Oleh: Yordan Evan Sedik
Pada hakekatnya, bertani adalah kebiasaan atau budaya turun temurun dari generasi per generasi.
Pada kesempatan ini saya akan menguraikan beberapa cara bertani tradisional yang terus dan masih melekat di masyarakat. Khususnya cara bertani orang Tambrauw atau juga Papua pada umumnya, dan saya akan menjelaskan beberapa kekurangan atau permasalahan yang dihadapi rakyat serta mimpi saya untuk bersama rekan-rekan, adik-adik dan kakak-kakak untuk mengubah pola bercocok tanam di Tambrauw.
Pada dahulu kala, nenek moyang kita bercocok tanam dengan cara berpindah-pindah tempat dan terus melekat hingga generasi sekarang. Perlu diketahui alasan mengapa mereka berpindah-pindah tempat, karena mencari tempat baru yang masih kaya akan unsur hara mikro dan makro yang berfungsi untuk menyuburkan tanaman . Nah bagaimana dengan generasi sekarang?. Generasi kami sekarang, perlu mengubah pola bercocok tanam atau bertani seperti ini dari yang berpindah tempat menjadi menetap atau sistem tradisional ke modern. Mengapa kita harus lakukan ini, karena sekarang sudah tidak susah lagi untuk menyuburkan tanah dan memperbiakkan makro dan mikro dalam tanah dengan kemampun perkembangan zaman.
Baca juga:Â Yordan Sedik: Masyarakat Harus Kembali Dengan Pangan Lokal
Bertani dengan berpindah tempat bisa merusak hutan kita secara terus menerus, bukan orang lain yang merusak, namun kita sendiri yang dahulu merusaknya. Nah berbeda dengan sekarang, jika bertani cukup menetap di satu tempat karena dengan cara ini langkah utama untuk menjaga hutan sudah teratasi, maka sangat efektif untuk meminta bantuan modal dari pemerintah maupun pihak lain karena terjamin untuk dijangkau oleh siapapun tergantung usaha kita untuk mempromosikannya.
Di Tambrauw, saya masih ingat, kala itu saya berusia kira-kira 4 atau 6 tahun di Distrik Senopi. Saat itu pernah dibuatkan kelompok tani yaitu Sumo, Senopi, Syururem, Arapi, jika tidak salah dan ada beberapa kelompok lain yang saya tidak ingat. Dengan ini pemerintah sudah mengupayakan untuk mengubah sistem pola bertani orang tua kita yang berpindah tempat.
Nah sekarng Tambrauw jadi Kabupaten sendiri, maka sudah tidak susah lagi untuk kita mengubah pola bertani dari tradisional ke modern. Tetapi mengubah perilaku masyarakat dengan gaya mereka yang sudah mendarah daging itu tidak mudah, sekalipun dia adalah seorang penyuluh pertanian yang handal. Maka perlu bantuan, terutama pemerintah dibantu dengan Mahasiswa/i, Pemuda/i yang mampu untuk bekerja sama dan diajak diskusi dan berkompromi untuk masyarakat kita.
Di Tambrauw saat ini, sudah terbentuk beberapa kelompok tani namun yang saya ikuti selama ini belum efektif, karena memang mengubah pola pikir dan tingkah laku orang dewasa itu susah, apalagi mengubah sesuatu yang menjadi kebiasaannya.
Saya punya kenalan yaitu seorang penyuluh pertanian yang handal. Dia menceritakan kepada saya bahwa dirinya pernah ditugaskan dari BPTP dan BPP dari Manokwari untuk bertugas di wilayah Kebar dan Senopi. Namun tak sampai setahun, kemudian dia harus mengundurkan diri dari sana dan kembali ke Manokwari. Alasannya ialah mengubah perilaku masyarakat yang notabenenya bertani dengan berpindah tempat dan dia harus mengubah itu sangat sulit, maka yang saya simpulkan dari ceritanya adalah yang mampu untuk mengubah perilaku masyarakat di sana itu kita sendiri generasi Tambrauw yang mampu untuk mengubah.
Maka, dalam tulisan ini saya ingin menyampaikan beberapa hal terkait langkah yang harus kita lakukan.
Pertama, beri pemahaman kepada masyarakat tentang bagaimana harus bertani dengan menetap dan didukung oleh pembentukan kelompok tani yang dibuat oleh masing-masing BPP yang ada. Kami harus lengkapi kekurangan yang ada di BPP dengan menyuratkan kepada pihak pemeritah Tambrauw atau dinas terkait untuk segera melengkapi kekurangan yang ada sekaligus menyediakan tenaga penyuluhan. Jika BPP mengalami kekurangan, maka susah untuk mengembangkan potensi pertanian kita di Tambrauw dan masyarakat Tambrauw terus jadi penonton.
Salah satu conto atau fakta yang sudah terjadi, bawa masyarakat di Tambrauw jadi penonton adalah perkebunan jagung di Kebar Timur. Ini merupakan masalah yang kita tidak bisa biarkan, yang menanam jagung di sana adalah orang dari luar daerah, lalu masyarakat Kebar Raya atau Tambrauw tidak bisa tanam jagung atau tidak bisa olah jagung untuk jadi tepung dan lain sebagainya?. Ini yang sangat mengganjal di benak saya.
Saya pernah ke Senopi pada 2018 atau 2 tahun lalu dan saya bertemu dengan orang yang asalnya dari NTT, saat itu dia datang mengikuti Ibadah di Senopi. Lalu, saya bertanya pada salah seorang tanta saya, “itu guru-guru kah”? tanta saya langsung menjawab “bukan! itu mereka yang tanam jagung di Kebar. Say langsung kaget, dan bertanya lagi “Tuhan banyak ini, trus orang-orang sini ada yang kerja di sana”? tanta saya menjawab aaahhh tidak ada.
Saya sadari, memang itu kekurangan kita. Ada beberapa mimpi saya, setelah ijasah sarjana saya pegang, maka saya siap jadi tiang di tengah masyarakat untuk mengubah sistem pertanian di Tambrauw dan para mahasiswa adalah tulang punggung masyarakat Tambrauw yang wajib ikut menanggapi mimpi saya untuk kami sama-sam mengubah pertanian di Tambrauw.
Orang Tambrauw tidak boleh jadi penonton di bidang pertanian. Jika kalian bilang Tambrauw untuk Tambrauw, maka generasi Tambrauw harus kita tunjukan. Salam putra tani. (**)