DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
Tentunya banyak yang kami dengar, baca di buku-buku maupun dalam dunia pendidikan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum dan Negara Demokrasi.
Namun, dalam implementasinya banyak orang yang kritik pada Penguasa Negara karena tidak melindungi harkat dan martabat terutama orang asli Papua, Negara selalu gunakan pasal makar terhadap mereka yang protes.
Seperti kasus rasime di Surabaya tahun 2019, rentetan dari kasus tersebut rakyat Papua melakukan aksi protes secara massif di seluruh Papua karena dihina harkat dan martabatnya.
Aksi unjuk rasa anti rasisme itu, dianggap melakukan makar sehingga dijatuhkan hukuman pasal makar, salah satunya menimpa pada aktivis Buchtar Tabuni (sudah keluar dari kurungan penjara), Victor Yeimo dan beberapa aktivis Papua lainnya.
Demi mengangkat kesamaan derajat, harkat dan martabat manusia. Dibutuhkan banyak pihak untuk melakukan Edukasi kepada masyarakat dan kajian berupa riset di lembaga tertentu terutama Kampus.
Perihal pasar makar, salah satunya diangkat seorang mahasiswa bernama Etanias Wandikbo, melalui skripsinya di Universitas Negeri Jember (UNEJ).
Mahasiswa fakultas hukum itu, melihat dari kasus rasisme dan tindakan makar, meskipun dua hal yang berbeda , kata Etanias “saya tertarik memilih judul Skripsi tentang Analisis tindak pidana makar studi putusan Nomor 33/PID B/2020/PN BPP, merupakan kasus yang dikenakan Aktivis Papua Merdeka, Buchtar Tabuni”.
Menurutnya, dalam penelitian ini tidak bermaksud menjungkir balik kasus tersebut, tetapi sebatas ingin mengetahui lebih dalam, apakah putusan tindakan makar yang dikenakan pada Aktivis Papua benar sesuai unsur-unsur makar atau bukan. “itu sebagai alasan kertertarikan saya memilih judul tersebut”, kata Etanias kepada redaksi, (6/2023).
Dirinya dengan berani mengajukan judul ini dan bukan sekedar memanfaatkan kesempatan, namun ingin mencari relevansi dan letak kebenaran, terkait pasal makar itu tepat sesuai perintah hukum atau tidak.
Selain itu, pasal makar apakah dijatuhkan pada korban benar-benar memenuhi unsur ‘makar’ atau tidak. Apalagi dia sebagai orang Papua yang jadi sasaran pasal makar, maka harus menggali dan cari letak kebenarannya, agar masyarakat umum juga mengetahui tentang definisi ‘makar’ itu seperti apa.
Wandikbo menceritakan, awal pengajuan judul tersebut beberapa dosen sempat menolak, dan beberapa dosen juga setuju dan penasaran. “Kemudian hari berikutnya mereka menelpon saya untuk mengajak lalu mendiskusikan terkait judul skripsi saya,” terang dia.
Dia juga bilang kalau Rektor Unej serta jajarannya hadir dalam satu ruangan termasuk pihak Komnas HAM-RI lalu mendiskusikan bersama tentang judul skripsi mengenai “makar” itu.
Diskusi itu, kata Wandikbo bahwa menghasilkan satu poin yang diajukan kepada Komnas HAM bagian eksternal untuk menanggapi soal ‘makar’ dengan situasi Papua. Akhirnya komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM RI) tersebut mengaku bahwa “memang benar masalah Papua harus diselesaikan dan itu harus dilihat dari akar persoalannya”.
Penanda tanganan perjanjian kerja sama Antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan pusat multikulturalisme hak asasi manusia dan imigrasi universitas jember.
Pihaknya meminta agar ada lembaga untuk mengkaji soal pelanggaran HAM di Papua dan Aceh sehingga lembaga terkait mempermudahkan untuk pengambilan data sekalian mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM.
Mahasiswa Fakultas Hukum ini mengatakan kepada media ini, “judul skripsi saya itu menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan suatu lembaga di Universitas Jember yang mengkaji dan mengadvokasi soal pelanggaran HAM seperti Aceh dan Papua.
Saat hasil skripsinya diuji, salah satu dosen tertarik terhadap hasil penelitiannya. Namun ada juga yang ,asih tidak setuju karena dinilai judul skripsinya sensitif. “Tapi saya tetap merespon itu dengan argumen bahwa saya tidak mempolitisasi judul skripsi saya, tetapi saya coba melihat kasus rasisme di Surabaya dan pasal makar yang dijatuhkan kepada korban rasis,” ucap Etanias Wandikbo.
Dia menambahkan, dalam hasil penelitiannya tidak menemukan definisi makar yang tepat tetapi merujuk pada KUHP hanya menafsirkan atau menjelaskan. Menurutnya, “inilah menjadi problematika di Indonesia”.
“Artinya bahwa “makar” itu bisa multi tafsir yang diatur dalam KUHP pasal 87 pasal 106 KUHP mendefinisikan apa itu arti makar menurut bahasa belanda yang diartikan sebagai ‘penyerang’,” jelasnya.
Ia berpendapat bahwa Kasus Victor Yeimo, Buchtar Tabuni dkk, “mereka tidak sebagai ‘penyerang’ sebagaimana definisi makar di atas, tidak mempersenjatai massa anti rasisme, tetapi mereka protes rasisme”. Kalau terdakwa Victor Yeimo, Buchtar Tabuni dkk menggerakan massa, mempersenjatai massa, maka dikenakan makar tetapi itu tidak terbukti.
(berita ini sebelumnya diposting di blog https://suaracendrawasihp.wordpress.com/2023/06/07/ini-judul-skripsi-menjadi-pro-kontra-analisis-tindak-pindana-makar-studi-putusan-nomor-33-pid-b-2020-pn-bpp/ pada 7 Juni 2023, kemudian kami edit kembali dan terbitkan lagi di website www.diptapapua.com dengan izin penulis)
[Reporter: Neky]