Gereja Yang Tadi ‘Berwajah Papua’ Menjadi ‘Berwajah Nasional’

DIPTAPAPUA.com – Obor Untuk Papua –

(Sebuah Refleksi Kritis atas keberadaan Gereja di Tanah Papua)

Oleh: Fr. Marten Pasi A Turot

“Dalam Nama Yesus Kami menginjak Tanah ini”.

Potret 166 tahun Injil masuk di tanah Papua (5/02/1855 – 5/02/2021)  menunjukkan dua fenomena periodisasi pekabaran Injil yang sama sekali berbeda. Pertama, periode  Gereja yang “berwajah Papua” pada 88 tahun awal. Pada periode ini, fokus pelayanan lebih mengarah kepada upaya mengkristenkan Orang Asli Papua dan Papuasentris. Para klerus gereja lebih aktif terutama di bidang material. Mereka mendominasi segala hal yang menyangkut “barang”. Di samping itu, metode berpastoral yang dilakukannya adalah dengan berjalan kaki dari kampung ke kampung (selain melalui jalur udara dengan adanya lapangan terbang atau jalur laut). Kedua, periode Gereja yang “berwajah Nasional” pada 88 tahun terakhir. Pada periode ini, fokus pelayanan tidak lagi “berwajah Papua” yang Papuasentris, tetapi lebih mengarah kepada nasionalisasi Papua karena memang jemaat Kristen di Tanah Papua dewasa ini bukan hanya Orang Asli Papua (bahkan jemaat Kristen Asli Papua kini menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri). Kita sampai di sini dulu.

Selanjutnya, sejarah mencatat injil masuk ke tanah Papua pada 5 februari 1855 di Manokwari. Carl Wilhem Ottow dan Johan Gottlob Geissler lah yang untuk pertama kalinya menabur benih firman Tuhan di tanah Papua. Mereka meninggalkan tanah airnya dan masuk ke Papua tanpa jaminan apa-apa. Mereka tidak membawa Deutsch Mark atau EURO sebagai uangnya. Selain itu, kedua Zending Jerman ini juga masuk bukan dengan kekuatan ekonomi atau kekuasaan politik, juga bukan mengejar kehormatan apalagi “mencari makan”. Sebaliknya, dalam keadaan rapuh dan tak terlindung sambil mengandalkan hanya Nama Tuhan. Tidak sampai disitu, setelah menyebut nama Tuhan dan menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di atas tanah Papua, mereka masih harus bersaksi tentang Nama Tuhan Yesus itu. Kesaksian sendiri ada dua jenis : kesaksian kata dan kesaksian hidup. Orang Papua sering menyebut para utusan Allah; entah itu Misionaris ataupun Zending sebagai perintis terang dan karena itu mereka disebut sebagai gembala yang baik. Namun, sangat disayangkan bahwasanya sudah 166 tahun Injil masuk di tanah Papua, tapi toh ! Papua secara de facto masih krisis gembala. Dan perlu digaris bawahi bahwa kita baru sampai di Gembala; belum berlangkah ke level selanjutnya, yaitu gembala yang baik.

Memang menjadi gembala yang baik menuntut pengorbanan. “Pertama-tama untuk dapat mengikuti Tuhan, seorang gembala dituntut untuk bebas secara radikal”. Artinya bahwa ia mesti siap untuk melepaskan segala kelekatan-kelekatan lahiriah yang ada dalam dirinya demi investasi proyek keselamatan dari Allah.

Ada begitu banyak gembala yang tidak sungguh-sungguh mencintai domba-dombanya secara konsekuen. Mereka ini ibarat seorang upahan yang bukan gembala, juga bukan pemilik domba-domba itu sendiri. Ketika melihat serigala datang, mereka meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu (bdk. Yoh. 10: 11-12).

Tenaga gembala di Papua sangatlah minim dibandingkan dengan daerah-daerah lain di luar Papua. Selain itu kurang adanya minat orang Papua untuk mengikuti Tuhan secara menyeluruh, pun pula karena luasnya wilayah Papua serta medan yang masih sulit untuk dijangkau. Karena itu, menjadi gembala di Papua tidaklah mudah. Sebab orang Papua lebih menaruh perhatian dan kepercayaan kepada seorang gembala yang tidak hanya memberi kesaksian kata tetapi juga dibarengi dengan kesaksian hidup. Untuk itu, gembala yang baik sebaiknya terlebih dahulu mengetahui dan memahami antropologi Papua dan cara berpastoral yang baik dan benar di bumi cenderawasih ini. Perlu dicatat bahwa mengetahui dan memahami saja itu tidak cukup. Gembala yang baik semestinya dan seharusnya ada bersama-sama dengan umatnya dalam situasi apapun. Satu lagi, konsep gembala yang baik dalam arti tertentu tidak hanya dilekatkan pada para klerus Gereja ‘saja’.

Marilah kita kembali pada bagian awal perihal Gereja yang “berwajah Papua” dan Gereja yang “berwajah nasional”. Tidak ada yang salah dengan kedua periode ini. Namun, Fenomena-fenomena kejahatan kemanusiaan yang terjadi belakangan ini di Tanah Papua menampakkan suatu penampakan disfungsi agama yang “stabil” (statis). Saya tidak menjustifikasi apalagi menuduh siapa pun yang hidup dan berkarya di atas Tanah Papua, “Tanah yang diberkati” ini sebagai biang kejahatan modern. Saya hanya merasakan bahwa Orang Asli Papua sedang sakit! Mereka sangat membutuhkan dokter yang mampu menyembuhkannya dari luka batin yang pelan tapi pasti sedang membusuk akibat penyakit yang tidak tahu datangnya dari mana seperti gila kekuasaan, prestise/hormat, ketidakadilan, diskriminasi (rasial, gender), keteralienasian, pembungkaman publik, dan lain-lain.

Akhirnya, gembala yang baik sudah barang tentu semestinya dan seharusnya bertindak berdasarkan hukum keadilan dan kedamaian (justice and peace) serta kebenaran. Siapa yang ditimpa ketidakadilan, ketelanjangan, penindasan, pemerkosaan, pembunuhan, marginalisasi, pelecehan, dll.- Itulah domba-domba yang sesungguhnya. Terima kasih…!

“… di atas batu ini saya meletakkan peradaban Orang Papua. Sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat untuk memimpin bangsa ini, mereka tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri.” (Domine Isaak Semuel Kijne)

“Selamat merayakan hari Pekabaran Injil di Tanah Papua.”

Penulis adalah mahasiswa STF Fajar Timur, Jayapura, Papua**

"Obor Untuk Papua"

Related Articles

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Latest Articles

Mahasiswa Nduga dan Lanny Jaya Kota Malang Sikapi Konflik Horizontal antara Masyarakat Lanny Jaya dan Nduga

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Konflik berawal dari kasus perselingkuhan yang berujung konflik saudara di kampung Hilekma, Distrik Napua, Kabupaten Jayawijaya, Provinsi Papua...

IPMK Kota Studi Jayapura Dukung Deklarasi Lembah Kebar Sebagai Tanah Injil dan Keadilan Ekologis

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Ikatan Pelajar dan Mahasiswa/i Kebar (IPMK) Kota Studi Jayapura mendukung deklarasi Lembah Kebar sebagai Tanah Injil dan Keadilan Ekologis...

Pernyataan Sikap Mahasiswa dan Pelajar Asal Nduga Terkait Dana Pendidikan

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Manusia Membutuhkan Pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar Manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan/atau cara...

Teror Terhadap Mahasiswa Papua: Tetap Tenang dan Berbahaya

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Poster ini bukan untuk dikriminalisasi, maupun untuk mengganggu psikologis kawan-kawan. Barang kaya begini kita sudah alami dari lama sejak...

Kronologis dan Tuntutan Keluarga Korban Penembakan Thobias Silak

DIPTAPAPUA.com - Obor Untuk Papua - Kronologis dan tuntutan ini dikeluarkan oleh keluarga Thobias Silak, korban penembakan yang mati di Dekai, Yahukimo, Papua Pegunungan pada...