Tak Ada Demokrasi Tanpa Nomokrasi (Sebuah Tanggapan Atas UU ITE)

DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –

Oleh: Thomas Ch. Syufi

Saya sendiri tidak setuju kalau UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik(ITE) dicabut oleh DPR dan Pemerintah. Saya sepakat kalau direvisi saja di bagian-bagian yang terlalu mengekang kebebasan berbicara setiap warga negara, baik aktivis, praktisi, maupun kelompok oposisi (non-anggota DPR yang tak punya hak imunitas).

Sebab demokrasi harus berjalan beriringan dengan hukum. Demokrasi (kedaulatan rakyat) harus diimbangi dengan nomokrasi (kedaulatan hukum), bila tidak semuanya akan berubah jadi mobrokrasi (rakyat jelata/ awam yang mengendalikan ruang dan sistem demokrasi dan merusak sistem ketatanegaraan yang baik dan beretika).

Atau mengutip Aristoteles, kuno (384-322), filsuf Yunani kuno– yang tulis dalam–Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum- Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta 2009: “Demokrasi tanpa kontrol hukum akan berubah menjadi tirani mayoritas”.

Jadi, jika UU ITE dicabut, berarti tidak hanya pemerintah yang jadi sasaran kritik dan hinaan, tapi itu juga sama dengan membuka lahan atau lapangan luas untuk manusia yang satu jadi serigala bagi manusia lain (homo homini lupus est); hate speech atau ujaran kebencian, penghinaan, fitnahan, perendahan terhadap martabat kemanusiaan akan makin ramai dan merusak (menggerus) nilai- nilai dasar yang termaktub dalam Pancasila.

Yang berikut adalah DPR dan pemerintah beralasan bahwa UU ITE tidak bisa dicabut karena sudah pernah diuji di MK. Tapi, UU tersebut dibuat oleh DPR dan ditetapkan oleh DPR dan pemerintah hingga kedua lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan revisi atau mencabut UU sesuai dengan asas contrarius actus. DPR bisa melakukan Legislative Reviuw terhadap pasal-pasal yang tidak sesuai dengan kehendak publik dalam UU tersebut sesuai dengan permintaan rakyat. Aristoteles yang merupakan murid Plato (lahir sekitar 428-427 dan meninggal sekitar 348-347) itu kembali mengingatkan bahwa meskipun hukum sudah dituliskan, bukan berarti tidak dapat berubah.

Dan yang terakhir adalah kaidah hukum jangan mubazir. Kata orang Romawi: “Leges breves sunto, ut facilius taneantur” (undang-undang harus pendek supaya ia mudah dituruti). Semoga.

Penulis adalah alumunis Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Jurusan Hukum Tata Negara dan aktivis HAM Papua**

"Obor Untuk Papua"

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest Articles

Perempuan Papua Dalam Cengkraman Kapitalisme

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Banyak orang menyuarakan tentang pembebasan perempuan dari cengkraman patriarki, kolonial atau bahkan kapitalisme. Terlepas dari semua itu, sebagian orang...

Perusahaan ‘Gelap’ Masuk di Perbatasan Intan Jaya dan Waropen

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Beredar di media sosial, terdapat sebuah perusahaan yang masuk secara 'Ilegal' atau tidak mengantongi izin dan mulai beroperasi di...

Puluhan TNI Siksa Warga Sipil di Puncak Jaya

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Pada Kamis lalu (13/03/2025), puluhan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyiksa 5 warga sipil di Kota Baru, Mulia, Puncak...

Menjawab Tantangan Kesehatan di Kabupaten Pegunungan Bintang Dengan 4 Jurus

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Latar Belakang Kabupaten Pegunungan Bintang, yang beribu kota di Oksibil, merupakan salah satu daerah terpencil di Provinsi Papua...

Buku Karya Nyamuk Karunggu Ditahan Perpusnas RI

DIPTAPAPUA.con - Obor Untuk Papua -Nyamuk Karunggu melayangkan surat protes kepada Presiden Republik Indonesia, Perpusnas Indonesia, Menkopolhukam dan Menteri Hukum dan HAM di Jakarta...