DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –
Oleh: Kam Muda)
Memasuki bulan paskah, umat manusia (Kristen) di dunia dong tau kalau semenjak Yesus lahir sampai akhirnya mati karena melunasi utang manusia. Sementara, rakyat Papua dari dulu hingga kini yang masih dalam kandungan ibu, usia bayi, anak-anak, remaja, dan dewasa mati karena melunasi utang negara.
Yesus lahir sebagai mediator antara manusia dengan Allah. Sementara, penderitaan manusia Papua sebagai mediator negara dan bank dunia, sampai nyawa menjadi taruhannya.
Dalam pandangan orang lain sa tidak tahu. Tapi untuk teori revolusi Yesus dan Karl Marx, sa pikir kalau diterapkan konteks Papua harus melalui jalur gersang dan berlumuran darah.
Juga, tulisan sekarang bagian dari Sa punya refleksi dan sebenarnya tidak perlu pamer di medsos (FB). Tetapi, banyak yang memaknai ajaran Yesus adalah ‘Damai’ versi ajaran St. Paulus pada awal abad ke-1 yang mengatakan “ada kehidupan lain setelah kematian”. Sehingga manusia harus menerima kenyataan yang menimpa hidup, walaupun peristiwa yang menimpa diperlakukan secara sengaja. Karena dikatakan takdir atau nasib dari yang mahakuasa, jadi sebagai manusia biasa harus menerima dan pasrahkan segalanya, bahkan nyawa pun jadi taruhan.
Yesus dan Karl Marx adalah nabi bagi para pengikutnya masing-masing. Keduanya adalah pemberontak revolusioner yang mempunyai mimpi dan cita-cita yang besar akan terwujudnya masyarakat tanpa penghisapan dan eksploitasi. Contohnya, Yesus sendiri waktu peristiwa di dalam bait Allah.
Yesus dan Marx sama-sama berpikir bahwa kaum lemah dan papa tidak boleh diam, melainkan bangkit melawan kapitalisme. Di sini, yang membedakan Yesus dan Karl Marx adalah Yesus lebih dikenal sebagai seorang revolusioner spiritual, sedangkan Karl Marx dikenal sebagai revolusioner materialis. Dan juga, Yesus melawan kapitalisme melalui Jihad tetapi Karl Marx melawan kapitalisme melalui revolusi.
Bagi para pembaca sosialisme Karl Max, poin menarik terletak pada gagasan Marx tentang aktivitas praktis. Marx mengatakan bahwa apa yang benar adalah apa yang bisa dipraktekkan, bukan diperdebatkan secara teoritis. Di sini, Yesus dan Karl Marx berdiri pada titik yang persis sama. Dalam Mat 7:21, Tuhan mengatakan “bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam kerajaan sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.”
Misalanya, Indonesia menkolonisasi West Papua untuk kepentingan negara dan kaum imperialis. Alih-alih “berburu” sumber daya alam ditandatangani investasi asing (Freeport) pada 1967 dan dioperasikan sejak tahun 1973 itu ada satu sejarah. Kini semua semakin masif, karena hasil isi dalam perut bumi Papua rasanya tidak pernah bohong, tetapi sungguh menjanjikan. Sekarang, kita di Papua sudah tahu eskalasi ‘keran’ kekerasan karena SDA.
Yesus dan Karl Marx juga melawan tindakan keji dan zalim, untuk menghilangkan mata rantai kekerasan. Yesus dan Karl Marx tidak suka manusia menumpuk kekayaan pribadi yang merugikan orang lain. Dari setiap rentetan perlakuan demikian, maka Yesus dan Karl Marx mengatakan tidak cukup kita “berseru” meminta keadilan tanpa tindakan nyata: Tidak ada keadilan yang datang hanya sebut nama Tuhan atau sekarang orang Papua minta kepada PBB langsung diberikan kemerdekaan. Tetapi, semua diperjuangkan bahkan dibeli dengan air mata dan darah. Contohnya, Yesus sendiri taruhkan nyawanya; dihina, dicambuk dan lambung ditusuk sampai akhirnya disalibkan karena membenci kekerasaan.
Banyak pertanyaan radikal oleh Yesus masih bertahan. Misalnya: “Jangan pikir bahwa saya datang untuk membawa kedamaian kepada dunia. Tidak, saya tidak datang membawa perdamaian, tapi pedagang.” Kerajaan Allah berulang kali dikatakan berada di tangan Tuhan. Menurut sejarawan Archibald Robertson:
“Strata paling awal dari kitab Injil… Mengacu pada gerakan revolusioner yang dipimpin oleh Yohanes pembaptis dan kemudian oleh Yesus…. ditunjukkan untuk menggulingkan pemerintahan Romawi dan Herodes di Palestina dan pembentukan “kerajaan Allah” duniawi. Di mana yang pertama akan menjadi terakhir, dan terakhir yakni orang kaya dikirim dengan tidak ada apa-apa dan orang miskin dipenuhi dengan hal-hal baik dan diberi ruang dan tanah.”
Menggambarkan bahwa manusialah sendiri menciptakan surga dan neraka, bukan datang dari jin atau mahkluk gaib lainnya.
Sekarang, Indonesia mengkondisikan Papua sebagai daerah operasi militer (DOM) sangat kejam dengan tujuan negara Indonesia mau menghabiskan orang Papua. Kita sudah melihat kondisi riil Indonesia, militerisasi bersama kaum imperialis memburu alam dan manusia Papua, tetapi terdengung di mana-mana dengan narasi kabualan “Dialog Damai” sebagai rujukan untuk mengakhiri impunitas: narasi “Dialog Damai” yang dikumandangkan sekarang adalah obat bius yang mematikan nalar orang West Papua agar tidak melihat realita secara objektif. Dalam ilmu pertahanan negara, keadilan adalah suatu yang tunggal, sehingga narasi yang ‘galau’ Dialog Damai tidak memutuskan ketidakadilan. Kecuali, bangsa itu bangkit memimpin dirinya sendiri.
Yohanes Giay mengatakan “Kapan pun kita akan terus, nyor-nyor di bawah kolonial Indonesia. Siapapun dia yang berposisi sebagai penindasan tidak akan pernah bersifat penuh secara demokratis apalagi secara sukarela menyerahkan kekuasaan kepada kaum tertindas. Yang dilakukan oleh gerakan Papua adalah konsolidasi internal atau persatuan nasional Papua Barat dan menyusun program persatuan secara sistematis adalah syarat utama Pembebasan Nasional West Papua”.
Dalam teori revolusi, Karl Marx menyebut “kekerasan adalah tindakan revolusioner.” Senada dengan itu, Filsuf Karibia _ Franz Fanon dan filsafat-Anti Rasisme, Fanon pun mempertegas bahwa: “revolusi hanya bisa berlangsung melalui jalan yang penuh pertumpahan darah.”
Bagi Fanon, mengakhiri penindasan kolonialisme, baik secara ekonomi maupun sosial, hanya dapat dimungkinkan melalui revolusi. Dalam konteks negara Timur dan Afrika, revolusi adalah hasil dari akumulasi kemuakan kolektif oleh penindasan kolonialisme. Merebaknya kemuakan kolektif inilah yang mengharuskan revolusi untuk berangkat dari persatuan rakyat demi melancarkan perang Pembebasan Nasional.
Posisi ini saya juga bilang tidak cukup kalau menuntut Indonesia seharusnya berperan aktif sesuai amanat UUD 1945 untuk menghapus penjajah di atas dunia dan ikut menciptakan perdamaian dunia seperti dekolonisasi Perancis bagi Kanaky dan PNG bagi Bougainville. Karena Indonesia masih menggunakan pola kolonialisme kuno di West Papua; yang ekspansif, represif dan eksploitasi.
Aktivis nasional Papua, Natalius Pigai katakana bahwa “Hampir puluhan tahun kami tuntut dialog, Pemerintah Jakarta membisu. Pura-pura tidak mendengar. Pura-pura lupa, tidak acuh, tidak peduli. Tak ada pemberian gratis oleh Jakarta”. Menurut saya ini adalah curhat. Ini adalah narasi Borjuis nasional yang berwatak ambivalen dan sering bersekongkol dengan kolonialisme. Kita boleh bilang dia salah satu anak Papua yang lantang menyuarakan kebenaran, tetapi lain pihak waktu posisinya sebagai anggota Komnas HAM (2012-2017), sangat redup untuk mencungkil mata rantai kekerasan ciptaan negara kolonial Indonesia.
Orang Papua harus tahu, bahwa konflik Papua dilahirkan oleh kontradiksi alamiah dari penjajah dan pihak terjajah. Fanon juga katakan..”akan selalu ada kontradiksi antara kolonialisme yang semakin kokoh menanamkan kuku dan semakin tinggi spirit dekolonisasi dari bangsa yang terjajah”. Sebagai seorang revolusioner yang kencang menggaungkan seruan revolusi kepada orang kulit hitam, Fanon membenarkan bahwa untuk menyelesaikan konflik adalah menghapus penjajah itu sendiri. Sebab, penjajahan adalah akar dari konflik-konflik tersebut.
Jadi, pembebasan Papua itu mustahil jika melalui jalan ‘Damai’, tetapi harus melalui jalan Pemberontakan.
(Tulisan ini kami terbitkan kembali setelah mendapat izin dari penulis)