politis-praktis, dengan istilah Sakramen Politik, (Eddy Kristiyanto, 1; 2008).

Apa Itu Sakramen?

Secara Etimologis Sakramen berasal dari Bahasa Latin, yakni Sacramentum. Kata Sacramentum ini dipakai pada abad ke II untuk menerjemahkan kata Mysterion dalam Bahasa Yunani dalam kitab Suci. Sacramentum berarti “ Sumpah” atau “Janji Militer”. Jika ditilik maka tidak ada sama sekali arti atau makna teologis atau liturgis di sana. Namun jika ditilik dari inspirasi asal katanya, yakni Mysterium (Bhs. Yunani) yang berarti “Rahasia”, “Terselubung”., maka dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama, kata Mysterium ini dipakai oleh penulis Suci untuk menjelaskan “Wahyu Allah”. Jadi, Sacramentum dan atau Mysterium itu secara Biblis, khususnya dalam secara keselamatan Allah berarti “Simbol Wahyu Allah” atau “Tanda Keselamatan”. Dengan demikian, Sakramen berarti Tanda Keselamatan Allah. Sakramen adalah suatu tanda atau perbuatan simbolis yang menyatakan apa yang secara tak kelihatan dibuat oleh Yesus dalam karya penyelamatan-Nya, (A. Bakker SVD, 24; 1988).

Dalam perkembangan waktu, tepatnya pada abad XII terjadi perubahan makna Sakramen, yakni Tanda yang menghadirkan maknya yang tak kelihatan, unsur manusiawi yang menampilkan unsur surgawi. Sakramen tidak lagi dipahami dalam konteks karya keselamatan, melainkan dalam konteks liturgis sebagaimana yang kita pahami saat ini melalui dan dalam 7 Sakramen. 7 Sakramen ditetapkan dalam konsili Lyon 1274, Konsili Florenzo 1439, dan Konsili Trente 1547, (Emanuel Martasudjita, 199; 2011).

Apa Itu Politik?

Secara etimologis Politik berasal dari Bahasa Yunani, Polis yang berarti “Negara Kota”. Negara Kota ini dalam jaman Yunani Kuno menjadi tempat sentral, pusat perabadan dan kebudayaan. Salah satu Polis yang terkenal saat itu ialah Athena, yang menjadi pusat perabadan bangsa Yunani, kota metropolitan. Dari Kota itu muncul tokoh-tokoh besar seperti Sokrates (470-399), Plato (427-347), Aristoles (384-322), dan tokoh lainnya. Yang dimengerti sebagai politik saat itu adalah aktivitas yang dilakukan di Polis. Jadi, segala apa yang dilakukan di Polis atau Negara Kota itu dipahami sebagai Politik. Bahwa Politik adalah konsep bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, (https://hot.liputan6.com/read/4682885/pengertian-politik-menurut-para-ahli-konsep-dan-contoh-perilakunya, Sel, 12-04-2022, Pkl. 12:07 WIT).

Pada perkembagan selanjutnya kata Politik ini mendapatkan pengertian dan pemaknaan yang lebih luas seperti dewasa ini. Politik identik persaingan tekni, taktik, trik dan intrik untuk mendapatkan dan menggekalkan Kekuasaan, Kepentingan dan Keuangan. Sehingga politik menjadi sebuah seni hidup yang senantiasa dilirik dan dipakai oleh kebanykan orang untuk mendapatkan dan menggekalkan Kekuasaan, Kepentingan, dan Keuangan. Banyak orang menghalalkan berbagai cara dan mengharamkan berbagai cara dalam bingkai politik untuk memperoleh dan mengabadikan status quo, prestasi, prestise dan populartias.

Hingga dewasa ini, khususnya di Papua dalam iklim hirup-pikuk polemik Por-Kontra Otsus Jilid II dan DOB. Aura perpolitikan itu bertendensi agoransi, Egoistis, ambisius, hedonis, pragmatis, Ateis, sarkastis, dan lainnya. Pendeknya, politik menjadi suatu “komoditi” yang banyak diminati orang karena mendatangkan “trofit” atau keuntungan. Jadi, ada semacam “Pasar Politik” dan “Bisnis Kepentingan”, singkatnya “Produksi Kekuasaan” yang menjadikan politik (juga ekonomi, sosial, budaya, dan religi) sebagai “Komoditi”, alat jual yang bernilai tukar lebih, demi meraup “trofit”, laba atau keuntungan sebesar-besarnya, (Sindhunata, 70; 2019). Inilah wajah neokolonialisme, neokapitalisme, neoimperialisme dan neofeodalisme post-modern baru di Papua dewasa ini.

Sakramen Politik: “Mengkonsekrir” Dunia Menjadi Surga

Kurang lebih secara ringkas kita telah mengetahui apa itu Sakramen dalam ajaran iman Katolik, bahwa itu adalah Sarana yang secara simbolis menjadi tanda kelihatan dari karya penyelmatan Yesus Kristus yang tak kelihatan. Juga, sedikit banyaknya kita telah memahami sepintas apa itu Politik. Bahwa politik dewasa ini telah menjadi “komoditi” penghasil “trofit” yang banyak diminati orang. Pada kesempatan akhirul ini penulis hendak mengawinkan makna Sakramen dan Politik secara teoritis tapi juga praktis.

Pertama, Politik mesti dijadikan sebagai Sarana Keselamatan. Pemahaman yang selama ini memandang politik sebagai “Komiditi” sumber “trofit” itu mesti didenkontruksikan dan direkonsiliasikan menjadi pemahaman bahwa Politik adalah tanda keselamatan, atau sarana keselamatan yang mau secara simbolis menyatakan karya keselamatan dari Tuhan (Kristus), yakni Kerajaan Allah, Surga.

Kedua, Sakramen Politik bermakna bahwa orang yang berpolitik, yaiti Politikus, ia tidak lagi tampil sebagai “Kapital, Kolonial, Feodal, dan Borjuis” tetapi sebaliknya ia tampil sebagai “Imam, Nabi, dan Raja”. Sebagai Imam, ia bertugas “Menguduskan” dunia; membangun dunia, menciptakan perubahan, mewujudkan kemajuan, memberantas KKN, menghanguskan Radikalisme, Terorisme, Barbarisme dan mengatasi Ancaman (tantangan, hambatan, dan ganguan). Sebagai Nabi, ia bertugas mewartakan dan menyatakan kebenaran, keadilan dan perdamain. Ia mesti lantang menyuarakan dan menegakkan kebenaran, keadilan dan perdamaian tanpa takut, kompromi dan tanpa bersikap kooperatif dan akomodatif dengan kekuasaan, kepentingan dan keuangan (Mamon). Dan sebagai Guru, ia mesti tampil sebagai public figure, Icon, contoh, teladan, dan model pemimpin (sosok) yang disiplin, tegas, cerdas, mantap dan terbaik. Ia mengajarkan bawahannya tentang keutamaan nilai-nilai kehidupan bukan saja lewat orasi, narasi dan diskusi, tetapi lewat teladan hidup, praxis, habitus positifnya.

Terakhir, singkatnya Sakramen Politik adalah habitus di mana politik dijadikan sebagai sarana simbolis  untuk menciptkan habitat yang oleh Plato disebut “Eudamonia”, Kebahagiaan Sejati Umat Manusia”, yang menurut St. Thommas Aquinas (1225- 1274) sebagai “Bonum Commune”, “Kebaikan Bersama”. Bahwa Sakramen Politik itu bertujuan untuk “Menjadikan Bumi Seperti di Dalam Kerajaan Surga”, Sakramen Politik “Dihabituskan”, “Dibiasakan” oleh semua orang sebagai seni mendirikan “Civitas Dei”, “Negara Allah”, Kerajaan Surga di dunia yang fana dan penuh dosa ini. Bahwa sama seperti “Roti dan Anggur” yang “Dikonsekrir” oleh Yesus dalam Perjamuan Malam Terakhir menjadi “Tubuh dan Darah-Nya”, (Mat. 36: 26-29; Mrk. 14:22-25; Luk. 22:14-23), yang kini menjadi tradisi ritus ekaristi dalam Gereja Katolik, tepatnya dalam Doa Syukur Agung, sekirannya Sakramen Politik ini juga mau mengajak semua insan untuk bersama-sama “Mengkonsekrirkan” Dunia yang fana dan penuh dosa ini menjadi “Surga”, bahwa Dunia yang Kelihatan ini secara simbolis menghadirkan “Surga” yang tak kelihatan demi kebahagian sejati umat manusia di dunia maupun di surga.

 

Daftar Pustaka:

Kristiyanto Eddy, Sakramen Politik. PT. Lamalera: Yogyakarta, 2008.

Martasudjita Emanuel, Liturgi Pengantar untuk Studi dan Praksis Liturgi. PT. Kanisius: Jakarta, 2011.

Bakker A, Ajaran Iman Katolik 2. PT. Kanisius: Jakarta, 1988.

Sindhunata, Teori Kritsi Sekolah Frankfurt. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2019.

LAI, Alkitab Deuterokanonika. LAI: Jakarta, 2015.

 

)*Penulis Adalah Mahasiswa STFT “Fajar Timur” Abepura-Papua

"Obor Untuk Papua"

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest Articles

Mahasiswa Nduga dan Lanny Jaya Kota Malang Sikapi Konflik Horizontal antara Masyarakat Lanny Jaya dan Nduga

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Konflik berawal dari kasus perselingkuhan yang berujung konflik saudara di kampung Hilekma, Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua...

IPMK Kota Studi Jayapura Dukung Deklarasi Lembah Kebar Sebagai Tanah Injil dan Keadilan Ekologis

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Ikatan Pelajar dan Mahasiswa/i Kebar (IPMK) Kota Studi Jayapura mendukung deklarasi Lembah Kebar sebagai Tanah Injil dan Keadilan Ekologis...

Pernyataan Sikap Mahasiswa dan Pelajar Asal Nduga Terkait Dana Pendidikan

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Manusia Membutuhkan Pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar Manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara...

Teror Terhadap Mahasiswa Papua: Tetap Tenang dan Berbahaya

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Poster ini bukan untuk dikriminalisasi, maupun untuk mengganggu psikologis kawan-kawan. Barang kaya begini kita sudah alami dari lama sejak...

Kronologis dan Tuntutan Keluarga Korban Penembakan Thobias Silak

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Kronologis dan tuntutan ini dikeluarkan oleh keluarga Thobias Silak, korban penembakan yang mati di Dekai, Yahukimo, Papua Pegunungan pada...