Oleh: Albert Daniel Anari
Negara telah merugikan masyarakat adat selama berpuluh-puluh tahun. Dengan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh negara (Pemerintah Pusat RI). Hal itu selalu mengorbankan masyarakat adat dalam berbagai aspek.
Sepatah kata ini mungkin pernah kalian ucapkan, atau paling tidak kalian pernah dengar, “Sobat andaikan babi bisa bercerita atau menulis perasaannya, kira-kira bagaimana?, saat menghadapi ajal di kebun keladi, yang berlimpah dengan sumber kehidupan baginya. Namun, sayangnya Babi tidak bisa bercerita atau menulis pengalamannya”.
Oleh karena itu izinkan saya untuk bertanya kepada kalian, andaikan kalian yang mengalami hal tersebut, ajal menjemput di tempat di mana selama ini menjadi sumber kehidupan! “Kira-kira apa dan bagaimana perasaan anda”?.
Sangat disayangkan selama berpuluh-puluh tahun, kebijakan yang lahir dari UUD 1945 yang katanya dapat mensejahterakan manusia, kenyataannya jauh berbeda, lalu lahirkan lagi UU yang bertujuan untuk mengambil, merampas hak kesulungan masyarakat adat. Seakan-akan tanah ini milik negara. “Di manakah hatimu wahai penguasa”?. Hak masyarakat adat seperti Sumber Daya Alam (SDA) dan lain-lain, semua dirampas. Akhirnya masyarakat adat terbuntut dan menjadi penonton di negeri sendiri.
Saya berbicara saat ini dalam konteks “Papua”, kerena apabila ada musibah seperti longsor, banjir, kerusakan hutan, maka masyarakat adat yang menjadi korban. Padahal ini semua perbuatan kaum elite, dalam hal ini negara (Penguasa).
Sebab itu masyarakat adat memilki kearifan lokal yang dapat membantu untuk menjaga keseimbangan alam. Bukan merusak seperti ulah negara bersama korporasi dan juga perusahaan besar yang mengabaikan rakyat. Contoh kasus yang terjadi di Lembah Kebar, bahwa akan adanya penanaman kelapa sawit di Kebar, Kabupaten Tambrauw yang dilakukan Oleh PT. Agro Bintuni beberapa tahun lalu.
Ini Bukan suatu hal harus dirahasiakan lagi, tetapi sudah diketahui oleh publik, bahwa semua itu adalah kebijakan negara dan kolega-koleganya yang mempunyai satu misi.
Kekayaan alam masyarakat adat yang beraneka ragam seperti, hutan yang sangat kaya, laut yang sangat luas dengan kekayaan yang melimpah. Tetapi kita tidak merasakan semua potensi alam itu dengan baik, sehingga kita disebut sebagai, “Babi yang Mati Dalam Kebun Keladi”.
Baca juga: https://diptapapua.com/lestarikan-noken-papua/
Sangat disayangkan negara hadir bukan Untuk melindungi rakyat, tetapi malah menakuti masyarakat Papua. Di negara ini pada kenyataanya,”Latihan Lain Main Lain,” kami rakyat kecil hanya menuntut hak sulung kami, sesuai dengan pengamatan pancasila, sila Ke V (lima) yang menyatakan bahwa, “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Lalu di manakah keadilan itu ?.
Meskipun UUD 1945, mengakui hak-hak kesulungan kami masyarakat adat, tetapi setelah itu tidak ada UU yang mengatur secara khusus, untuk memberi gagasan atau ide pada negara. Bagaimana hak konstitusional masyarakat adat dilaksanakan. Apakah negara bodoh? untuk menjabarkan UUD 1945. Di manakah hatimu para penguasa?.
Saya secara pribadi merasa sangat kesal dengan tiap kebijkan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah terhadap masyarakat adat, di atas tanah adatnya sendiri. Seakan-akan tanah ini tidak ada penghuninya.
Justru yang lahir adalah UU yang mengambil alih hak-hak masyarakat adat. “Jadi pengambilan hak dan perampasan hak, wilayah, laut, hutan adat, itu sah secara hukum, tapi bertentangan dengan hak konstitusional”. PAPUA BUKAN TANAH KOSONG. (**)